Kamis, 11 Agustus 2011

TV SEBAGAI ASOSIASI DALAM RANAH MASYARAKAT

TV SEBAGAI ASOSIASI DALAM RANAH MASYARAKAT DALAM MENGUSAI PASAR
Televisi bukanlah teknologi ciptaan bangsa Indonesia. Teknologi ini ditemukan di peradaban bangsa Eropa. Teknologi ini berkembang di awal abad 19 di Prancis melalui kamera. Setelah teknologi kamera ditemukan maka berkembanglah teknologi baru yaitu pembuatan film dan sinema lalu kemudian berkembang menjadi televisi.
Industri televisi sendiri saat ini juga lebih dikenal dengan istilah broadcasting atau penyiaran. Perlu disadari juga bahwa industri ini telambat masuk ke Indonesia. Sekitar tahun 1930-an Belanda sebenarnya sudah menjual televisi mereka yang pertama. Namun sekitar tahun tersebut Indonesia masih belum bebas dari jerat penjajahan. Kondisi tersebut mungkin yang menyebabkan Indonesia terlambat untuk menerima kehadiran teknologi baru, yaitu televisi.
Era teknologi media bangsa ini diawali dengan era media cetak dan radio. Pers dan radio berkembang pesat di Indonesia pada masa itu dan memang menjadi salah satu alat perjuangan bangsa ini dalam mencapai kemerdekaan. Era media cetak di Indonesia diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke 17 lewat tulisan berita singkat mengenai keadaan Eropa. Sedangkan radio sendiri menjadi saksi atas dibacakannya teks Proklamasi pada tahun 1945. Teknologi radio diperkenalkan kepada bangsa ini pada saat penjajahan Jepang dan digunakan sebagai alat propaganda oleh Jepang untuk kepentingan Perang Dunia II.
Perkembangan tv di di indonesia.
Masa Orde Lama
Pada tahun 1962 menjadi tonggak pertelevisian Nasional Indonesia dengan berdiri dan beroperasinya TVRI. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat strategis pemerintah dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiatan sosial hingga kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa decade TVRI memegang monopoli penyiaran di Indonesia, dan menjadi “ corong “ pemerintah. Sejak awal keberadaan TVRI, siaran berita menjadi salah satu andalan. Bahkan Dunia dalam Berita dan Berita Nasional ditayangkan pada jam utama.
Siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962 bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII. Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 waktu Indonesia bagian barat untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara. Televisi Republik Indonesia (TVRI) baru melaksanakan siaran secara kontinyu 24 Agustus 1962. Liputan perdananya adalah upacara pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Saat ini siaran televisi di Indonesia telah dapat menjangkau di duapuluh tujuh propinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa (yang mampu pula
menjangkau wilayah Asean).
Pada awalnya, persetujuan untuk mendirikan televisi hanya dari telegram pendek Presiden Soekarno ketika sedang melawat ke Wina, 23 Oktober 1961. Saat itu tentunya bangsa ini belum melek teknologi. Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, bahkan acara yang di tayangkan pun tidaklah variatif. Terlebih bangsa ini belum familiar terhadap barang ini dan kepemilikan televisi saat itu berbeda dengan saat ini. tidak semua orang bisa memiliki televisi. Di era ini regulasi penyiaran dikeluarkan melalui Menteri Penerangan dengan SK Menpen No. 20/SKM/1961 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) dan Kepres No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan PU Presiden RI.
Masa Orde Baru
Tahun 1974 posisi TVRI diubah menjadi salah satu bagian organisasi dari Departemen Penerangan. Status TVRI menjadi Direktorat dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jendral Radio, TV dan Film Departemen Penerangan RI. Televisi bertugas menginformasikan dan mendukung penuh usaha pembangunan era itu. Tahun 1975 dikeluarkan SK Menpen No. 55 Bahan Siaran/KEP/Menpen/1975. dengan demikian status TVRI menjadi ganda yaitu sebagai yayasan dan direktorat dan dalam manajemen diterapkan manajemen birokrasi.
Tahun 1987, monopoli TVRI akhirnya roboh dengan dikeluarkannya SK Menpen No. 190A/KEP/MENPEN/1987. SK ini menunjukkan bahwa TVRI diberi hak untuk menyelenggarakan SSU (Siaran Saluran Umum) dan SST (Siaran Saluran Terbatas). SSU adalah siaran yang bisa ditangkap oleh televisi biasa, sedangkan SST memerlukan alat khusus dan hanya dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Pihak swasta yang boleh mengisi SST pada waktu itu adalah RCTI. RCTI dan TVRI bekerjasama dan menandatangani perjanjian 12,5% pendapatan iklan dari siaran RCTI adalah milik TVRI. Akhirnya 1 Maret 1989 RCTI mengudara dan menyediakan 70.000 dekorder sebagai alat untuk menyaksikan SST milik RCTI.

Tahun 1990 RCTI menjadi SPTSU (Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum), yang boleh siaran tanpa batas. Menyusul 1 Agustus 1990 SCTV menyusul menjadi SPSTU tanpa perlu dekorder seperti RCTI. Menyusul TPI sebagai stasiun televisi milik keluarga Cendana diresmikan tanggal 23 Januari 1991 sebagai televisi pendidikan. Lalu pada 30 Januari 1993 berdiri ANTV serta tanggal 18 Juni 1994 berdiri INDOSIAR. Kesemua stasiun tersebut berdiri sebagai SPSTU.
masa Reformasi
Era ini dikejutkan dengan ditutupnya Departemen Penerangan oleh presiden Abdurachman Wahid, yang mengakibatkan status TVRI menjadi tidak jelas. Kemudian pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 2000 tentang status TVRI menjadi Perjan yang berada dan bertanggung jawab pada Departemen Keuangan RI. Tak lama kemudian muncul lagi PP No. 9 Tahun 2002 yang mengubah status TVRI menjadi PT. Ini menempatkan posisi TVRI menjadi dibawah pengawasan Departemen Keuangan RI dan Kantor Menteri Negara BUMN. Desember 2002 keluar UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dalam salah satu poinnya menjelaskan TVRI sebagai TV Publik.

Hingga tahun 2002 muncul banyak stasisun televise seperti MetroTV, Lativi, TV7 dan Global TV. Kemudian muncul juga TV Lokal seperti Bali TV, Jogja TV, TATV, Jawa Pos TV, Riau TV, dan lain-lain. Hingga kini muncul 11 stasiun televisi yaitu RCTI, MNC TV (TPI), Global TV, TV One, ANTV, Trans TV, Trans 7, Indosiar, SCTV, Metro TV, dan TVRI.
Saat ini UU Penyiaran yang dipakai adalah UU No. 32 Tahun 2002. UU ini mengatur perihal penyelenggaraan penyiaran seperti KPI, jasa penyiaran, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran berlangganan, lembaga penyiaran asing, stasiun dan wilayah jangkauan, teknis penyiaran, perizinan, dan lain-lain. Selain lembaga yang berwenang mengawasi jalannya UU tersebut adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan LSF (Lembaga Sensor Film).
Sedangkan regulasi diluar regulasi negara diatur oleh asosiasi-asosiasi televisi. Mereka membuat kode etik berkenaan content product dan regulasi mengenai persaingan. Tujuannya agar tercipta persaingan sehat diantara perusahaan media, terutama TV.
Hadirnya arus globalisasi ditengah-tengah masyarakat kita telah membawa dampak besar terhadap keberadaan kebudayaan setempat. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya, disebabkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang konon katanya lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat. Sebuah istilah ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop”, di mana dalam pengaktualisasiannya telah mendapat dukungan dari penggunaan perangkat berteknologi tinggi ini, sehingga dalam penyebarannya begitu cepat dan mengena serta mendapat respon sebagian besar kalangan masyarakat. Dalam memperbincangkan dan mewacanakan ”Budaya Populer”, selalu dihadapkan pada intepretasi multi persepsi hingga menimbulkan penafsiran yang beragam. Suatu penafsiran yang terbanyak diungkap di berbagai wacana mengenai definisi budaya populer tersebut adalah sebuah budaya ataupun produk budaya yang disukai dan disenangi oleh masyarakat. Budaya populer sering dianggap sebagai suatu kebudayaan instan yang cenderung melawan “suatu proses”, sehingga golongan masyarakat yang bersebrangan dengannya, mengagap sebagai budaya dengan peradaban dangkal pemikiran, tanpa nilai, makna kabur, cari sensasi, berperilaku rusak dan masyarakatnya berjiwa konsumtif dan hedonis.
Dalam perspektif industri budaya, “bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media” (Sunarti 2003). Hal ini dianggap bahwa Media telah memproduksi segala macam jenis produk budaya populer yang dipengaruhi oleh budaya impor dan hasilnya telah disebarluaskan melalui jaringan global media hingga masyarakat tanpa sadar telah menyerapnya. Dampak dari hal itu, menyebabkan lahirlah perilaku yang cenderung mengundang sejuta tanya, karena hadirnya budaya populer di tengah masyarakat kita, tak lepas dari induknya yaitu media yang telah melahirkan dan membesarkannya. Media dalam menjalankan fungsinya, selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai institusi pencipta dan pengendali pasar produk komoditas dalam suatu lingkungan masyarakat. Dalam operasionalisasinya, media selalu menanamkan ideologinya pada setiap produk hingga obyek sasaran terprovokasi dengan propaganda yang tersembunyi di balik tayangannya itu. Akibatnya, jenis produk dan dalam situasi apapun yang diproduksi dan disebarluaskan oleh suatu media, akan diserap oleh publik sebagai suatu produk kebudayaan, dan hal ini berimplikasi pada proses terjadinya interaksi antara media dan masyarakat. Kejadian ini berlangsung secara terus menerus hingga melahirkan suatu kebudayaan berikutnya. Kebudayaan populer akan terus melahirkan dan menampilkan sesuatu bentuk budaya baru, selama peradaban manusia terus bertransformasi dengan lingkungannya mengikuti putaran jaman
Dampak siaran televisi yang dilansir secara gencar dengan model Budaya Populer lewat keragaman tayangannya, akan membentuk pradigma dan gaya hidup masyarakat dengan perilaku yang mengusung kecenderungan berjiwa materialis dan hedonis dalam lingkunganmasyarakat kapitalis.
Asosiasi Industri Media Televisi
Media bagaimanapun juga adalah sebuah institusi ekonomi. Sebuah institusi ekonomi dalam era globalisasi tidaklah mungkin berdiri sendiri atau memiliki single market, kecuali apabila memang lembaga tersebut milik Negara. Layaknya sebuah institusi ekonomi, media juga memiliki jaringan serta asosiasi untuk mengawasi persaingan juga turut membangun jaringan agar menjadi wadah komunikasi bersama berkaitan dengan kepentingan media tersebut.
Televisi yang merupakan salah satu media massa juga memiliki asosiasi serta jaringan bersama masyarakat dan pemerintah. Asosiasi menjadi penting bagi industri media seperti televisi karena dengan adanya asosiasi maka hak-hak usaha akan dilindungi. Selain itu jaringan serta pengawasan dari masyarakat dan pemerintah akan mewujudkan suatu keadaan yang harmonis dimana mereka dapat juga melindungi kepentingan masyarakat dan Negara.
Di Indonesia sendiri sudah ada asosiasi untuk televisi nasional swasta. Sedangkan jaringan masyarakat yang peduli media sendiri juga sudah ada namun jumlahnya masih sangat sedikit. Sedangkan lembaga independen yang mengawasi media televisi juga sudah ada dan dibentuk oleh pemerintah.
Ada beberapa asosiasi industri televisi jaringan masyakat yaitu:
A.ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia)
ATVSI berusaha menumbuhkembangkan industri televisi swasta juga sekaligus ikut menumbuhkembangkan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Sebagai wadah kepentingan bersama anggota, ATVSI antara lain berperan aktif dalam berbagai isu regulasi maupun peraturan perundang-undangan penyiaran. Peran aktif ini dilakukan untuk memastikan regulasi maupun peraturan perundang-undangan penyiaran kondusif bagi pertumbuhkembangan industri penyiaran Indonesia. Sebagai penghubung dengan stakeholders penyiaran, ATVSI antara lain aktif dalam berbagai forum masyarakat yang membahas, mendiskusikan bahkan mengkritisi isi siaran televisi. Dan komunikasi yang aktif juga dilakukan dengan regulator penyiaran dan yang terkait dengan penyiaran. Hal ini sebagai bagian dari upaya agar isi siaran anggota ATVSI lebih berkualitas dan melahirkan nilai nilai positif bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
ATVSI didirikan pada tanggal 4 Agustus 2000 dengan pendirinya adalah RCTI, SCTV, TPI, Indosiar , ANTV. Kini ATVSI memiliki 10 anggota yaitu RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, Trans TV, Antv, Global TV, Metro TV, Trans 7 dan TV One. Kesepuluh anggota ini menyelenggarakan siaran secara nasional. Sebagai asosiasi ATVSI memiliki Visi yaitu memajukan industri televisi siaran Indonesia dan Misi yaitu memajukan, menampung, menyalurkan kepentingan dan keinginan bersama dalam mengembangkan etika perilaku, tanggung jawab profesional dan pelayanan bagi anggotanya demi kepentingan masyarakat.
B.Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia
Mengembangkan lembaga penyiaran televisi yang memiliki ciri keberagaman pemilik (diversity of ownership) dan keberagaman isi siaran (diversity of content) sebagai wujud tercapainya kebijakan otonomi daerah dan regulasi kebebasan pers di Indonesia.

a.Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia
Pada tanggal 30 Mei 2o07, Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV IKJ) menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Perkembangan TV Komunitas di Indonesia. Forum diskusi yang didukung oleh Depkominfo RI tersebut menelorkan adanya gagasan untuk memberikan advokasi bagi keberadaan televisi komunitas di Indonesia.
Pasca kegiatan seminar tersebut, bertempat di Grabag TV, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah bulan September 2007 diselenggarakan Workshop dan pertemuan televisi komunitas. Kegiatan tersebut didukung oleh Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Forum pertemuan tersebut juga menghasilkan terbentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Televisi Komunitas yang bertugas untuk: 1) menyiapkan kelembagaan asosiasi televisi komunitas se-Indonesia, 2) memberikan penguatan kapasitas bagi pengelola televisi komunitas, 3) memberikan advokasi bagi lembaga penyiaran televisi komunitas dan 4) membangun jaringan bagi televisi komunitas. Anggota Kelompok Kerja ini berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari berbagai unsur dari lembaga penyiaran televisi komunitas, akademik, dan LSM.
Pada bulan Desember 2007, Kelompok Kerja TV komunitas bekerjasama dengan Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, menyelenggarakan seminar dan workshop tentang masa depan televisi komunitas di Indonesia. Kegiatan ini juga didukung oleh Combine Resource Institution Yogyakarta, FFTV Institut Kesenian Jakarta, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Yogyakarta, dan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam kegiatan tersebut didiskusikan tentang bagaimana latar belakang keberadaan televisi komunitas, regulasi bagi televisi komunitas dan sharing pengetahuan tentang televisi komunitas serta upaya membangun jaringan kerjasama bagi pengembangan televisi komunitas di Indonesia.
Sesuai dengan amanat yang diemban oleh kelompok kerja (Pokja) TV komunitas pasca pertemuan di Grabag-Magelang, Pokja TV komunitas menyiapkan konsep kelembagaan bagi asosiasi televisi komunitas se-Indonesia dan menyelenggarakan Temu Nasional Televisi Komunitas Se-Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 17-20 Mei 2008 di Grabag, Magelang. Kegiatan tersebut didukung oleh Yayasan Tifa Jakarta, FFTF IKJ, Combine Resource Institution,
Rumah Pelangi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Temu Nasional TV komunitas diikuti oleh berbagai pengelola televisi komunitas baik yang berbasis geografis/warga, televisi komunitas berbasis kampus dan berbagai pengelola TV Edukasi yang berada di SMK-SMK baik swasta maupun negeri, serta para aktivis penyiaran dan pegiat media komunitas dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dan akademisi.
Pada tanggal 20 Mei 2008, Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI) dideklarasikan dengan struktur kelembagaan berupa Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus ATVKI. Semua peserta dan sejumlah tokoh menandatangai naskah deklarasi asosiasi televisi komunitas Indonesia. Selanjutnya Dewan Pengurus ATVKI akan menentukan Direktur Eksekutif ATVKI yang bertugas menjalankan roda organisasi dalam kesehariannya untuk mencapai visi dan misi organisasi yang telah dirumuskan bersama dalam Temu Nasional Televisi Komunitas se-Indonesia.
b.Asosiasi Televisi Lokal Indonesia
Asosiasi televise local indonesia atau ATVLI didirikan sebagai wadah berkumpulnya stasiun-stasiun televisi lokal di Indonesia guna memperjuangkan kepentingan para anggotanya dan kepentingan masyarakat local.
Pengaturan TV dan Model Kekuasaan Pasar
Kita sejauh ini telah melihat pertanyaan umum dari mode produksi kapitalis sebagai faktor penentu struktural dan cara di mana “tangan tersembunyi” –nya Adam Smith bekerja untuk membangun (menstrukturkan) seluruh distribusi sumber-sumber sosial untuk dan semua sektor komunikasi. Tapi memberikan sistem yang lebih luas ini kita juga perlu menganalisa bagaimana dan mengapa agen ekonomi berbuat sebagaimana yang mereka lakukan dan dengan hasil apa. Untuk memahami bagaimana proses persaingan pasar kapitalis bekerja, dan alasan-alasan yang terdapat baik pada strategi perusahaan maupun intervensi pengaturan publik, kita perlu menggambarkan tidak hanya tentang model marginalis neo-klasik yang masih dominan pada persaingan pasar, tapi juga tentang pengertian terhadap kelembagaan ekonomi dan ekonomi industrial.
Ada dua cara di mana Anda dapat melihat operasi dari sebuah sistem ekonomi: sebagai sebuah pasar atau rangkaian pasar-pasar yang di dalamnya agen-agen yang bersaing saling berinteraksi, atau sebagai rangkaian sistem produksi konkrit. Sementara perspektif ini, tanpa sarana yang diperlukan, adalah tidak cocok – sesunguhnya mereka adalah kombinasi baru dalam kebanyakan analisis pengaturan – mereka menekankan problem-problem yang berbeda dari kekuasaan ekonomi, hambatan struktural yang berbeda dan berbagai jenis yang berbeda dari aktor strategis. Perspektif yang terdahulu berfokus pada persaingan antara modal, pada aliran keuangan, dan maksimalisasi keuntungan, yang kemudian tentang koordinasi bahan mentah, teknologi produktif dan tenaga kerja untuk menghasilkan komoditi dngan spesifikasi properti tertentu untuk mencapai permintaan pasar teretentu dalam rangka efisiensi.
Pasar Media
Apapun pro dan kontra tentang pasar sebagai suatu mekanisme umum untuk koordinasi sosial dan pembangunan ekonomi media menawarkan tantangan terhadap neo-klasik, model marginalis tentang bagaimana pasar diperkirakan bekerja yang berasal dari karakteristik khusus dalam sebuah pasar informasi atau komunikasi. Tantangan ini sekarang adalah sentral pemikiran, tidak hanya tentang bagaimana media diorganisasikan, bagaimana mereka dikembangkan dan bagaimana, jika pada keseluruhannya, mereka harus diatur. Hal ini adalah juga krusial dalam memikirkan tentang masa depan ekonomi secara umum, khususnya karena mereka yang berargumen bahwa kita berada dalam transisi ke arah sebuah ekonomi informasi, dan sebuah masyarakat informasi yang berdasarkan atasnya, membuktikan bahwa apa yang selalu menjadi karakteristik sektor media ekonomi – produksi komoditi immaterial – sekarang mencirikan produksi umum dari barang dan jasa melalui ekonomi sebagai suatu keseluruhan.
Untuk memahami apa yang menjadi pokok masalah, kita perlu melihat pertama pada asumsi dasar yang terdapat pada model pasar neo-klasik. Hal ini berdasarkan atas agen-agen ekonomi yang sepenuhnya rasional yang mengejar maksimalisasi manfaat atas pasar, di mana tidak ada agen-agen yang cukup sangat berkuasa untuk menentukan harga faktor produksi maupun harga-harga pasar yang jelas dari komoditi, di mana konsumen mempunyai sebuah pilihan atas manfaat-manfaat yang dapat disubstitusikan. (digantikan), dan di mana masuk atau keluar pasar adalah bebas biaya, di mana biaya produksi dapat dilewatkan secara proporsional kepada konsumen, yaitu biaya adalah ditangkap di dalam harga, dalam terminologi para ahli ekonomi, tidak ada externalities dan tidak ada penumpang gelap (freeloaders). Ketika pasar-pasar tersebut beroperasi itu akan menjamin alokasi yang paling effisien atas sumber-sumber produksi. Tidak ada sumber-sumber dicurahkan untuk memproduksi sesuatu yang tak diinginkan oleh seorang pun, pada harga yang mereka tidak dapat capai, dan saham output kepada para produser yang akan mencerminkan usaha minimum yang dibutuhkan untuk memproduksi output tersebut dan tidak akan termasuk sebuah sewa yang tak pada tempatnya yang diperas dari para konsumen. Karena perusahaan-perusahaan yang bersaing menghadapi para konsumen yang bersaing, maka tidak ada monopoli (penjual tunggal) dan juda tidak ada monopsony (pembeli/pembayar tunggal), para produser yang paling effisienlah yang akan bertahan hidup dan modal akan dialihkan kepada yang paling menguntungkan, karena yangb paling effisien, perusahaan atau sektor atau ke dalam pasar-pasar baru yang belum jenuh – di mana permintaan dapat diciptakan atau di mana permintaan belum sepenuhnya dipuaskan pada biaya terendah yang mungkin.
Model pasar seperti ini menghasilkan kurva permintaan dan suplai yang terkenal. Ketika produksi sebuah produk baru dimulai, itu membutuhkan biaya tetap yang relatif tinggi – biaya minimum untuk masuk pasar, yaitu bahwa biaya produksi real pada unit pertama produksi adalah tinggi dan secara umum oleh karena itu produk dijual di bawah biaya produksinya. Keuntungan adalah tergantung dari pencapaian jalannya produksi dari ukuran yang diberikan, yang di atasnya disebarkan biaya overhead tetap dan maka di atas suatu tingkatan yang ada pada penetrasi pasar. Di sisi lain dari sebuah koin, diasumsikan bahwa untuk setiap produk yang ada, permintaan akan relatif rendah pada harga (biaya) yang tinggi, tapi bahwa permintaan itu akan bertambah karena harganya menjadi turun sampai pada suatu titik di mana permintaan menjadi jenuh dan tidak ada lagi unit produksi yang akan terjual pada harga berapapun. Kunci neo-klasikal, model marginalis adalah bahwa keputusan produksi krusial dan konsumsi adalah di buat pada margin. Produksi berhenti membesar pada titik di mana biaya produksi dari sebuah unit ekstra melebihi penghasilan/pendapatan yang dapat diturunkan dari sebuah penjualan ekstra. Dengan batas margin inilah tattonment bahwa suplai dan permintaan adalah terjaga dalam keseimbangan yang keras melaui waktu, dan lalu ekonomi berjalan dekat pada effisiensi maksimumnya. Adalah penting dicatat bahwa inilah model untuk menjelaskan perilakuk strategis dari para produser dan para konsumen. Tidak lain ini adalah mengatakan satu cara atau lainnya tentang distribusi atau alokasi surplus, kecuali sejauh karena tenaga kerja adalah termasuk di dalam model sebagai suatu faktor produksi, pekerjaan yang tergantung pada produktifitas marginalnya – harga yang didapat untuk unit terakhir dari produksi yang dibuat oleh pekerja terakhir yang dibayar – dan atas biaya relatif dari investasi modal dalam permesinan versus biaya membayar upah pekerja. Di dalam model ini tingkatan upah/gaji dan lalu distribusi surplus adalah ditentukan oleh harga pasar yang jelas untuk tenaga kerja.
Adalah penting untuk memahami garis besar mendasar dari model marginalis neo-klasik ini, karena ini adalah pondasi yang di atasnya pengertian asumsi yang paling umum didasarkan, tentang bagaimana pasar secara umum dan pasar-pasar media dan informasi pada khususnya bekerja dan maka perdebatan tentang apa yang diinginkan mereka atau sebaliknya dan kebutuhan untuk pengaturan mereka atau sebaliknya.
Model Pasar dan Kritik Terhadapnya
Untuk memahami kritik umum yang dapat dibuat dari model seperti ini dan kemudian kritik yang lebih memahami apakah yang menjadi isue dalam perdebatan tersebut kita perlu pertama-tama spesifik tentang kemampuan penerapannya terhadap pasar informasi dan komunikasi.
Kritik pertama yang paling krusial, dengan kepentingan yang khusus, sebagaimana yang akan kita lihat, bagi komunikasi, adalah bahwa asumsi rasional, agen-agen ekonomi yang sepenuhnya terinformasi adalah tidak diketemukan. Di dalam dunia nyata, informasi adalah bukan barang yang gratis (bebas biaya), dan untuk alasan inilah biaya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan ekonomi dan problem akses yang berbeda kepada informasi tersebut perlu menjadi unsur (faktor) dalam model tersebut. Dari perspektif tersebut pemilikan barang langka dengan pembatasan informasi yang berbiaya dapat menyediakan keuntungan/keunggulan kompetitif yang tidak mudah dikuasai. Sebagai contoh, British Telecom mempunyai informasi tentang pelanggan dan penggunaan telepon mereka dan BskyB tentang langganan layanan satelit yang tidak tersedia bagi pesaing potesialnya. Setiap pemegang jabatan di dalam sebuah pasar akan cenderung untuk memiliki informasi tentang biaya operasi atau mungkin punya hubungan kontraktual istimewa dengan suplier (pemasok) potensial, ketidaktahuan yang memunculkan resiko pada jalan masuk ke pasar yang kompetitif. Untuk alasan ini pulalah bahwa mungkin lebih rasional bagi sebuah perusahaan untuk melindungi dan mempertinggi bagian sahamnya pada suatu pasar yang ia sudah siap dan dikenalnya, tinimbang berusaha untuk memasuki suatu pasar yang ia tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentangnya. Faktor ini membuat struktur industri lebih menancap ketimbang yang teori neo-klasik telah asumsikan. Dari sisi permintaan konsumen tidak dapat menghasilkan membuat jejaring pilihan-pilihan yang tersedia. Keputusan pembelian aktual mereka adalah lebih seperti ditentukan – dan biaya informasi yang ada sangat rasional sehingga – dengan kebiasaan – melekat dengan setan yang anda ketahui – maka dengan kesetiaan terhadap merek, atau oleh iklan, di mana biaya pencarian adalah dipikul oleh para penjual bukan oleh para pembeli. Dalam teori murni para konsumen disarankan dihadapkan dengan rentang produk atau jasa yang dapat disubstitusi dan yang memungkinkan untuk membuat mudah menjualkan antara kualitas dan harga. Tapi dalam kenyataannya, sementara hal ini mungkin relatif mudah ketika membeli buah dalam sebuah pasar jalanan, pada kebanyakan transaksi hal ini tidak mudah. Sangat sulit untuk menilai ‘kualitas’ nyata dari suatu produk dibandingkan dengan yang lainnya, jika hanya bersifat marginal, karena mereka tidak dapat digantikan, dan dengan mengobok-obok air harga yang dapat dibanding-bandingkan dengan berbagai strategi penetapan harga.
Kedua, model mengasumsikan bahwa faktor produksi dan produk adalah homogen, sehingga peralihan investasi itu atau daya beli dari yang satu ke yang lainnya adalah relatif tanpa biaya atau tanpa gesekan. Namun lagi-lagi dunia nyata tidaklah begitu. Dari sisi produksi problem ini dialamatkan khususnya pada perspektif biaya tetap. Investasi modal kenyataannya berada dalam bentuk teknologi produksi yang spesifik atau tenaga kerja ahli yang tidak dapat dengan mudah dialihkan ke dalam bentuk lain dari produksi karena dan ketika tanda-tanda biaya marginal diketahui. Pabrik mungkin akan harus dihapuskan dan para pekerja ahli, yang dibangun sepanjang waktu, dapat hilang bersama-sama atau hilang bagi pesaing. Maka ada kelembaman jalan-ketergantungan di dalam sistem. Hal ini akan menjadi kepentingan strategis dari manajemen untuk menjalankan sebuah operasi paling tidak keuntungan maksimum ketimbang apa yang keluar bersama-sama, khususnya karena prosesnya mengambil tempat dalam waktu dan dalam kondisi rasionalitas yang terbelenggu. Mungkin dapat sangat rasional untuk menangguhkan hari yang jahat: pasar yang dapat membuat sebuah kemajuan; pesaing anda dapat keluar dari pasar sebelum anda melakukannya, dan seterusnya.
Ketiga, model mengasumsikan bahwa antara keputusan investasi dan keputusan pembelian adalah mempunyai ciri-ciri tersendiri – dalam terminologi ekonomi: divisble (dapat dibagi) – masing-masing keputusan dapat diambil secara terisolasi dalam cahaya informasi pasar yang kemudian tersedia. Hal ini mungkin benar mengenai bentuk-bentuk yang sangat sederhana dari produksi: ketika permintaan meningkatkan suatu pekerja ekstra yang keahliannya siap pakai; ketika di sana ada kecenderungan menurun, pekerja diberhentikan. Jika saya memutuskan untuk memuaskan kebutuhan makan saya hari ini dengan membeli sekerat roti, saya dapat dengan mudah memuaskan hal sama esok harinya, untuk alasan apapun, dengan membeli satu pack spaghetti. Tapi kebanyakan keputusan dalam sebuah ekonomi yang berkembang adalah bukan type itu. Dari point produksi dalam pandangan investasi adalah kental – apakah anda menanam modal dalam sebuah fasilitas produksi, katakanlah sebuah jaringan broadcasting (radio/TV), dan mengupah atau melatih para pekerja dengan keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankannya, atau anda tidak melakukannya, dan bahwa investasi hanya akan membayar pada tingkatan yang ada/diberikan oleh hasil bahkan jika permintaan pasar berfluktuasi di sekitarnya.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar