Jumat, 07 Oktober 2011

Humor Sebagian dari Retorika Dakwah

DAKWAH, baik bil lisan (ucapan) maupun bilqalam (tulisan), memerlukan ramuan-ramuan yang enak didengar atau dibaca. Agar tidak terasa monoton dan ruwet. Sehingga membuat bosan. Salah satu ramuan itu adalah humor.
Dalam menyampaikan materi dakwah bil lisan , terdapat retorika. Gaya atau cara penyampaian yang variatif. Tekanan suara, turun naik nada, penggalan kalimat, hingga bunyi suara (tenor, bariton, dsb), merupakan bagian dari retorika yang amat penting. Di antara bagian-bagian retorika itu, sekali-kali suka (atau perlu) diselipkan humor untuk lebih menekankan minat dan perhatian pendengar.
Masalahnya, sejauh mana porsi dan peran humor itu dalam penyampaian dakwah ?
Para ahli retorika, mengukur, minimal dua humor dalam satu jam ceramah. Dan para ulama Islam membatasi jenis humor itu tidak menyimpang dari makna dan tujuan dakwah. Jangan sampai terjadi humor yang justru bertentangan dengan essensi dakwah yang mengandung ajakan kepada kebaikan sekaligus pencegahan dari kemungkaran.
Tegasnya, janganlah humor yang “esek-esek”, walaupun memang humor jenis demikian sangat digemari khalayak. Tapi walaupun digemari, harus sesuai dengan kondisi dan situasi.
Bahkan para ulama fiqh , menegaskan, humor yang mengandung “laghwun” termasuk omong kosong dan sia-sia, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.s. Qoshosh : 55.
Untuk menghindari humor menjadi “laghwun”, maka isi humor harus mengandung unsur ketaatan kepada Allah SWT sekaligus menjauhi segala laranganNya.
Literatur Islam masa lalu, cukup banyak menghasilkan karya-karya humor yang mengandung unsur aqidah, ibadah, ahlak dan muamalah. Yang mengajak manusia menyadari posisinya sebagai hamba Allah, dan harus tunduk patuh kepadaNya. Oleh kalangan sufi, humor-humor dengan tokoh-tokoh humor tertentu dijadikan bahan pendidikan dalam meningkatkan kualitas kejiwaan mereka.
Dapat disebut antara lain : Nasruddin Hoja, Bahlul, Hani al Arabiy, Abu Nawas. Mereka sering digambarkan sebagai manusia-manusia tolol, namun ucapan dan perbuatannya justru mengandung penggugah kesadaran kepada kelemahan manusia sebagai mahluk tak berdaya di hadapan al Khaliq.
Dari tokoh-tokoh humor tersebut, kemudian lahir tokoh-tokoh humor lokal di berbagai negara dan daerah.Di Jerman misalnya, ada Baron von Munchaussen yang merupakan duplikasi Nasruddin Hoja. Di Sunda ada Si Kabayan, di Jawa ada Man Doblang, di Bali Pan Balang Tamak, di Melayu Lebai Malang, dan banyak lagi.

NABI Muhammad Saw terkenal memiliki sifat humoris. Suatu hari pernah seorang nenek-nenek menanyakan kepada beliau, apakah dirinya pantas masuk surga. Jawab Rasulullah, di surga tidak ada nenek-nenek. Tentu saja Si Nenek menangis. Rasulullah segera melanjutkan, memang di surga semua nenek-nenek disulap menjadi gadis-gadis muda berstatus bidadari.
Para ahli hadits, menilai humor Rasulullah Saw tersebut, selain mengundang senyum arief, juga mengandung kabar gembira (busra). Terutama bagi kalangan lansia, yang terpacu untuk meningkatkan keimanan dan amal soleh.
Bagi para juru dakwah moderen, tentu harus piawai mencari humor-humor baru yang dapat menjadi obat penawar kejenuhan, penghias retorika dan memacu mustami semakin berminat kepada materi yang disajikan.
Patokan humor, sebagaimana digariskan Allan Buchwater, penulis humor terkenal dari Kanada (1990).
a. Sesuai dengan konteks pembicaraan
b. Dapat dimengerti spontan oleh pendengar
c. Mampu menggugah daya nalar

Sedangkan menurut Dr. Aid Al-Qarni, penulis buku “I’tabassam” (2003), humor dalam Islam diperbolehkan selama dalam koridor :
a. Kesopanan (etika)
b. Keimanan (akidah)
c. Tidak mengandung mudarat
d. Tidak terjerumus kepada “laghwun” (kesia-siaan).
Melihat acuan-acuan di atas, tinggal bagaimana kita melatih keahlian agar humor dapat diselipkan ke dalam tataran dakwah tanpa merusak makna dan tujuan dakwah. Jangan sampai “cul dogdog tinggal igel”.
– H.Usep Romli HM, wartawan Senior, Mubaligh, Penulis buku humor Sunda “Dulag Nalaktak”
(2006). Tulisan ini Bahan Ceramah Tentang Humor dalam Dakwah dalam Diklat Retorika Dakwah Bidang KIK Pusdai, 12-13 September 2008.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar