Sabun Mandi Herbal, untuk kesehatan Kulit Anda. Klik Disini!!!
Dag..dig..dug…jantung berdegup kencap begitu seseorang kejatuhan cicak dari atap. Apalagi jika cicak jatuh persis di ubun-ubunnya, diapun segera menghitung detik demi detik menanti datangnya musibah. Keyakinan ini masih dianut oleh banyak masyarakat dan beberapa penduduk daerah lain. Sebagian penangkal musibah, ada yang bersegera memburu cicak tersebut lalu disobek mulutnya, supaya musibah tidak jadi menimpanya.
Kecemasan yang sama dirasakan oleh orang yang ketika bepergian tiba-tiba ada ular atau hewan lain yang menyeberang jalan, karena disangka itu merupakan isyarat adanya kendala dalam perjalanan. Ada juga yang mengaitkan suara burung gagak dengan datangnya malaikat maut di dekatnya. ‘Kembar Mayang’ yang jatuh saat resepsi pernikahan ditakwilkan pula sebagai pertanda adanya prahara rumah tangga yang akan di hadapi oleh kedua mempelai. Atau merasa sial karena menabrak anjing atau kucing. Ada kepercayaan bila menabrak kucing, maka kucing tersebut harus dikubur dan dibungkus dengan pakaian sopir kendaraan yang menabraknya. Dan kendaraan yang telah menabrak hewan tersebut harus dijual, karena bila tidak dilakukan, maka kendaraan itu akan terus menerus menabrak lagi. Dan masih banyak lagi kamus mitos yang tersebar di kalangan masyarakat kita. Orang-orang kejawen menangkalnya dengan ritual ruwatan untuk menepis musibah yang diyakini bakal terjadi jika tidak ditangkis.
Demikian juga bila seseorang merasa akan mendapatkan keberuntungan dari isyarat tertentu, misal dari suara burung perenjak atau perkutut, atau burung lainnya, maka biasanya dia juga sibuk menanti-nanti rezeki apa yang akan dia terima.
Keyakinan semacam ini tak hanya ada di sini dan di zaman ini, tetapi jauh sebelumnya, yakni di zaman jahiliyah, orang-orang telah menganut khurafat ini.
Imam Al-Baihaqi berkata: “Perasaan sial karena adanya pertanda tertentu telah di kenal pada zaman jahiliyah dahulu, yang mana mereka menganggap sial di saat mendengar suara burung menjelang pergi untuk suatu keperluan, menganggap isyarat buruk ketika ada suara gagak, lewatnya binatang di jalan dan lain-lain.”
Hal-hal di atas disebut dengan istilah tathayyur, berasal dari kata ‘thair’ yang berarti burung. Karena pada asalnya orang dulu menganggap sial dan keberuntungan berdasarkan suara dan sinyal lain dari burung. Di kalangan jahiliyah ada juga yang ketika hendak bepergian terlebih dahulu menerbangkan seekor burung, jika burung terbang kearah kanan, mereka jadi berangkat, tetapi jika burung terbang kearah kiri, mereka mengurungkan kepergiannya. Tetapi semua yang kami sebutkan di atas, baik perasaan sial dan beruntung karena kejatuhan cicak atau yang lain masuk dalam pengertian tathayyur atau thiyyarah.
Tak Sesuai dengan Dalil
Mengkaitkan jatuhnya cicak dengan hadirnya musibah adalah satu bentuk khurafat dan takhayul. Karena tak ada bukti keterkaitan antara keduanya, baik dari dalil syar’iyyah maupun dalil ilmiyyah.
Islam tidak menafikkan adanya keterkaitan suara hewan tertentu dengan kejadian tertentu jika ada dalil tegas yang menyebutkannya. Sebagai contoh adalah hadits Nabi SAW :
“Jika engkau mendengar ayam jantan berkokok maka mohonlah karunia kepada ALLAH, karena dia melihat malaikat. Dan jika engkau mendengar ringkikan himar maka mohonlah perlindungan kepada ALLAH karena dia melihat setan.” (HR. Muslim)
Nabi SAW menyebutkan suara ayam jantan berkokok sebagai pertanda hadirnya malaikat, maka kita harus meyakini hal ini karena ada dalil syar’i menyebutkannya. Berbeda dengan komentar para ‘agen’ takhayul yang mengkaitkan ayam jantan berkokok di malam hari dengan hilangnya keperawanan seorang gadis di daerah setempat.
Kita juga patuh dan percaya dengan kabar dari Nabi bahwa suara ringkikan himar adalah pertanda datangnya setan, untuk itu kita dianjurkan membaca ta’awudz. Adapun suara hewan lain tidak boleh dikaitkan dengan peristiwa tertentu kecuali jika disebutkan dalil.
Lagi pula, tidak ada hubungan secara ilmiyah dan hissiyah (inderawi) yang bisa dijadikan pegangan bahwa jatuhnya cicak menyebabkan akan adanya bencana yang menimpa. Tidak masuk akal pula bila dikatakan bahwa cicak mengetahui musibah yang bakal terjadi lalu dia memberikan sinyal kepada manusia tentangnya.
Bahkan Tergolong Syirik
Mengaitkan antara jatuhnya cicak dengan musibah, ular menyeberang jalan dengan hambatan atau arah terbang burung dengan nasib sial bukan hanya tidak sah, bahkan tergolong sebagai kesyirikan. Nabi bersabda : “Thiyyarah adalah kesyirikan, thiyyarah adalah kesyirikan, thiyyarah adalah kesyirikan.” (HR Tirmidzi)
Thiyyarah digolongkan sebagai kesyirikan karena orang yang meyakininya berarti menganggap hewan tertentu dapat mendatangkan manfaat dan madharat dengan isyarat yang diperbuatnya. Padahal, hanya Allah semata Yang mampu memberikan manfaat dan madharat, sementara burung, cicak, ular tidaklah mengetahui perkara gaib yang akan terjadi, bersiul dan diamnya tidaklah menimbulkan manfaat maupun madharat.
Ibnul Qayyim menjelaskan: “tathayyur atau thiyyarah adalah merasa sial karena melihat sesuatu. Maka jika seseorang menjadikannya sebagai patokan lalu dia mengurungkan kepergian atau membatalkan niat yang telah ia tetapkan karenanya, berarti dia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk kedalamnya. Dia telah berlepas diri dari tawakal kepada ALLAH dan membuka bagi dirinya pintu ketakutan dan ketergantungan kepada selain ALLAH.”
Kafarah Thiyyarah
Begitu memasyarakatnya berbagai bentuk tathayyur yang penulis sebutkan di atas terkadang menumpulkan kepekaan sebagian kita bahwa yang demikian itu termasuk kesyirikan, karena begitu lumrahnya hal itu terjadi di kanan kiri kita. Akan tetapi, di antara tanda kemurahan ALLAH adalah DIA memberikan peluang kepada kita untuk menebus dosa ketika secara spontan terbetik di hati kita rasa cemas karena adanya suara burung tertentu atau di saat kejatukan cicak. Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah berbuat kesyrikan.” Lalu para sahabat bertanya: “Lalu apa tebusannya wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “hendaknya engkau membaca: “Ya ALLAH, tiada nasib baik kecuali nasib baik (dari)MU, tiada thiyyarah kecuali thiyyarah-MU dan tidak ada ILAH yang berhak disembah selain ENGKAU.” (HR Ahmad).
Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar