Sabtu, 02 April 2011

Perbedaan: Penting/Tidak?


Perbedaan sepertinya masih menjadi kosa kata yang asing diterima. Ia bagai momok dan terkadang ancaman dalam keseragaman. Ia terkadang ditolak: diasingkan dari pikiran-pikiran yang selalu mengatakan kebenaran itu tunggal.

Di negeri ini, perbedaan masih rumit untuk mendapatkan tempat yang tepat. Ruangnya terkadang digedor oleh individu, kelompok, golongan yang selalu mengatasnamakan ‘kebenaran’. Ia dipinggirkan karena mengancam. Ia ditindas karena tak ‘seiman’. Ia dicaci dan dimaki karena dinilai mengotori ‘kebenaran’.

Mengapa kita masih mempersoalkan perbedaan?
Perbedaan pendapat dan keyakinan sesungguhnya naluri. Ranahnya pada hati dan pikiran dan memang, sesungguhnya tak ada isi pikiran dan hati manusia itu sama. Pepatah Arab menyusunnya: "kullu ro`sin ro`yun" (setiap kepala mempunyai pendapat).

Pergolakan perbedaan pendapat, sekalipun itu pada wilayah keyakinan, sejujurnya adalah persoalan interaksi dan komunikasi manusia. Ia dipersoalkan karena disumbat sehingga tak ada ruang untuknya dimaklumi. Ia seringkali diberangus lantaran tak seia- sekata. Ia bahkan dinilai membahayakan pikiran dan keyakinan.

Di negeri ini, tak ‘seragam’ dalam pandangan dan keyakinan pun masih dianggap mengancam. Orang atau kelompok yang mengkritisi kebijakan, salah-salah bisa saja dinilai pengancam. Orang atau kelompok yang berbeda keyakinannya dalam mempraktekkan dogmanya, sewaktu-waktu bisa saja dinilai menodai agama.

Peristiwa kekerasan untuk menolak perbedaan, baik itu mengatasnamakan agama, ideologi, ataupun atas nama ‘fanatisme’ kelompok seperti yang terjadi belakangan ini, adalah potret betapa kita sesungguhnya masih menjadi bangsa yang suka mempersoalkan ketidakseragaman berpikir dan hati.

Persoalan pendapat dan keyakinan adalah masalah pikiran dan hati. Tentu tak ada yang sama isi persepsi yang dimiliki masing-masing manusia. Kalau ada kesepahaman, itu dikarenakan adanya tempat dialog perbedaan yang diberikan: bukan karena paksaan harus ‘seragam’.

Menyumbat perbedaan hanya akan menimbulkan keterpaksaan dalam ‘mengimani’ makna kebenaran yang dipersepsikan. Sebab it, perbedaan dalam ruangnya, di mana pun adanya, harusnya mendapat tempat untuk dilindungi, dijaga, dan tidak dipaksakan untuk harus sama.

Dalam tradisi keilmuan agama Islam, misalnya. Perbedaan pendapat yang terjadi pada wilayah bersifat ijtihadi (pendapat) dianggap sebagai hal yang sangat wajar. Semisal, pada masalah-masalah fiqh (pemikiran), perbedaan dan ragamnya pendapat ternyata bukan persoalan asing. Bahkan, perbedaan pendapat dalam kitab-kitab fiqh menjadi sumber khasanah yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Sedangkan, pada ranah aqidah (keyakinan), prinsip perbedaan dipetakan dengan jelas: Untukmu, agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS al-Kaafiruun [109]: 6).

Perbedaan bukanlah ‘kerusakan’ yang dimaknai penyimpangan. Ia ada, tumbuh, dan berkembang dari pergumulan pikiran dan keyakinan manusia. Membungkam, apalagi hingga menghalalkan kekerasan terhadap individu, kelompok, golongan yang tak ‘seragam’ tentu sangatlah ironis.

Bukankah kita sejak awal, asal, dan penciptaan berbeda-beda. Jadi, untuk apa kita mempersoalkan perbedaan?

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN SUKA Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar