Minggu, 22 Mei 2011

Perencanaan dan Strategi Peliputan PILKADA


Pendahuluan
Peliputan terhadap topik tertentu membutuhkan perencanaan liputan yang baik, bahkan juga strategi peliputan. Hal ini terutama dibutuhkan untuk meliput event yang membutuhkan waktu lama, mencakup wilayah liputan yang cukup luas, dan memiliki berbagai aspek yang terkait.

Peliputan pilkada termasuk salah satu contoh yang pas. Hal ini karena proses pilkada tidak cuma berlangsung satu hari (pada hari pemungutan suara), tetapi beberapa minggu, bahkan beberapa bulan. Terutama, jika kita memperhitungkan proses peliputan, mulai dari kasak-kusuk persaingan di masing-masing partai politik (sebelum penetapan calon kepala daerah), penetapan calon di masa pra-kampanye, masa kampanye, pemungutan suara, perhitungan suara, sampai terpilih kepala daerah yang disahkan secara resmi.

Pilkada juga tidak cuma berlangsung di satu lokasi, tetapi di beberapa lokasi, dengan karakteristik demografis yang berbeda pula. Selain itu, karena pilkada itu tidak berlangsung dalam ruang vakum, penyelengaraan pilkada tidak mungkin dipisahkan dari berbagai aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, bahkan kondisi keamanan di daerah bersangkutan.

Sedangkan, yang dimaksudkan dengan strategi peliputan di sini adalah bagaimana media bisa menghasilkan liputan yang baik, berkualitas, mencerahkan, bahkan memberdayakan pembaca.[1] Sementara, hasil liputan yang baik itu dicapai dengan mengatasi keterbatasan media dalam hal sarana peliputan, biaya, sumberdaya manusia, dan sebagainya.

Semua ini juga harus memperhitungkan bahwa tidak semua peliputan jurnalistik bisa direncanakan. Dalam praktik jurnalistik, tiap jurnalis harus siap meliput hal-hal tak terduga, yang tak bisa direncanakan, seperti: bencana alam, tsunami, gempa bumi, kecelakaan pesawat terbang, aksi terorisme, dan sebagainya.

Sedangkan dalam dunia politik, hal-hal yang tak terduga ini bisa dikurangi dengan pemahaman dan analisis yang baik terhadap situasi dan kondisi politik setempat. Sebagai jurnalis, kita tentu harus paham peta politik setempat, siapa saja aktor yang bermain (tokoh, lembaga, parpol, organisasi, dan lain-lain), dan apa kepentingan mereka masing-masing. Jika kita sudah memahami hal ini, kita tak akan terkaget-kaget melihat perkembangan yang terjadi di lapangan.
Perencanaan Peliputan

Dalam perencanaan peliputan, saya akan mulai dengan pendekatan yang sederhana. Yaitu, pendekatan lewat rumus 5 W + 1 H (apa, siapa, mengapa, di mana, kapan + bagaimana). Saya akan mengajukan sejumlah pertanyaan lewat rumus 5 W + 1 H ini, sebagai berikut:

APA:
· Apa yang menjadi isu utama dalam pilkada kali ini? Misalnya: Apakah rakyat memang mendukung pilkada? (ini akan terlihat dari tingkat partisipasi mereka dalam proses pilkada).
· Apakah daerah ini siap melaksanakan pilkada, secara jujur, adil, bebas, rahasia, aman, tertib, legal-konstitusional, dan betul-betul mewujudkan aspirasi demokratis rakyat? (Di sini mencakup kesiapan KPU secara teknis-operasional, dukungan dana, dan sebagainya).
· Apakah keberadaan pilkada ini akan mendukung atau memberi sarana bagi penyelesaian masalah-masalah utama yang dihadapi rakyat/daerah? Atau sebaliknya, justru berpotensi menghasilkan masalah-masalah baru? (Misalnya: potensi konflik antar-elemen masyarakat, yang justru bisa meruncing dan meledak menjadi kerusuhan sosial).

SIAPA:
· Siapa saja calon yang maju dalam pilkada? Mereka ini “orang baru” atau “orang lama”? Apakah mereka “berpengalaman” dalam pemerintahan? (Catatan: “berpengalaman” tidak jadi jaminan mampu jadi pemimpin pemerintahan yang baik).
· Siapa partai politik atau komponen masyarakat yang menjadi basis utama pendukung mereka? (Dukungan bisa berbasiskan etnis, kekerabatan, lokasi geografis, agama, latar belakang organisasi, dan sebagainya).
· Apakah calon-calon yang maju memang figur-figur yang layak menjadi kepala daerah, dilihat dari segi kapabilitas, integritas pribadi, intelektualitas, pemihakan kepada kepentingan rakyat/daerah, dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang dihadapi rakyat /daerah?
· Apakah mereka figur-figur “bermasalah” (pernah tersangkut kasus KKN atau pidana, pelanggaran HAM, punya perilaku pribadi atau skandal yang memalukan, dan sebagainya)?

MENGAPA:
· Mengapa calon-calon yang maju “itu-itu” saja? Apakah mekanisme/sistem pengajuan calon yang diberlakukan pada pilkada ini justru menghambat munculnya calon-calon yang lebih berkualitas?
· Mengapa calon independen bisa/tidak bisa maju dalam pilkada kali ini? Bagaimana jika mereka yang ditolak maju, memilih mengajukan perkara ke pengadilan?
· Mengapa rakyat antusias/kurang antusias menyambut pilkada? Apakah mereka merasa aspirasinya terhambat? Atau mereka apatis?

DI MANA:
· Di daerah mana saja kandidat A berpotensi unggul, dan di daerah mana saja ia berpotensi kalah? Bagaimana komposisi perbandingan kekuatan/basis dukungan antara berbagai kandidat yang ada tersebut?
· Di daerah mana saja terdapat potensi masalah dalam penyelenggaraan pilkada (gangguan keamanan, ancaman kekerasan, kecurangan, keterbatasan infrastruktur, dan sebagainya)?

KAPAN:
· Kapan batas penentuan calon, masa kampanye, minggu tenang, pemungutan suara, penetapan hasil perhitungan suara, dan sebagainya? Apakah cukup waktu bagi persiapan dan pelaksanaan pilkada yang baik?

BAGAIMANA:
· Bagaimana pelaksanaan pilkada ini, dilihat dari aspek jujur, adil, bebas, rahasia, keamanan, ketertiban, dan sebagainya? Apakah pilkada ini cukup “sukses”, dilihat dari sejumlah kriteria tersebut?
· Bagaimana pemenang pilkada akan mampu menjalankan roda pemerintahan, tanpa terlalu banyak memihak pada kepentingan basis pendukung utamanya dulu (utang dana kampanye yang harus dibayar kembali, dan sebagainya)?
· Bagaimana rakyat, media, LSM, dan elemen-elemen masyarakat lain dapat mengontrol pelaksanaan pilkada?
· Bagaimana rakyat dan elemen-elemen masyarakat lain dapat mengawal agenda calon yang menjadi pemenang pilkada, sehingga janji kampanye yang pernah diucapkan dapat betul-betul diwujudkan dalam program pemerintah? (bukan sekadar “angin surga” atau janji palsu!)

Dari sekian pertanyaan dari rumus 5 W + 1 H tersebut, redaksi dapat menyusun rencana peliputan, dengan memfokuskan diri pada isu-isu krusial. Isu krusial ini tentu berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada situasi dan kondisi setempat.
Pertimbangan lain, pihak redaksi harus fokus karena keterbatasan jumlah sumberdaya (biaya, sarana) dan SDM.

Khalayak pembaca di sisi lain juga harus diberi sajian berita yang berkualitas dan terarah. Mereka tidak sepatutnya diberi berita-berita yang dibuat asal jadi, tanpa wawasan yang mencerdaskan, mencerahkan dan memberdayakan.
Suka atau tidak, berita-berita seputar pilkada sepatutnya memang memberi pembelajaran politik pada rakyat, membuat mereka lebih tercerahkan, dan lebih berdaya menentukan nasibnya sendiri. Inilah hal terbaik yang bisa diberikan oleh media pada rakyat.

Depok, 13 September 2007

* Penulis adalah News Producer di Trans TV (2002-sekarang), mantan Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 1995-1997. Pernah bekerja di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), dan Harian Media Indonesia (2000-2001).

[1] Menkominfo pernah mencanangkan rumus 3 E + 1 N untuk kriteria tayangan yang baik di media TV. Yaitu: education (tayangan yang bersifat mendidik), empowering (bersifat memberdayakan masyarakat), enlightening (memberi pencerahan pada masyarakat, agar masyarakat tidak terpuruk di masalah yang itu-itu saja), dan nasionalisme (liputan harus menanamkan kecintaan pada bangsa dan mendorong kemajuan bangsa).

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar