Rabu, 06 April 2011

Di Balik Pluralisme


Hakikat Pluralisme

Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.

Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.

Di Balik Gagasan Pluralisme

Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.

Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.

Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.

Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu maraknya isu pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam.

Konflik Sebagai Alasan?

Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik. Namun, tidak benar jika seluruh konflik yang terjadi saat ini dipicu oleh faktor agama. Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering berlatar belakang ideologi dan politik. Dalam sekala internasional, konflik Palestina-Israel lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik antaragama (Islam, Yahudi dan Kristen). Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan Khilafah Islam. Konflik Palestina-Israel ini lebih bernuansa politik yang melibatkan penjajah Barat. Sejarah membuktikan, konflik Palestina-Israel bermula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja “ditanam” oleh penjajah Inggris di jantung Palestina dalam ranga melemahkan umat Islam. Konflik ini kemudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran Inggris, untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya, dengan begitu Barat dapat terus-menerus menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut sehingga umat Islam melupakan bahaya dominasi Barat—khususnya AS dan Inggris—sebagai penjajah mereka.

Dalam sekala lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku atau Poso beberapa tahun lalu, misalnya, juga lebih bernuansa politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain kaum penjajah Barat) untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, ketimbang berlatar belakang agama.

Sementara itu, dalam skala yang lebih luas dan global, konflik Barat-Timur (yang sering dianggap mencerminkan konflik Kristen-Islam), khususnya setelah Peristiwa 11 September 2001, juga jelas lebih berlatarbelakang ideologi dan politik ketimbang agama. Memang, sesaat setelah terjadinya Peristiwa 11 September, Presiden AS George W Bush pernah “keseleo” dengan menyebut secara jelas bahwa WoT (War on Terrorism) sebagai Crussade (Perang Salib) baru. Lalu setelah itu AS menyerang Afganistan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyerang Irak. Namun, banyak pakar Barat dan AS sendiri yang menjelaskan bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun Irak bahkan lebih bermotifkan ekonomi (yakni demi minyak)—di samping politik (demi dominasi ideologi Kapitalisme), dan bukan bermotifkan agama.

Karena itu, sangat tidak ‘nyambung’ jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut kemudian dipasarkan terus gagasan pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama dll. Pasalnya, akar konflik-konflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideologi dan politik—yakni dominasi Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS, atas Dunia Islam—ketimbang berlatar-belakang agama.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar