Jumat, 12 Agustus 2011

Rangkuman Buku Sistem Sosial Indonesia (DR NASIKUN)


BAB 1
PENDAHULUAN
            Suatu pemahaman akan bahayanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten yang akan muncul lagi dan faktor-faktor apakah yang sebaliknya mengintregasikan masyarakat Indonesia yang memiliki kondisi-kondisi konflik? Hal inilah yang bisa menimbulkan minat penulis untuk menulis buku ini. Pada tingkat pertama minat tersebut berkeinginan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik sosial namun pada akhirnya penulis bermaksud mencari pengertian faktor-faktor yang mengintregasikan masyarakat dan kemungkinan yang terjadi nanti dikemudian hari, dimana pemahamannya yang tidak mudah. Kendati masalah konflik dan intregasi telah menjadi pertanyaan yang sudah lama sejak awal teori sosiologi.
Usaha para tokoh sosiologi untuk menjawab hal tersebut telah menciptakan banyak sekali aliran pemikiran dengan berbagai pandangan yang berbeda. Adanya beraneka-ragam aliran-aliran pemikiran mengenai bagaimana masyarakat terintregasi itulah maka suatu sudut pendekatan harus ditentukan dahulu sebelum pembicaraan jauh berkembang. Namun buku ini hanya ingin memperkenalkan dua diantara sekian banyak sudut pendekatan sosiologi yang paling kontrovesional di dalam menganalisis masalah konflik dan intregasi, sambil mengintip kemungkinan untuk menyusun suatu sintesis di antara keduanya sedemikian rupa, sehingga akan lebih realistis dalam menganalisis sistem sosial Indonesia.


BAB 2
PENDEKATAN TEORITIS
            Masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk ekuilibrium. Karena sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut Integration approach, equilibrium approach, atau dengan lebih terkenal disebut sebagai structural-functional approach. Teori yang mendasarkan diri pada sudut pendekatan tersebut  disebut intregation theories, order theories, equilibrium theoris atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional struktural.
            Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangakan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka yang secara singkat, dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang diatas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma itulah yang sesungguhnya membentuk struktursosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting, yakni mekanisme sosial dan pengawasan sosial (sosial control).
            Pemikiran-pemikiran Parson dapat diketahui betapa pendekatan fungsionalisme struktural terlalu menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial. Sebaliknya apa yang oleh Davit Lockwood disebut sebagai substratum, yakni disposisi-disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life chances dan kepentingan-kepentingan yang tidak bersifat normatif, tidak memperoleh tempat yang wajar di dalam pemikiran-pemikiran para penganut pendekatan fungsionalisme struktural. Oleh karena itu, stabilitas atau instabilitas dari suatu sistem sosial sesungguhnya tidaklah lebih daripada menyatakan derajat keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normatif di dalam mengatur kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
            Pendekatan fungsional struktural dipandang oleh banyak ahli sosiologi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, dan oleh karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap tidak saja mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan kontradiksi-kontradiksi intern dapat merupakan sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan masyarakat, akan tetapi juga kurang memberikan tempat yang wajar pada kenyataan bahwa suatu sistem sosial tidak selalu mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar. Apabila faktor-faktor luar tersebut cukup kuat mempengaruhi bagian-bagian tersebut tanpa diikuti oleh penyesuaian-penyesuaian dari bagian-bagian yang lain, maka disfungsi dan ketegangan-ketegangan akan berkembang secara kumulatif serta mengundang terjadinya perubahan-perubahan sosial yang bersifat revolusioner.
            Conflik approach masih dapat kita bedakan atas dua macam pendekatan yang lebih kecil, yakni structuralist-Marxist dan Structuralist-Non Marxist. Perubahan sosial, oleh penganut para pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu dianggap “bersumber” di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, suatu hal yang kurang diperhatikan oleh para penganut pendekatan fungsional struktural. Munculnya kelompok kepentingan menurut tumbuhnya mekanisme rekruitmen yang lunak. Ketiga kondisi tersebut yakni, kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi politis, dan kondisi-kondisi sosial secara bersama-sama menjadi intervening variables bagi munculnya kelompok kepentingan yang sebagaimana telah disebutkan di muka selalu berada di dalam situasi konflik.
            Sementara itu, sebagaimana kita ketahui konflik timbul sebagai akibat dari adanya kenyataan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat distribusi otoritas yang terbatas adanya. Konsekuensi yang timbul sebagai akibat ialah bahwa bertambahnya otoritas pada suatu pihak, dengan serta merta berarti pula berakhirnya otoritas pada pihak yang lain. Dari situlah asal mulanya mengapa para penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin dilenyapkan.
            Bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi (conciliation). Lembaga semacam itu terbentuk melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Pengendalian konflik yang kedua yaitu apa yang disebut dengan mediasi (mediation), adalah suatu cara pengendalian yang dibutuhkan apabila kedua belah pihak yang bertentangan tidak menghendaki timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana sebaiknya mereka menyelesaikan pertentangan mereka.
            Pengendalian yang ketiga yakni perwasitan (arbitration), di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial diantara berbagai kelompok kepentingan justru akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang tidak akan mengenal akhir.


BAB 3
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA
            Van den Berghe ketika ia menyatakan bahwa suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Kebutuhan untuk mensintesiskan kedua pendekatan tersebut menurut hemat penulis, justru harus didasarkan terutama pada kenyaatan bahwa keduanya ternyata melengkapi satu sama lain. Struktur masyarakat Indonesiai bersifat horizontal dan vertikal. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dengan lapisan bawah yang cukup tajam.
            Menurut Furnivall masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Di dalam kehidupan politik pertanda paling jelas itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada suatu keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidaklah utuh.
            Secara keseluruhan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama. Hasilnya, sebagaimana telah disebutkan, ialah berupa masyarakat Indonesia yang tidak memiliki kehendak bersama (common will). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik, dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui suatu periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri. Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub system terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primodial.
            Pierre L. van den Berghe menganggap masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu di antara dua jenis masyarakat menurut model analisis Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai-bagai kelompok yang biasanya merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifaat homogeneus. Yang disebut kedua, sebaliknya, merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi yang tinggi dengan banyak lembaga yang berdifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain.
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi.  Pertama yaitu keadaan/geografis yang membagi wilayah Indonesia menjadi kurang lebih 3000 pulau. Faktor yang kedua, kenyataan bahwa Indonesia terletak diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik. Iklim yang berbeda-beda serta struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan nusantara ini.


    BAB 4
SRTUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
            Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial tersebut secara analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut telah menghasilkan tejadinya berbagai “kelompok semu”, yang di dalam konteks pengertian popular dapat kita sebut sebagai “golongan” yang akan menjadi sumber di mana anggota-anggota “kelompok kepentingan”  terutama direkrut. Pengelompokan masyarakat Indonesia  itu membawa akibat yang  luas dan mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat Indonesia. dimana adanya kelompok semu setelah kemerdekaan telah berhasil diubah menjadi kelompok kepentingan yang mempunyai tujuan bersama yang ingin dicapai.
            Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus adalah apa yang kita kenal sebagai partai politik. Pada awal pertumbuhannya Indonesia, kelompok-kelompok semacam itu mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosialkultural daripada yang bersifat politis. Baru dikemudian hari kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam bentuknya sebagai partai politik. Di dalam hal ini hanya beberapa partai politik saja yang disebutkan untuk sekedar menggambarkan sistem kepartaian di Indonesia memiliki dasarnya di dalam watak yang  dipunyai oleh struktur masyarakat Indonesia.
            Partai yang pertama kali adalah Partai Masyumi (NU dan Muhammadiyah bergabung dengan Masyumi), kemudian PNI, Partai Nahdatul Ulama, PNI, PKI, PSI, Parkindo dan lain sebagainya. Konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam, untuk sebagian pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial-kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. Herbert Feith, melihat konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional (Tradisi Hindu-jawa dan Islam) disatu pihak, dengan pandangan dunia modern (khusussnya pandangan dunia barat) di lain pihak.
            Donald hindley, melihat keragaman pola kepartaian di Indonesia bersumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang, yakni antara penggolongan yang bersifat keagamaan dengan penggolongan yang berpandangan dunia tradisional dan yang berpandangan dunia modern. Berhasil tidaknya fusi partai-partai politik itu sendiri, yang sebagaimana kita ketahui terutama terjadi atas prakarsa pemerintah, justru akan sangat tergantung pada seberapa jauh perubahan-perubahan sosial cultural yang mendasari pola kepartaian di Indonesia itu akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.


 
BAB 5
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL
            Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang telah diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertical, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Van Den Berghe, yakni: (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering memiliki kebudayaan; (2) struktur sosial yang tebagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar; (4) secara relatif sering terjadi konflik  diantara kelompok; (5) secara relatif  intregasi sosial tumbuh atas paksaan, dan adanya ketergantungan ekonomi; (6) adanya dominasi politik.
Tingkatan konflik yang mungkin akan terjadi, yakni konflik di dalam tingkatannya yang bersifat ideologis dan konflik di dalam tingkatannya yang bersifat politis. Di dalam setiap situasi konflik, maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama. Faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia menurut Auguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott Parson, adalah berupa kesepakatan para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu. Tetapi, lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi.
            R. Willia Liddle, konsesus nasional pada hakikatnya merupakan konsensus nasional pada tingkat pertama di antara dua macam konsensus nasional yang menjadi prasarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Integrasi nasional yang tangguh hanya akan berkembang di atas konsesus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan system politiik yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan untuk sebagian harus kita temukan di dalam proses pertumbuhan pancasila sebagai falsafah atau ideologi Negara.
            Bersama-sama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancsila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, kendati ia harus mengarungi samudra penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.
 
Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar