I. Latar Belakang
Pada Tahun 1971 di Lhok Seumawe, Aceh, mulai di rintis pembangunan proyek gas alam cair (LNG), didahului dengan kegiatan pembebasan tanah-tanah milik penduduk. Kegiatan pembebasan tanah berlangsung hingga tahun 1975 yang diwarnai adanya ketegangan-ketegangan. Ketegangan itu misalnya, dalam bentuk penduduk tidak bersedia menyerahkan tanah miliknya walaupun telah disediakan uang pengganti kerugian, karena beranggapan bahwa tanah pusaka peninggalan orang tua tidak boleh dijual atau diserahkan kepada orang lain.
Pengukuran tanah berikut pembayarannya berlangsung selama tahun 1974, dan tahun 1975 telah dimulai pembangunan komplek perumahan, sampai akhirnya pada tahun 1977 telah siap untuk ditempati. Komplek perumahan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga membuat kesan terjadinya isolasi yang kian memperlebar jarak sosial. Hingga terjadi ketegangan yang kedua, dalam wujud terjadinya perbedaan yang mencolok antara pola kehidupan kedua kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam status sosial ekonominya.
Melalui makalah ini, saya berusaha memahami peristiwa kesenjangan sosial dan ekonomi antara penduduk sekitar pabrik dengan karyawan pabrik yang bertempat tinggal disekitar pabrik, yang terjadi saat dibangunnya proyek raksasa gas alam cair pertama di awal masa orde baru, yaitu PT. Arun, Lhok Seumawe, Aceh.
Peristiwa ini saya anggap menarik oleh karena terjadi di saat-saat awal rezim orde baru mulai menancapkan kuku-kuku kekuasaannya diseluruh bumi pertiwi, dan menariknya lagi bahwa peristiwa ini terjadi di Aceh, suatu daerah yang begitu rentan untuk bergolak hingga pada titik tertentu pemerintah dianggap telah melalaikan kewajibannya atas Aceh, mereka menuntut kemerdekaan. Boleh dikatakan disini bahwa peristiwa ini adalah babak pertama dari salah urusnya pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap pemerintah-pemerintah daerah, sehingga boleh dikatakan bahwa pembangunan pabrik gas arun merupakan test case bagi rezim orde baru dalam rangkaian melakukan perkeliruan-perkeliruan ditempat dan pada saat lain.
II. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka akan dipergunakan kerangka Talcott Parsons untuk memahami integrasi sosial di antara masyarakat desa sekitar pabrik LNG dengan karyawan PT. Arun, penggunaan hubungan sistem-sistem level, kejelasan hubungan antara energy dan informational system dalam AGIL dan pada akhirnya akan terjawab pertanyaan adakah sistem sosial yang berlaku umum di Indonesia?
III. Teori Talcott Parsons
Empat persyaratan fungsional fundamantal yang digambarkan dalam skema AGIL menurut Parson merupakan kerangka untuk menganalisis gerakan-gerakan tahap (phase movements)yang dapat diramalkan. Keempat persyararatan ini berlaku untuk setiap sistem tindakan apa saja.
Urutannya dimulai dengan munculnya suatu tipe ketegangan, yang merupakan kondisi ketidaksesuaian antara keadaan suatu sistem sekarang ini dan suatu keadaan yang diinginkan. Ketegangan ini merangsang penyesuaian (adaptation) dari suatu tujuan tertentu(goal maintenance) serta menggiatkan semangat dorong yang diarahkan kepada pencapaian tujuan itu. Pencapaian tujuan itu memberikan kepuasan yang dengan demikian mengatasi ketegangan atau menguranginya.
Tetapi, sebelum suatu tujuan dapat tercapai, maka harus ada suatu tahap penyesuaianterhadap keadaan genting dari situasi dimana tenaga harus dikerahkan dan alat yang perlu untuk mencapai tujuan itu harus disiapkan. Selama tahap ini, pemuasan harus ditunda.
Dalam kasus suatu sistem sosial harus paling kurang ada suatu tingkat solidaritas minimal diantara para anggota sehingga sistem itu dapat bergerak sebagai satu satuan menuju tercapainya tujuan itu.
Jadi tahap pencapaian tujuan secara khas diikuti oleh suatu tekanan pada integrasi(integration) dimana solidaritas keseluruhan diperkuat, terlepas dari usaha apa saja untuk tercapainya tugas instrumental.
Akhirnya, tahap ini akan diikuti oleh tahap mempertahankan pola tanpa interaksi atau bersifat laten (laten pattern maintenance).
Sistem sosial sebagai suatu keseluruhan juga terlibat dalam saling tukar dengan lingkungannya. Lingkungan sistem sosial itu terdiri dari lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya dan organisme perilaku.
Sistem tindakan ini dilihat sebagai berada dalam suatu hubungan hirarki dan bersifat tumpang tindih. Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan melalui peran-peran tertentu dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem tersebut. Organisasi perilaku merupakan energi dasar yang dinyatakan dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial.
Parsons melihat hubungan antara pelbagai sistem tindakan ini berdasarkan kontrol sibernatik(cybernetic control) yang didasarkan pada arus informasi dari sistem budaya ke sistem sosial, ke sistem kepribadian dan ke organisasi perilaku.
Energi yang muncul dalam arus tindakan adalah dari arah yang sebaliknya, yang bermula dari organisme perilaku.
Hubungan antara sistem-sistem tindakan umumnya dan persyaratan-persyaratan fungsional adalah sebagai berikut :
Sistem Tindakan | Persyaratan Fungsional |
Sistem budaya Sistem sosial Sistem kepribadian Organisme perilaku | Pemeliharaan pola-pola yang laten Integrasi Pencapaian tujuan Adaptasi |
Pemeliharan pola-pola yang laten (laten pattern maintenance) dihubungkan dengan sistem budaya, karena fungsi ini menekankan nilai dan norma budaya yang dilembagakan dalam sistem sosial.
Masalah integrasi berhubungan dengan interelasi antara pelbagai satuan dalam sistem sosial.
Pencapaian tujuan dihubungkan dengan sistem kepribadian dalam arti bahwa tujuan sistem-sistem sosial mencerminkan titik temu dari tujuan-tujuan individu dan memberikan mereka arah sesuai dengan orientasi nilai bersama. Hubungan antara pencapaian tujuan dengan sistem kepribadian ini mencerminkan perspektif Parsons bahwa tindakan selalu diarahkan pada tujuannya.
Kemudian, sifat dari masalah penyesuaian ditentukan sebagian besar oleh sifat-sifat biologis individu sebagai organisme yang berperilaku dengan persyaratan biologis dasar tertentu yang harus dipenuhi oleh mereka agar tetap hidup.
IV. Analisis Masalah
Parsons dan teman-temannya pada tahun 1950-an secara bertahap menyusun strategi untuk analisis fungsional hubungan duaan, kelompok kecil, keluarga, organisasi kompleks dan juga masyarakat keseluruhan.
Penyempurnaan yang dihasilkan sebagian dari kerjasama Parsons dengan Robert F. Bales.
Dari hasil analisis proses-proses kelompok kecil diketahui bahwa kelompok yang diamatinya tersebut selalu melewati serangkaian tahap yang dapat diramalkan.
Masing-masing tipe tindakan dilihat ada hubungannya dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi kelompok pada waktu itu : masalah orientasi, evaluasi, pengawasan, keputusan, peredaan ketegangan dan integrasi.
Pelbagai tahap yang dilalui kelompok-kelompok itu selama suatu pertemuan nampaknya menghasilkan semacam keseimbangan begitu kelompok itu secara berturut-turut membahas setiap masalah yang dihadapi itu. Jadi, misalnya, pada permulaan suatu pertemuan para anggota perlu mengembangkan suatu orientasi bersama terhadap satu sama lain.
Didalam negara yang masyarakatnya bercorak plural society, seperti Indonesia, pengetahuan tentang interaksi sosial yang terjadi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya sangatlah penting. Dengan mengetahui dan memahami perihal kondisi yang dapat menimbulkan serta mempengaruhi bentuk interaksi sosial tertentu, maka pengetahuan tersebut dapat disumbangkan bagi usaha pembinaan bangsa dan masyarakat[1].
Menurut Young, interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa itu tak ada kehidupan sosial[2] .
Dalam kedudukannya sebagai mahluk sosial, manusia cenderung untuk selalu berhubungan dengan lingkungannya. Terjadinya interaksi sosial selalu didahului oleh suatu kontrak sosial dan komunikasi[3]
Pada tahun 1973. Di Lhok Seumawe, Aceh Utara, mulai dibangun proyek pencairan gas alam LNG (Liquid Natural Gas), yang dimulai dioperasikan pada tahun 1978 oleh PT. Arun LNG & Co.
Sebagai bagian dari proyek ini, dibangun pula sebuah komplek perumahan karyawan di atas tanah kurang lebih seluas 400 Ha, dalam kondisi yang kontras dengan lingkungan masyarakat sekitarnya dengan struktur dan kebudayaannya yang masih relatif sederhana. Komplek perumahan ini berbentuk kampus (housing colony). Mereka yang tinggal di komplek perumahan tersebut, berasal dari berbagai golongan agama, suku bangsa dan daerah dengan tingkat pengetahuan dan kehidupan yang relatif lebih maju, dibandingkan dengan penduduk setempat.
Beberapa penelitian yang telah pernah dilakukan berkesimpulan bahwa kehidupan dan sistem budaya orang desa disekitar komplek perumahan tersebut tidak sejalan dengan kondisi kehidupan baru dari pendatang, mereka terpaksa harus menyesuaikan diri dengan situasi baru terutama dalam hal lapangan pekerjaan, karena untuk meneruskan pekerjaan lama (bertani, tambak ikan atau nelayan), dirasakan sudah tidak memungkinkan lagi[4]
Perumahan yang berbentuk colony, selain membuat kesan adanya isolasi, juga menyebabkan terjadinya jarak sosial. Jadi jelasnya, terdapat perbedaan yang mencolok antara pola kehidupan kedua kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam status sosial ekonominya. Dalam hubungan dengan perbedaan tersebut, timbul pertanyaan apakah ada, dalam bentuk apa dan faktor apa saja yang mempengaruhi interaksi sosial antara penduduk komplek perumahan PT. Arun dan penduduk asli di desa sekitarnya.
Pembahasan makalah ini dibatasi dalam mempelajari bentuk interaksi sosial yang terjalin antara masyarakat komplek perumahan karyawan PT. Arun dan penduduk asli di desa sekitarnya, serta faktor yang mempengaruhinya.
Interaksi sosial dalam artian umum dimaksudkan sebagai hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar perorangan, antar kelompok, dan antara perorangan dengan kelompok manusia[5].
Salemba, 29 Maret 1999
[1]Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 54
[2] Ibid, hal. 54
[3] Susanto, Astrid S., Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Bandung, 1979
[4] Paulus Tanglindintin, Perubahan Sosial Akibat Proyek Pembangunan (Kasus Studi Lhok Seumawe), PLPIIS, Aceh, 1975
[5] Soerjono Soekanto, Op.cit, hal. 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar