Jumat, 12 Agustus 2011

Sistem Sosial Indonesia

BAB 1
PENDAHULUAN.
Pertempuran yang terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi gambaran pada kita apa itu konflik. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya itu, mereka saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tak mengedepankan hasrat ego mereka masing-masing. Namun setelah itu muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30 S/PKI,dll. Yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI.
Keadan itu memiliki makna bahwa “ Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori semata, belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang masih perlu diwujudkan bagi segenap bangsa kita ini. Akan tetapi, konflik-konflik sosial didalam masyarakat senantiasa memiliki kedudukan dan pola masing-masing. Dikarenakan sumber yang menjadi penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama. Apabila kita disodori pertanyaan : faktor laten apakah yang sebenarnya menjadi penyebab dari munculnya pertentangan yang terjadi diatas, dan apa pula yang menjadi sumber yang bersifat laten bagi konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian hari? Hanya melalui pemahaman yang mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka konflik sosial internal bangsa akan dapat kita hindari. Secara psikologis kita memiliki kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah sadar kita, bukan saja kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kita iidak menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama kita adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang kita muliakan, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan dapat memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita, memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS.
Sudut pendekatan yang perlu mendapatkan perhatian pertama kali adalah sebuah pendekatan yang sangat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi selama beberapa puluh tahun terakhir ini. Pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat , sesungguhnya terintegrasi atas dasar kesepakatan antar anggota mereka. Ia memandang masysarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya, yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai Integration approach, order approach, equilibrium approach, atau dengan lebih populer disebut sebagai structural-functional approach. ( Selanjutnya disebut pendekatan fungsional struktural atau fungsionalisme-struktural ). Teori-teori yang mendasarkan diri pada sudut pendekatan tersebut, biasa dikenal pula sebagai integration theories, order theoris, equilibrium theories, atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional struktural.
Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut :
  1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
  2. Denagan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
  3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.
  4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan sendirinya pada akhirnya, melalui penyesuaian-penyesusaian dan proses institusionalisasi.
  5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner.
  6. Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut, terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar ( extra systemic change ): pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional: serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
  7. Faktor paling penting yang memiliki daya menintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Dengan cara lain dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Equilibrium dari suatu sistem sosial terjaga oleh beberapa proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting untuk mengendalikan hasrat masyarakat pada tingkat dan arah yang menuju terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial ( social control ).
Parson dan para pengikutnya tidak dapat dikatakan telah berhasil membawa pendekatan fungsionalisme struktural ketingkat perkembangan yang lebih berpengaruh pada pertumbuhan teori-teori sosiologi hingga saat ini. David Lockwood mengritik pendapat Parson, kita dapat menyaksikan betapa pendekatan fungsionalisme struktural terlalu menekan berdasarkan pada peranan unsur normatif dan tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses dimana keinginan seseorang diatur secara normatif untuk menjamin kesetabilan sosial. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial. Adanya tata tertib sosial bukan berarti akan hilangnya konflik di masyarakat. Sebaliknya, lahirnya tata tertib sosial justru menggambarkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat.
Anggapan awal bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu, mengakibatkan para penganut pendekatan fungsionalisme struktural kemudian menganggap bahwa disfungsi ketegangan,penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh faktor-faktor yang datng dari luar. Pandapat seperti itu mengesampingkan kenyataan sebagai berikut:
  1. Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konfli-konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, yang pada saatnya akan menjadi sumber terjadinya perubahan sosial.
  2. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar ( extra-systemic change ) tidak selalu bersifat adjustive.
  3. Sistem sosial, dalam jangka panjang juga akan mengalami konflik sosial yang bersifat visious circle.
  4. Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui adaptasi yang lunak, akan tetapi juga dapat terjadi secara revolusioner.
Oleh karena itu ia mengabaikan kenyataan itu, maka pendekatan fungsionalisme struktural dipandang oleh para ahli sosioligi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, dan oleh karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan kontradiksi intern dapat merupakan sumber tejadinya perubahan dalam masyarakat, tetapi sistem sosial terkadang tidak selalu mampu beradaptasi terhadap perubahan yang datang dari luar. Terkadang sistem sosial memang dapat menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tanpa terjadinya disintegrasi sosial. Namun tidak jarang, sistem sosial akan menolak perubahan yang datang dari luar, baik secara status quo ataupun dengan tindakan reaksioner. Keadaan tersebut berimbas akan terjadinya disfungsional pada bagian-bagian tertentu, yang akan menimbulkan ketegangan sosial. Apabila faktor eksternal tersebut berpengaruh kuat terhadap bagian-bagian sistem sosial, maka disfungsi dan ketegangan akan tumbuh secara komulatif serta mengundang terjadinya perubahan sosial yang bersifat revolusioner.
Sementara conflic approach masih dapat kita bedakan, yakni structuralist-Marxist dan structural-Non-Marxist. Berdasarkan dari fungsionalisme struktural, maka pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapn dasar sebagai berikut:
  1. Setiap masyarakat selalu berada pada proses perubahan yang tak pernah berujung, bisa dikatakan bahwa perubahn sosial merupakan gejala yang melekat pada masyarakat.
  2. Konflik merupakan gejala yang identik dengan masyarakat.
  3. Setiap unsur dalam masyarakat, memberikan potensi terjadinya integrasi dan perubahan sosial.
  4. Setiap masyarakat, didominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lain.
Bentuk pengendalian konflik sosial yang pertama dan paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi ( conciliation ). Pengendalian tersebut terwujud dalam lembaga yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi, dan pengambilan keputusan antar pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang dipertentangkan. Dalam hal itu,bermaksud agar lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi setidaknya empat hal, yaitu:
  1. Lembaga tersebut harus bersifat otonom.
  2. Lembaga tersebut harus berifat monopolistis didalam masyarakat.
  3. Peranan lembaga harus mengikat dan memaksa, dapat dikatakan sebagai pengendali sosial.
  4. Lembaga yang bersangkutan harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut,konflik akan menjadi semakin bertambah rumit,dan akan semakin sulit untuk dipecahkan. Namun,hal tersebut dapat diatasi apabila kelompok yang berkonflik memenuhi tiga macam persyaratan:
  1. Masing-masing kelompok harus menyadari, bahwa mereka terlibat dalam suatu konflik, dan menyadari perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua.
  2. Penyelesaian konflik tersebut akan mudah dikendalikan apabila kelompok yang berkonflik terorganisir dengan jelas.
  3. Kelompok yang berkonflik harus mematuhi aturan-aturan tertentu, sehingga memungkinkan hubungan sosial antar mereka kembali membaik.
Tanpa semua itu, lembaga diskusi macam apapun tidak akan berjalan dengan baik, justru akan menimbulkan konflik. Cara pengendalian yang efekti adalah dengan mediasi ( mediation ), dimana kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai penengah, yang akan memberi nasihat tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak. Walaupun nasihat tersebut tidak mengikat kedua belah pihak, namun cara ini terkadang sering menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Apabila tidak berhasil,kita dapat menggunakan cara yang lain. Yaitu dengan perwasitan ( arbitration ), dalam hal ini pihak yang bertikai terpaksa harus menerima keputusan dari pihak ketiga. Tetapi meraka berhak untuk mengajukan usulan, kendati mereka mau-tidak mau harus menerima keputusan pihak ketiga.
BAB III
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA.
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama ( common will ). Dalam kehidupan ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social demand ). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
  1. Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
  3. Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
  4. Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
  6. Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Keadaan geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing.
Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal strutur masyarakat Indonesia. Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi administrasi nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat kontras antara golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.
BAB IV
STRUTUR KEPARTIAN PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA.
Segala macam perbedaan yang terjadi di Indonesia secara analitis dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri, dan dapat menjadi suatu jalinan yang menghasilkan berbagai macam kelompok semu atau lebih dikenal dengan golongan. Golongan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan suku, agama, kelas sosial, tempat tinggal, dan lain-lain. Namun sejak awal abad 20, terutama setelah kemerdekaan kelompok semu tersebut berubah menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik. Tetapi pada awalnya mereka lebih menekankan pada sosial budaya dari pada politik, baru kemudian hari kelompok tersebut mengubah sifatnya kepartai politik.
Sejak merubah sifatnya menjadi partai politik timbullah berbagai macam konflik yang terjadi antar suku, agama, daerah, stratifikasi sosial, dan lain sebagainya. Kompleksitas itulah yang telah membuka timbulnya macam berpikir yang ditunjukkan oleh berbagai macam partai paolitik di Indonesia. Herbert Feith misalnya, melihat konflik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber pada ketegangan yang terjadi antara pandangan tradisonal dan pandangan modern. Pandangan tradisonal yang berpedoman pada tradisi Hindu-Jawa dan Islam, sedang pandangan modern yang berkiblat pada barat.
BAB V
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL.
Strutur masyarakat Indonesia yang majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat multi-dimensional yang menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi nasional yang bersifat vertikal. Van den Berghe membagi sifat dasar masyarakat majemuk menjadi beberapa yaitu:
  1. Memiliki sub-kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga non-komplementer.
  3. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang besifat dasar.
  4. Sering terjadi konflik.
  5. Secara relatif integrasi terjadi karena paksaan, dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok.
Oleh karena sifat yang demikian, maka van den Berghe menyatakan bahwa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat menurut analisis Emile Durkheim. Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmentasi, tetapi juga tidak dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi tinggi. Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para penganut fungsionalisme struktural masih harus dipertimbangkan validitasinya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua hal berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Karena setiap konflik yang terjadi antar kesatuan sosialakan segera dinetralisir dengan adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat. Segmentasi dalam bentuk kesatuan sosial yang terikat dalam primordial edengan su-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok sosial. Dalam hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
  1. Konflik ideologis.
Konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial.
  1. Konflik politis.
Terjadi dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber ekonomi yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik, maka secara sadar atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas antar anggota.
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling menyilang. Cross-cutting affiliations yang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak terjadi terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh bertemunya loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi konflik agama, daerah, atau lapisan sosial. Karena cross-cutting affiliations senantiasa menghasilkan cross-cutting liyalities maka pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi atas dasar tumbuhnya perbedaan. Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan struktur silang-menyilang itulah Indonesia tetap dapat lestari walau harus menghadapi permasalahan akibat dari kemajemukan masyarakatnya.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar