Jumat, 12 Agustus 2011

KONSEP KOMUNIKASI SOSIAL DAN PEMBANGUNAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konsep-konsep komunikasi sosial dan pembangunan

Untuk dapat memiliki pemahaman tentang komunikasi sosial dan pembangunan (komunikasi pembangunan) secara sistematis dan komprehensif, kita perlu memiliki pemahaman awal tentang konsep – konsep komunikasi sosial dan pembangunan.


1. Sistem Sosial

Dalam proses komunikasi pembangunan, sistem sosial merupakan target atau sasaran dari perubahan yang akan diciptakan. sistem sosial dapat didefinisika sebagai suatu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerja sama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sebuah sistem sosial terdiri dari subsistem – subsistem sosial yang dalam konteks tertentu dapat pula menjadi sistem tersendiri (sistem sosial tersendiri)



2. Perubahan Sosial

Perubahan sosial dalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial yang bersangkutan.


3. Difusi

Difusi sebagai sebuah proses penyebaran ide baru dapat terjadi jika ada (1) inovasi yang (2) dikomunikasikan melalui saluran tertentu, kepada (4) anggota suatu sistem sosial.
Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang dimana kebaruannya itu bersifat relatif. Suatu gagasan dapat dianggap sebagai sebuah inovasi oleh anggota sistem sosial tertentu, tetapi juga dapat dianggap bukan inovasi oleh anggota sistem sosial lainnya.

Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang bergantung. Sehingga, tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan orang lain untuk mengatasi kendala yang ada dalam kehidupannya sehingga manusia biasa disebut sebagai makhluk sosial. Dalam menjalani kehidupan sosial tersebut, seseorang memerlukan sebuah fasilitas serta cara untuk membantunya mempermudah dirinya untuk masuk pada ranah sosial tersebut. Interaksi dan komunikasi, merupakan ungkapan yang kemudian dapat menggambarkan cara serta komunikasi tersebut. Dikarenakan secara umum interaksi merupakan kegiatan yang memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain, yang kemudian diaktualisasikan melalui praktek komunikasi. Dua hal tersebut mempunyai hubungan yang terikat sehingga diperlukan sebuah pemetaan untuk memahami secara mendalam.

Berbicara pada lingkup sosial, maka interaksi maupun komunikasi yang dilakukan pun akan bersifat sosial komunikasi sosial, selain merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan pada ranah sosial. Juga merupakan sebuah kegiatan komunikasi yang ditujukan untuk menyatukan komponen-komponen sosial yang bervariasi dan mempunyai perilaku berbeda-beda. Sehingga komunikasi sosial menjadi penting kedudukannya sebagaimana dijelaskan oleh Habermas yang menekankan perlunya “dibangun kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.” Dan hal ini menjadi fungsi dari komunikasi sosial yang tercipta.

Dengan melihat hal tersebut diatas maka terlihat bahwa interaksi sosial adalah hal yang kemudian menjadi awal dari terbentuknya sebuah sistem sosial, dikarenakan dengan interaksilah sebuah penyatuan masyarakat dapat terbentuk, melalui perilaku yang sudah didasari oleh rasa peduli. Dengan kegiatan penyesuaian diri melalui kehidupan yang dimiliki antar anggota dalam membentuk sebuah masyarakat atau sosial. Hingga melahirkan hal baru, yang salah satunya menjadi komunikasi sosial sebagai wujud sebuah kebutuhan dari setiap individu yang telah terkumpul menjadi satu bagian dengan sebutan masyarakat.

Demikan penjelasan tentang komunikasi sosial dan interaksi sosial. Dimana keduanya adanya sebuah keterkaiatan satu dengan yang lain. Komunikasi sosial, melihat dari beberapa pendapat diatas mempunyai elemen seperti aktivitas komunikasi, masyarakat, konsensus dalam masyarakat, kegiatan pertukaran pengalaman antar anggota masyarakat atau interaksi. Sedangkan elemen-elemen dalam interaksi sosial mencakup tindakan dan penghargaan serta adanya proses pertukaran pengalaman masing pribadi. Selain itu, dalam interaksi sosial terdapat hal yang kemudian disebut sebagai manifestasi dalam arti perilaku yang spesifik yang diterima pelaku interaksi tersebut.



BAB II

PEMBAHASAN



2.1 TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN

Konsepsi pembangunan sesungguhnya tidak perlu dihubung­kan dengan aspek-aspek spasial. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal membuktikan keberhasilan. Hal ini antara lain dapat dilukiskan di negara-negara Singapura, Hongkong, Australia, dan negara­-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih dari beragam perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari keuntungan semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-­hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan waktu (inter-generation). Implikasinya kajian aspek spasial menjadi kurang relevan dalam keadaan empirik yang telah dilukiskan di atas (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).

Namun demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di atas sejalan dengan kajian terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara dan wilayah lain, dikemukakan berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena yang khas, antara lain kesenjangan, kemiskinan, pengelolaan public good yang tidak tepat, lemahnya mekanisme kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-kelemahan itulah yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran penduduk, barang dan jasa, prestasi, dan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) di dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergence menjadi makin parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi mudah diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku ekonomi. implisit, juga terjadi dichotomy antar waktu dicerminkan oleh ketidakpercayaan terhadap sumberdaya saat ini karena penuh dengan berbagai resiko (high inter temporal opportunity cost). Keadaan ini bukan saja jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan dari kehancuran (in sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di atas adalah mekanisme pasar yang beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak mampu dihambat karena beroperasi sangat massif, terus-menerus, dan dapat dite­rima oleh logika ekonomi disamping didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara sistematis.

Kecendrungan globalisasi dan regionalisasi membawa sekaligus tantangan dan peluang baru bagi proses pembangunan di Indonesia. Dalam era seperti ini, kondisi persaingan antar pelaku ekonomi (badan usaha dan/atau negara) akan semakin tajam. Dalam kondisi persaingan yang sangat tajam ini Pembangunan Sebagai Proses Belajar

Boulding (1976) berkesimpulan bahwa pengakuan mengenai pembangunan, bahkan pembangunan ekonomi pun, adalah pada dasarnya suatu proses pengetahuan, telah secara perlahan merasuki pikiran ekonom. Akan tetapi justru kita yang masih amat dibayangi oleh model-model pembangunan yang mekanikal, rasio antara modal dengan pendapatan, dan bahkan tabel-tabel input-output yang berakibat pengabaian terhadap studi proses belajar yang merupakan kunci yang sebenarnya untuk pembangunan.

Proses belajar yang dimaksuddkan Smith adalah: yang pertama, pengembangan ketrampilan dan kecekatan melalui pembagian kerja, adalah terutama suatu proses belajar pada sistem syaraf yang bawah. Kedua, hasil yang didapatkan dari suatu aplikasi yang terus menerus pada suatu tugas tunggal dan eliminasi dari “berjalan tanpa tujuan” menyangkut masalah melupakan dan mengingat kembali, ketika mengambil tugas-tugas antara tiap sebentar. Dan yang ke tiga, yang sejauh ini merupakan yang terpenting, pembangunan mesin-mesin (oleh Boulding disebut sebagai “pengetahuan yang dibekukan”) merupakn hasil kerja bukan hanya oleh spesialis dalam bidang produksi benda-benda tersebut saja, tetapi juga merupakan hasil karya para filosofyang membentuk dan mengembangkan pengetahuan secara umum.



2.2. Pembangunan Sebagai Proses Belajar

Boulding (1976) berkesimpulan bahwa pengakuan mengenai pembangunan, bahkan pembangunan ekonomi pun, adalah pada dasarnya suatu proses pengetahuan, telah secara perlahan merasuki pikiran ekonom. Akan tetapi justru kita yang masih amat dibayangi oleh model-model pembangunan yang mekanikal, rasio antara modal dengan pendapatan, dan bahkan tabel-tabel input-output yang berakibat pengabaian terhadap studi proses belajar yang merupakan kunci yang sebenarnya untuk pembangunan.

Proses belajar yang dimaksuddkan Smith adalah: yang pertama, pengembangan ketrampilan dan kecekatan melalui pembagian kerja, adalah terutama suatu proses belajar pada sistem syaraf yang bawah. Kedua, hasil yang didapatkan dari suatu aplikasi yang terus menerus pada suatu tugas tunggal dan eliminasi dari “berjalan tanpa tujuan” menyangkut masalah melupakan dan mengingat kembali, ketika mengambil tugas-tugas antara tiap sebentar. Dan yang ke tiga, yang sejauh ini merupakan yang terpenting, pembangunan mesin-mesin (oleh Boulding disebut sebagai “pengetahuan yang dibekukan”) merupakn hasil kerja bukan hanya oleh spesialis dalam bidang produksi benda-benda tersebut saja, tetapi juga merupakan hasil karya para filosofyang membentuk dan mengembangkan pengetahuan secara umum.

Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian ­terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan ­menurut etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas dapat ­dirangkum sebagai berikut:

1. Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari per­tumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian ­pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi lemah.

2. Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari setiap program pembangunan.

3. Pembangunan “mandiri” telah muncul sebagai kunsep strategis dalam forum internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja sama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global.

4. Pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah, strategi pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.

5. Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep ecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro, 2004).



2.3 SISTEM SOSIAL

Dalam proses komunikasi pembangunan, sistem sosial merupakan target atau sasaran dari perubahan yang akan diciptakan. Sistem sosial dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sebuah sistem sosial terdiri dari subsitem-subsistem sosial yang dalam konteks tertentu dapat pula menjadi sistem tersendiri (sitem sosial tersendiri). Ditinjau dari luas lingkupnya, sistem sosial dapat berupa sistem yang sangat besar, misalnya sebuah bangsa, sebuah komunitas budaya, komunitas sosial, dan masyarakat. Namun demikian, sistem sosial dapat pula berupa kumpulan unit manusia dalam skala kecil, misalnya organisasi dan kelompok.



2.4 PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Proses perubahan sosial biasa tediri dari tiga tahap:

1. Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan
2. Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial.
3. Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat.



2.5 Pembangunan Sebagai Pertumbuhan.

Keadaan yang ditandai dengan jurang perbedaan yang mencolok antara kedua kelompok negara tersebut sudah barang tentu tidak mengenakkan bagi keduabelah pihak. Timbul keinginan sungguh-sungguh untuk segera mengubahnya, agar kehidupan dan pergaulan antara manusia menjadi lebih seimbang. Dan konsep untuk ingin mengubah keadaan tersebut dating dari negara-negara maju seperti AS. Dan hal itu sangat wajar dan memang harus dimiliki oleh negara-negara yang baru berkembang, karena semakin cepat dan kualitas pembangunan semakin efektif maka sebagian besar keinginan masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhannya sangant mudah untuk tercapai.

Yang menjadi inti permasalahan ketika itu, dalam pandangan para ahli ekonomi adalah perbedaan yang mencolok dalam tingkat pendapatan masyarakat dinegara maju dengan negara miskin. Itulah mengapa perhatian para perencana pembangunan dikala itu terpusat pada keinginan untuk meningkatkan pendapatan perkapita negara-negara kaju. Ketika itu diasumsikan, jika pendapatan perkapita berhasil untuk ditingkatkan, maka masyarakat ataupun bangsa yang bersangkutan akan dengan sendirinya pula berhasil pindah dari tahap les developed ke tahap developed

Teori-teori pembangunan ekonomi pada masa itu mengaitkan pertumbuhan pendapatan kotor nasional (GNP) dengan empat factor penting yaitu:

a. Akumolasi modal.

b. Sumber-sumber daya baru.

c. Kemajuan teknologi.

d. Pertambahan penduduk.

Pada masa itu pula konsep rostow yang merupakan catatan historis dan pembangunan negara-negara barat, menjadi menonjol. Dalam bukunya the stages of economic growth: A Non-Communist Manifesto, (Cambridge: Cambridge universitas press, 1960) itu, ROstow mengemukakan tahap-tahap pertumbuhan yang dilalui oleh negara modern, hingga mencapai keadaan yang sekarang, yaitu:

a. Masyarakat tradisional, dimana produktivitas ekonomi masih terbatas, karena tidak mencukupinya pengembangan teknik-teknik ekonomi.

b. Prakondisi untuk tinggal landas, dimana pembangunan merupakan sector utama dalam ekonomi yang secara positif mempengaruhi sector-sektor lain. Peningkatan produktivitas pertanian untuk menunjang aktivitas sector utama dan peningkatan dibidang trnsportasi serta bentuk-bentuk biaya social .

c. Tinggal landas (take off) yakni suatu interval dimana bagian yang lama dari sistem ekonomi dan hambatan terhadap pertumbuhan yang mentap akhirnya dapat diatasi, dan pertumbuhan menjadi suatu kondisi yang normal bagi seluruh sector masyarakat. Cirri khas tahap ini adalah peningkatan rasio tabungan dan investasi yaitu 5% atau kurang dari 10% ataupun lebih, juga tumbuhnnya framework social, politik, dan institusional untuk memudahkan dorongan menuju perluasan pembangunan.

d. Masa menjelang kedewasaan, suatu interval panjang untuk bertahan kalau fluktuasi ekonomi bergerak maju, dengan investasi yang mantap sebesar 10-20% dari pendapatan nasional, dan adanya sector-sektor utama lainnya yang mendukung sector utama yang lama.

e. Abad komunikasi masa yang tinggi, suatu perubahan structural tidak lagi terjadi secara cepat, dan sector utama bergerak kearah barang-barang konsumen dan jasa.

1. Pembangunan sebagai proses modernisasi

Model ini diterima sebagai suatu kebijaksanaan kurang lebih antara tahun 1945-an, dan didaarkan pada serangkaian asumsi, bahwa:

a. Pembangunan identik pertumbuhan.

b. Pertumbuhan dapat dicapai dengan penerapan ilmu-ilmu dan teknologi barat kepada problem produksi.

c. Sementara pertumbuhan berlangsung, institusi social dan politik masyarakat tradisional akan digantikan oleh bentuk-bentuk modern dalam kenyataan social, hal ini berarti penggantian pola-pola kewajiban dan identifikasi yang lebih komunal dengan model motivasi yang lebih individualistic.

d. Bentuk-bentuk kekuasaan politik tradisional dan feudal akan digantikan oleh bentuk-bentuk aturan yang lebih demokratis.

e. Konvergensi masyarakat-masyarakat menuju model modernitas ini akan menghasilkan suatu tatanan global yang tidak begitu mendukung konflik-konflik ideologis.



BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembangunan mempunyai arti yang sangat luas yang tidak mungkin untuk menyatukan semuanya menjadi suatu bentuk rumusan sederhana sebagai suatu definisi yang komplit. Pembangunan juga mempunyai makna yang bervariasi tergantung dari latar belakang pengulasnya. Oleh sebab itu kita harus melihat definisi pembangunan dari suatu sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya: sosiologi, politik, dan psikologi. Proses belajar merupakan proses pembangunan/modernisasai dari suatu kondisi yang buruk kearah yang lebih baik. Betapa tidak, proses belajar yang selanjutnya akan melahirkan suatu bentuk atau alat untuk menuju modernisasi dan keadaan yang lebih baik (bersifat membangun).

Komunikasi pembangunan merupakan istilah yang diambil dari development communication, yang secara orisinal istilah tersebut mengacu kepada jaringan komunikasi berlandaskan teknologi (technology development based communication network) yang tanpa memperhatikan pesan dan isi, cenderung menciptakan suasana yang cocok untuk pembangunan disebabkan oleh ciri-cirinya yang melekat pada sebuah konsep. Di mana komunikasi pembangunan akan membangkitkan suasana psikis suatu kegiatan ekonomi dan produktivitas yang terjadi. Selain itu ada istilah yang khusus dirancang bagi terselenggaranya komunikasi untuk mendukung suatu program pembangunan tertentu yang dikenal dengan “komunikasi penunjang pembangunan” atau development support communication. Dari kedua istilah tersebut jelas bahwa komunikasi pembangunan menunjukkan penjabaran yang lebih luas dibandingkan dengan komunikasi penunjang pembangunan. Komunikasi pembangunan dapat berlangsung walaupun tanpa komunikasi penunjang pembangunan. Demikian pula sebaliknya, komunikasi penunjang pembangunan walaupun pengertiannya lebih sempit tetapi dapat berlangsung efektif dalam suasana yang terbatas tanpa komunikasi pembangunan sekalipun. Berikut ini tabel yang menunjukkan perbedaan komunikasi pembangunan dan komunikasi penunjang pembangunan dalam kaitannya dengan komunikasi dan pembangunan.

REFERENSI

Frank,A,G (1972) “ The Defelopment Of Underdefelopment”, halaman 3-18, dalam James D. Cockroft et al., (eds), dependence and under development: latin America’s Political Economiy. Garden City, NY: Anchor Books.

Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran.


Goldthorp, J,E. (1988) The Sosiologi Of The Third World: Disparity And Development. Second Edition. Cambridge Univercity Press. Terjemahannya: Sosiologi Dunia Ke Tiga: kesenjangan dan pembangunan, alih bahasa: Sukadijo. Jakarta: PT, Gramedia,1992.


Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books 
READMORE -

TEORI-TEORI DALAM PEMBANGUNAN

1. Teori Dependensi.

Secara global yang dimaksud dengan dependensi adalah suatu keadaan dimana keputusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi dinegara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individuatau institusi diluar negara yang bersangkutan.

Proses ketrbelakangan yang melanda negara-negara baru, menurut Furtado (1972), meliputi tiga tahapan historis yang terdiri dari:

a. Tahap keuntungan-keuntungan komparatif. Selama periode seusai revolusi industry, ketika sistem divisi tenaga kerja internasional diciptakan dan ekonomi dunia distrukturkan, negara-negara industry pada umumnya menspesialisasikan diri pada kegiatan-kegiatan yang ditandai dengan kemajuan teknik yang menyebar.

b. Tahap substitusi impor. Terbentuknya suatu kelompok social kecil dengan keistimewaan dikalangan bangsa-bangsa yang terbelakang menimbulkan suatu keharusan untuk mengimpor sejumlah barang-barang tertentu guna memenuhi pola konsumsi yang telah diadopsi kelompok ini dalam meniru bangsa yang kaya.

c. Tahap berkembangnya perusahaan multi-nasional (PMN). Timbulnya PMN telah menjadi suatu fenomena terpenting dalam tatanan ekonomi internasional,karena transaksi internal yang dilakukan oleh PMN telah mengambil alih operasi pasar yang ada selama ini.



Ø Kritik terhadap teori dependensi

Menurut Servaes (1986), hal-hal yang dikritik pada teori dependensi dan keterbelakangan itu yang pada intinya ialah:

a. Bahwa pandangan kaum dependensi tentang kontradiksi yang fundamental didunia antara pusat dan periferi ternyata tidak berhasil memperhitungkan struktur-struktur kelas yang bersifat internal dan kelas produksi diperiferi yang menghambat terbentuknya tenaga produktif.

b. Bahwa teori ketergantungan cenderung untuk berfokus kemasalah pusat dan modal internasional karena kedua hal itu “dipersalahkan” sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan, ketimbang masalah pembentukan kelas-kelas lokal.

c. Teori dependensi telah gagal dalam memperbedakan kapitalis dengan feodalis atau bentuk-bentuk pengendalian produser masa prakapitalis lainnya, dan apropriasi surplus.

d. Teori dependensi mengabaikan produktivitas tenaga kerja sebagai titik sentral dalam pembangunan ekonomi nasional, dan meletakkan tenaga penggerak dari pembangunan kapitalis dan masalah keterbelakangan pada transfer surplus ekonomi pusat ke periferi.

e. Teori depedensi juga dinilai menggalakkan suatu ideology berorientasi kedunia ketiga yang meruntuhkan potensi solidaritas kelas internasional dengan menyatukan semuanya sebagai “musuh”, yakni baik elit maupun massa yang berada dibangsa-bangsa pusat.

f. Teori dependensi dinilai statis, karena ia tidak mampu untuk menjelaskan dan menghitungkan perubahan-perubahan ekonomi dinegara-negara terbelakang menurut waktunya.


2. Another Development Atau Pembangunan Yang “LAIN”

Ide sentral Another Development yang bahwa tidak ada suatu jalur tunggal yang universal melaksanakan pembangunan. Menurut konsep ini, pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang integral, multi dimensional dan dialektis, yang dapat berbeda dari suatu negara kenegara lain.

Unsur-unsur inti dari konsep PYL ini adalah, “berdasarkan tulisan-tulisan Bennet(1977), chapel (1980), Galtung (1980), peroux (1983), Rist (1980) dan Todaro (1977) adalah sebagai berikut:

a. Berorientasi pada kebutuhan: yaitu disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di bidang kebendaan dan non kebendaan.

b. Endogeneous: yakni bertolak dari jantung masing-masing masyarakat yang merumuskan dengan penuh kedaulatan, nilai-nilai dan pandangan masa depan mereka sendiri.

c. Mengandalkan kemampuan sendiri: yaitu setiap masyarakat pertama-tama harus mengandalkan pada kekuatan dan sumberdaya sendiri dalam arti energy anggotanya, serta lingkungan alam dan cultural mereka.

d. Secara ekologis baik: yaitu secara pemanfaatan secara rasional sumber-sumber daya biosfir dengan penuh kesadaran akan potensi ekosistem local, sekaligus global dan batas yang ada untuk masa sekarang dan masa mendatang.

e. Bersandar pada transformasi structural: yaitu suatu yang dituntut dalam hubungan social, aktivitas ekonomi dan distribusu spesialnya, seperti juga dalam struktur kekuasaan untuk merealisasikan kondisi managemen dan partisipasi dalam pembuatan keputusan oleh semua orang yang dikenai oleh keputusan tersebut, sejak dari masyarakat desa, kota, hingga dunia secara keseluruhan.


Ø Rumusan Baru Dalam Konsep Pembangunan.

Bagi negara-negara berkembang, hasil yang dipetik dari hasilpelaksanaan pembangunan selain peningkatan ekonomi dan peningkatan pendapatan juga bisa di ambil sejumlah pelajaran bagaimana merumuskan konsep pembangunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masing-masing. Pertumbuhan Yang Adil.


3. Pembangunan Berkelanjutan.

Proses pertumbuhan ekonomi seperti terungkap pada perempat terakhir abad ini telah melipatgandakan permasalahan baik dinegara-negara industrial maupun negara Dunia Ketiga, sekaligus individu yang ada di masing-masing negara itu. Pada tahun 1985 komisi Dunia tentang lingkungandan pembangunan yang diangkat oleh PBB melalui studi yang berlangsung dua tahun dengan melakukan dengar pendapat di lima benua. Tugas komosi ini adalah:

a. Mengkaji kembali isu-isu penting lingkungan dan pembangunan dan merumuskan usulan aksi yang inovatif, konkret dan realistic untuk mengatasinya.

b. Mengkaji dan mengusulkan bentuk-bentukbaru kerja sama internasional mengenai lingkungan dan pembaangunan yang dapat mengubah pola yang ada dan mempengaruhi kebijakan dan peristiwa menurut arah perubaha yang diinginkan.

c. Menaikkan tingkat pemahaman dan komitmen terhadap tindakan dikalangan individual, organisasi voluntir, bisnis, lembaga dan pemerintah.


4. Laporan Pembangunan Manusia Dan Indeks Pembangunan Manusia.


Pembangunan manusia mempunyai dua sisi yaitu:

a. Pembentukan kemampuan-kemampuan manusia seperti peningkatan kesehatan, pengetahuan dan keterampilan.

b. Penggunaan dari kemampuan yang telah diperoleh itu untuk bersenang-senang, keperluan produktif, atau untuk aktiv dalam urusan budaya, social dan politik.

Pembangunan jauh lebih kompleks dari itu, pembangunan pada hakikatnya mencakup segalanya. Baik dari segi ekonomi dan fisik dan juga non fisik.


Ada tiga elemen penting yang menjadi focus pengukuran pembangunan manusia yaitu:

a. Panjang umur. Indikatornya adalah tingkat harapan hidup, hidup yang panjang dinilai berharga, serta sejumlah manfaat tidak langsung lainnya seperti gizi yang memadai, dan kesehatan yang baik adalah berkaitan erat dengan tingkat harapan hidup yang tinggi.

b. Pengetahuan. Indikatornya tingkat melek huruf.

c. Standar hidup yang pantas. Elemen ini yang paling sukar diukur. Untuk saat ini indicator yang dipakai adalah pendapatan perkapita yang digabung dengan daya beli yang disesuaikan dengan pendapatan perkapita riel dari pendapatan bruto domestic (GDP).

Setelah itu ada tiga indeks yang dikembangkan untuk melengkapinya yaitu:

a. Indeks kemiskinan maunusia (IKM) mencerminkan distribusi kemajuan dan mengukur yang masih ada.

b. Indeks pembangunan yang berkaitan gender mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dan menggunakan indicator yang sama dengan IPM, tapi menangkap ketidak setaraan pencapaian antara pria dan wanita.

c. Ukuran pemberdayaan gender yaitu mengungkapkan apakah wanita bisa aktif dalam mengambil bagiandalam kehidupan ekonomi dan politik.


5. Pengetahuan Untuk Pembangunan Dan Pembangunan Berbasis Pengetahuan.

Pembangunan memang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pada akhir decade tahun 1990-an muncul pandangan pembangunan dari perspektif pengetahuan, tinjauan ini disebut dengan “pengetahuan untuk pembangunan”. Pengetahuab dan pertumbuhan ekonomi. Pertayaan tentan gpengetahuan bermula dari pengenalan, bahwa pengetahuan tidak dapat dengan mudah dibeli dari rak kedai, seperti bayam atau computer. Marketability pengetahuan dibatasi oleh dua cirri yang membedakannyadari komoditas tradisional, yakni:

a. Digunakannya suatu pengetahuan oleh seseorang tidak menghalangi penggunaan pengetahuan yang sama oleh orang lain, karena pengatahuan, seperti yang disebut oleh para ekonom.

b. Kalau sepotong pengetahuan sudah berada di public domain, sukar dari pencipta pengetahuan tersebut untuk mencegah orang lain menggunakan pengetahuan dimaksud pengetahuan disebut non-excludable.


Ø Pengetahuan teknologi dan atribut.

Laporan ini mengingatkan, bahwa negara-negara berkembang tak perlu lagi “membanting tulang” untuk menciptakan hal-hal yang sudah ada seperti computer, ataupun perawatan malaria. Lebih baik negara-negara berkembang mendapatkan dan mengadapsi begitu banyak pengetahuan yang lebih tersedia dinegara kaya. Ada banyak jenis pengetahuan. Yang menjadi focus laporan ini ialah dua tipe pengetahuan dan dua macam problem yang kritikal bagi negara-negara berkembang, yaitu:

a. pengetahuan tentang teknologi yang juga disebut pengetahuan teknis atau knowbow. Contohnya: gizi, KB, akutansi dll.

b. Pengetahuan tentang atribut suatu kualitas suatu produk, kecerdasan pekerja, atau nilai kredit suatu perusahaan, semua itu kritikal untuk pasar yang efektif.

Pasar bisa berkembang ataupun memudar trgantung pada arus informasi. Meskipun kegagalan informasi tidak akan bisa dihapuskan, tetapi pengenalan dan penanggulangan terhadap hal ini amat penting untuk efektifnya pasar dan pertumbuhan yang cepat, eguitable, dan berkelanjutan.

Ø Mengatasi knowledge gap (jurang pengetahuan) akibat pemilikan dan pendayagunaan pengetahuan, terjadilah jurang pengetahuan baik antara negara miskin dengan negara kaya.

Untuk mengatasi terjadinya jurang pengetahuan, menurut laporan ini, ada tiga langkah yang perlu diambil:

a. Mendapatkan pengetahuan menyangkut menampung dan mengadaptasi penggetahuan yang tersedia dimanapun di Dunia.

b. Menyerap pengetahuan, menyangkut misalnya, jaminan pendidikan dasar universal, dengan penekanan khusus pada perluasan pendidikan bagi anak perempuan dan kaum disatfantage lainnya, dan menciptakan kesempatan untuk belajar sepanjang hanyat.

c. Mengkomunikasikan pengetahuan, menyangkut mengambil manfaat dari teknologi informasi dan komunikasi baru melalui kompetisi, provisi sector privat dan regulasi yang tepat dan menjamin akses untuk kaum miskin.

Untuk individu dan negara, kunci untuk menciptakan, mengadaptasi dan menyebarluaskan pengetahuan adalah pendidikan. Pemecahan problem informasi yang disebut diatas tadi dapat dilakukan dengan:

a. Pengolahan informasi financial informasi ekonomi, khususnya dengan menjamin transparansi melalui akunting dan pengumuman yang efektif dan dengan mendesain pendekatan regulatori yang cocok untuk kelangkaan kalangan informasi.

b. Peningkatan pengetahuan tentang lingkungan. Dengan melakukan riset untuk mendapatkan fondasi bagi kebijakan lingkungan yang efektif dan dengan menyebarluaskan informasi untuk mendorong penurunan informasi dan pengurusan lingkungan yang bertanggung jawab.

c. Menjawab problem informasi yang melukai kaum miskin dan menydiakan waktu untuk mempelajari kebutuhan dan keprihatinan mereka, sehingga masyarakat dapat menawari mereka informasi yang berguna dan membantu mereka dalam mencari cara-cara untuk emngurangi keterasingan mereka dari pasar dan meningkatkan akses mereka ke institusi formal.

Pembangunan ternyata mengikuti kebutuhan akan sesuatu informasi institusional yang meningkatkan informasi dan menciptakan insentif bagi upaya, inovasi, tabungan, investasi dan memungkinkan secara progresif pertukaran yang kompleks yang merentang jarak dan waktu yang meningkat.


Ø Tugas pemerintah.

a. Menyediakan informasi yang membantu memverifikasi kualitas.

b. Mendukung lifelong learning atau belajar sepanjang hanyat.

c. Menegakkan suatu lingkungan peraturan yang baik untuk industry telekomunikasi yang kompetitif.

Ø Tugas lembaga internasional.

Dalam mengurangi jurang pengetahuan (knowledge gaps) lembaga internasional dapat berperan:

a. Untuk menyediakan international public goods.

b. Sebagai perantara dalam transfer pengetahuan.

c. Mengelola tubuh pengetahuan tentang pembangunan yang bertumbuh dengan cepat.

Yang dimaksud dengan public goods disini ialah pengetahuan yang terikat pada ketentuan mengenai hak cipta yang jika harus dipenuhi oleh negara berkembang akan terasa amat berat.

DAFTAR PUSTAKA

Henriot, P.J., (1979). “Development Alternatives: Problem, Strategis, Values”, hlm. 5-22 dalam Charles K, Wilber (ed). Political Economy Of Development And Underdefelopment.

Hettne, B., (1982), Development Theory And Third World, (SAREC Report No.2), Stockholm: Swedish Agency For Research Cooperation With Developing Countries.

Higgins, B., (1968). Economic Development: Problem, Principles, And Policies. New york W.W Norton And Company, Inc.
READMORE -

KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN

KOMUNIKASI dan PEMBANGUNAN



menurut Hedebro (1979) mengidentifikasi tiga aspek komunikasi dan pembangunan yang berkaitan dengan tinggkat analisanya

1) Pendekatan yang berfokus pada pembangunan suatu bangsa dan bagaimana media massa dapat menyumbang dalam upaya tersebut.

2) Pendekatan yang juga dimaksudkan untuk memahami peranan media massa dalam pembangunan nasional, namun jauh lebih spesifik.

3) Pendekatan yang berorientasi pada perubahan yang terjadi pada suatu komunitas local atau desa.

Kebanyakan teori-teori pembangunan saat ini, ternyata dikembangkan dalam tradisi teori pertumbuhan ekonomi, yaitu berisi gambaran mengenai proses perubahan ekonomi yang telah berlangsung di negara-negara maju. Titik tolak teoro-teori tersebut selau bermula dari memperbedakan faktor-faktor dasar produksi yang sudah tersohor itu, yakni: tanah, modal, dan tenaga kerja.



relevansinya dengan peranan komunikasi adalah penekanan yang diberikan kepada analisa yang lebih mendalam pada masalah efek komunikasi. Ada dua hal yang mencerminkan hal tersebut, yaitu:

1) Perhatian terhadap proses internal yang terjadi pada suatu pesan dasar diterima-suatu proses intrapsikis yang terjadi dalam diri seseorang (within-self communication)-dan,

2) Bahwa sementara ongkos medernisasi boleh jadi demikian besarnya, namun pada tingkat tertentu dapat diatasi melalui sistem komunikasi.

Menurut McClelland, dalam pembangunan ekonomi,kekuatan yang merangkum masyarakat adalah bergerak dari tradisi yang melembaga ke opini public yang dapat mengakomodir perubahan, dan hubungan interpersonal yang spesifik dan fungsional. Dengan berlangsungnya pembangunan, muncul bentuk-bentuk hubungan baru yangmemerlukan norma-norma baru pula sebagai hasil consensus bersama. Untuk menyebarluaskan norma-norma baru itu, tentunya komunikasi merupakan suatu instrument yabg utama.

Pandangan Ilmu Komunikasi

Schramm (1964) merumuskan tugas pokok komunikasi dalam suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional, yaitu:

1) Menyampaikan kepada masyarakat, informasi tentang pembangunan nasioanal, agar mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan cara mengadakan perubahan, dan membangkitkan aspirasi nasional.

2) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatka semua pihak yang membuat keputusan mengenai perubahan, memberikan kesempatan kepada para pemimpinmasyarakat untuk memimpin dan mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakn arus informasi yang berjalan lancer dari bawah ke atas.

3) Mendidik tenaga kerja yang diperlukan pembangunan, sejak orang dewasa, hingga anak-anak, sejak pelajaran baca tulis, hingga keterampilan teknis yang mengubah hidup masyarakat.

Menurut Schramm, media massa juga berfungsi sebagai pemberi informaasi, pebuatan keputusan, dan sebagai pendidik.



Bukan Propaganda, Apalagi Indoktrinasi

Pye (1964) mengungkapkan bahhwa banyak pemerintah yang menaruh harapan yang berlebihan mengenai pengaruh yang dapat dilakukan media massa secara sendirian dalam mengubah masyarakat yang terikat pada tradisi. Pada saat yang sama masih pula ada pemelerintah yang berusaha mmerintah dengan menggunakan propaganda dan demagogi yang melembaga. Propaganda adalah suatu jenis komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi pandangan dan reaksi terlepas apakah benar ataupun salah isi pesan yang disampaikan. Sedangkan demagogi aih dengan kemapuan adalah usaha mempengaruhi dan mempersonakan khalayak lebih dengan kemampuan retorika, dan bukkan rasio. Menurut Pye, tidak satupun pendekatan tersebut yang menghampiri konsep yang tepat bagi komunikasi dalam meneruskan pembangunan nasional. Sebenarnya, dalam pandangan Pye, focus kebijakan komunikasi hanya sebagian untuk deseminasi ide-ide baru, teknik-teknik baru, dan imej-imej baru.



KONSEP TEORITIS KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Komunikasi Pembangunan Dalam Arti Luas dan Terbatas

Dalam arti yang luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbale balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan terutama antara msyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan.

Dalam ati sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas.

Beberapa ulasan mengenai komunikasi pembangunan juga diungakapkan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah :





Studi Lerner

Pada pokoknya, Lerner mengemukakan bahwa modernisasi suatu bangsa dimulai dari terjadinya urbanisasi. Menurutnya, untuk bisa berubah menjadi modern, anggota masyarakat harus memiliki mobilitas baik dalam arti fisik, maupun psikis. Namun kurang lebih dua puluh tahun kemudian, Lerner memperbaiki beberapa hal dari teori modernisasi yang ia kemukakan sebelumnya, yaitu :

1. Urbanisasi tidak lagi sebagai langkah pertama. Sebagai gantinya adalah melek huruf dan pengenaan media, lalu bergerak menuju partisipasi.

2. Indikator partisipasi politik bukan lagi hanya pemberian suara di pemili, tapi sedang dicarikan indicator lain yang bersifat psikologis semacam “empati”.

3. Lerner tidak lagi menyebut keseluruhan proses tersebut sebagai modernisasi, tapi mengantinya dengan perubahan.

4. Kerena itu, faktor yang dikemukakan sebelumnya (urbanisasi, melek huruf, pengenaan media dan partisipasi) tidak lagi disebut sebagai indicator kemodernan, tapi sebagai kecenderungan kepada perubahan (proencity to chabge) atau kesiapan orang untuk mencoba hal-hal yang baru.

Studi McClelland

Dalam studinya yang berjudul The achieving Society (1961) ia berkesimpulan bahwa untuk memajukan suatu masyarakat harus dimulai dengan merubah sikap mental (attitude) para anggotanya. Menurut penelitiannya, sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang telah maju ternyata didorong oleh “kebuuhan untuk pencapaian sesuatu atau need for achievement tersebut.

Studi Wilbur Schramm

Dalam laporannya yang berjudul Mass Media and National Development: The Role of Information in Developing Countries (1964), pada pokoknya Schramm mengungkapkan bahwa media massa dapat berperan dalam beberapa hal. Yang paling pokok adalah dapat membantu menyebarluaskan informasi tentang pembangunan, dapat mengajarkan melek huruf, serta keterampilan lainnya yang memang dibutuhkan untuk membangun masyarakat dan dapat penyalur suara masyarakat agar mereka dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan di negaranya. Sejumlah peran lainnya bagi media massa dalam pembangunan adalah:

1. Meluaskan wawasan masyarakat

2. Memfokuskan perhatian masyarakat pada pembangunan

3. Meningkatkan aspirasi

4. Membantu merubah sikap dan praktek yang dianut

5. Memberi masukan untuk saluran komunikasi antar pribadi

6. Mmberi status

7. Memperlebar dialog kebijakan

8. Mnegakkan norma-norma sosial

9. Membantu membentuk selera

10. Mempengaruhi nilai-nilai yang kurang teguh dianut dan menyalurkan sikap yang lebih kuat.

11. Membantu berbagi jenis pendidikan dan pelatihan.

Studi Inkeles dan Smith

Pada pokoknya, inkeles dan smith mempertanyakan (1) apa sebab yang ditimbulkan oleh modernisasi terhadap sikap, nilai, dan pandangan hidup seseorang, dan (2) apakah negara-negara berkembang akan memiliki sikap hidup yang lebih modern dibanding masa sebelumnya, kalu negara tersebut berinteraksi dengan negara barat yang telah lebih dahulu memiliki sekap dan pandangan hidup modern.Ciri-ciri menusi modern menurut mereka adalah : terbuka pada pengalan baru, semakin tidak tergantung (independen) pada berbagai bentuk kekuasaan tradisional (raja,suku,dsb), percaya kepada ilmu pengetahuan dan kemampuannya menaklukkan alam, berorientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi, memiliki rencana yang panjang, dan aktif dalam pencaturan politik.

Teori Difusi Inovasi

Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), studi difusi mengkaji pesan-pesan berupa ide-ide ataupun gagasan-gagasan baru. Pada masyarakat yang sedang membangun seperti di negara-negara berkembang, penyebarserapan (difusi) inovasi terjadi terus menerus dari suati tempat ke tempat yang lain. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Berlangsungnya suatu perubahan sosial, diantaranya disebabkan diperkenalkannya ataupun dimasukkannya hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide baru. Hal-hal yang baru tersebut dikenal sebagia inovasi.

Masuknya inovasi ke tengah suatu sistem sosial terutama karena terjadinya komunikasi antaranggota suatu masyarakat, ataupun antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian, komunikasi merupakan faktor yang penting dalam pembentika sebuah inovasi. Dalam proses penyebarserapan inovasi terdapat unsure-unsur yang terdiri dari suatu inovasi, yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dalam suatu jangka waktu, dan diantara para anggota suatu sistem sosial. Dalam pandangan masyarakat yang menjadi klie dalm penyebarserapan inovasi, ada lima atribut yang menandai setiap gagasan ataupu cara-cara baru yang dimaksud, yaitu: keuntungan-keuntungan relative, keserasian, kerumitan, dapat dicobakan, dan dapat dilihat. Masyarakat yang menghadapi penyebarserapan inovasi dikelompokkan dalam beberapa golongan yaitu : innovator, penerima dini, mayoritas dini, mayoritas belakangan, dan laggard. Dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya seseorang melui sejumlah tahapan, yaitu: tahap pengetahuan, tahap bujukan, tahap putusan, tahap implementasi, dan tahap pemastian.



Agen-egen Perubahan: Tugas dan Peranannya

Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat ditandai dengan adanya sejumlah orang yang mempelopori, mengerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut (agen perubahan). Kualifikasi dasar agen perubahan menurut Duncan dan Zaltman merupakan tiga yang utama di antara sekian banyak kompetisi yang mereka miliki, yaitu: kualifikasi teknis, kemampuan administrative, dan hubungan antar pribadi. Agen-agen perubahan itu menurut Rogers dan Shoemaker berfungsi sebagai merantai komunikasi antardua atau lebih sistem sosial. Peranan utama seorang agen perubahan (Havelock,1973;hlm.7) adalah sebagai katalisator, sebagai pemberi pemecahan persoalan, sebagai pembantu proses perubahan, dan sebagai penghubung. Keseluruhan peran agen tersebutdapat dikelompokkan menjadi peran yang laten dan manifest (O’orman,1976). Peran manifes adalah peran yang kelihatan “dipermukan” antara hubungan antara agen perubahan dengan kliennya, dan merupakan peran yang dengan sadar dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan peran yang laten merupakan peran yang timbul dari “arus bawah” yang member petunjuk bagi si agen dalam mengambil tindakan.

“Orang Luar” dan “Orang Dalam” Sebagai Agen Prubahan

Sebagai insider dari sistem sosial yang dimaksud, agen perubahan memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut:

a) Dia memahami sistem sosial yang bersangkutan.

b) Dia berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh masyarakat setempat.

c) Dia biasa mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi dari sistem sosial yang bersangkutan.

d) Dia bisa mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi dari sistem sosial yang bersangkutan.

e) Dia merupakan seseorang yang telah dikenal di tengah masyarakat setempat.

Adapu kerugian-kerugian yang dialami seorang agen perubahan yang insider bagi suatu sistem sosial tempatnya bertugas adalah:

1) Ada kemungkina dia kurang memiliki perspektif.

2) Mungkin dia tidak memiliki kemampuan khusus ataupun keterampilan yang relevan dengan inovasi yang hendak didifusikan.

3) Dia mungkin tidak mempunyai basis kekuasaan yang cukup.

4) Mungkin ia harus menanggungkan akibat kegagalannya di masa lalu, atau bila ia pernah sukses di waktu silam maka hal itu akan membangkitkan kecemburuan terhadapnya.

5) Boleh jadi ia tidak memiliki kebebasan bergerak yang merupakan prasyarat bagi seseorang agen perubahan yang efektif.

6) Ada pula kemungkinan ia mengalami kesulitan dalam merumuskan hubungannya dengan anggota masyarakat setempat.

Keuntungan agen perubahan yang outsider:

1) Ia memulai tugasnya dengan suatu kesegaran dan tidak dibebani oleh sesuatu stereotip yang negative.

2) Ia berada pada posisi yang memungkinnnya memandang permasalahan secara perspektif.

3) Dia independen dari struktur kekuasaan setempat.

Kerugian yang dialami oleh egen perubahan outsider:

1) Sering kali dianggap sebagai ancaman bagi mesyarakat setempat karena statusnya sebagai orang asing.

2) Kurang mengetahui keadaan dalam masyarakat setempat.

3) Tidak mampu mengidentifikasikan keadaan masyarakat setempat.

Merintis Hubungan Baik Dengan Klien

Dalam menjalin hubungan dengan klien, Havelock (1973) mengajukan agar agen perubahan memperhatikan 4 hal :

1) Sikap bersahabat

2) Kesamaan

3) Manfaat

4) Responsif

Beberapa Pendekatan Terhadap Komunikasi dan Pembangunan

Dissayanake (1981), mengambarkan pembanguna sebagai proses perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat tanpa merusak lingkungan alam dan cultural tempat mereka berada, dan berusaha melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri. Ia mengelompokkan komunikasi pembangunan sebagai berikut:

Pendeketan 1

Pada akhir 50an dan selama tahun 60an, pendekatan inilah yang dominan. Pendekatan ini menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui industrialisasi. Ketika itu diyakini bahwa akumulasi modal melalui mekanisme tabungan dan investasi merupakan mesin penggerak pembangunan. Karena itu penekanannya dititkkberatkan pada industry berat, teknologi-teknologi padat modal, dan urbanisasi. Para ahli tersebut berpendapat bahwa media massa dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya pembangunan. Tetapi kemudian pendekatan ini dirasa tidak memenuhi harapan. Dan mengajuka kritik antara lain:

1) Pendekatan ini dinilai etnosentrik.

2) Pendekatan ini telah menempatkan suatu pandangan sejarah yang unlinear yang berkaitan dengan butir pertama dia atas.

3) Pendekatan ini berkonsentrasi hanya pada faktor-faktor endongen dalam pembangunan.

4) Pendekatan ini membeir tekanan yang amat besar pada individual.

Pendekatan 2

Pengalaman dengan pendekatan I tadi mendorong para ahli komunikasi untuk membentuk strategi baru, dan berusaha menjawab permasalahn pokok berikut ini:

1) Bagimana caranya agar dengan melaksanakan pembangunan dapat dicapai suatu keadilan yang distributive.

2) Bagaimana gar ide-ide kemadirian, pengelolaan sendiri, pembangunan sendiri, dan partisipasi rakyat dapat dipenuhi.

3) Bagaimana agar media komunikasi yang lama dan yang baru dapat secara purposive diterpadukan?

4) Seampuh apakah kebudayaan dapat dijadikan suatu sekutu da pembantu pembangunan?

5) Bagaimana agar seseorang dapat menyusun suatu model komunikasi pembangunan yang lebih sadar sejarah dan spesifik untuk suatu masyarakat?

6) Bagaimana agar seseorang dapat mempertimbangkan faktor-faktor structural yang menghambat pembangunan?

Pendekatan 3

Menurut pendekatan ini peran komunikasi dalam pembanguna adalah:

1) Pendidikan

2) Strategi komunikasi hendaklah memobilisasi dukungan bagi penataan kembali masyarakat secara structural.

3) Tekanan pada saluran komunikasi antarpribadi.

Pendekatan 4

Pendekatan ini ditandai dengan penekana yang eksplisit pada gagasan untuk mengandalkan kemampuan diri sendiri. Selain itu, pendekatan ini juga sedang menyusun bentuk secara utuh ini mencerminkan keinginan untuk secara strategic memadukan sejumlah ide yang berkaitan dengan pembangunan yang tumbuh belakangan ini. Adapun ide yang dimaksud adalah:

1) Memaksimalkan partisipasi rakyat

2) Memulai dan mendasarkan pembangunan pada masyarakat yang paling bawah.

3) Pembangunan desa secara terpadu

4) Penggunaan teknologi tepat guna

5) Pemenuhan sejumlah kebutuhan dasar.







Strategi Komunikasi Pembangunan

Menurut AED (1985), ada empat strategi komunikasi pembanguna n yag telah digunakan selama ini, yaitu:

1) Strategi-strategi yang didasarkan pada media yang dipakai.

2) Strategi-strategi disain instruksional.

3) Strategi-strategi partisipatori

4) Strategi-strategi pemasaran.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

Moral dalam Menjalankan PROPAGANDA

MORALITAS PROPAGANDIS

integritas menunjukkan sikap bahwa jiwa dan dirinya terkotak-kotak, konsekuen, dan sama dalam pelbagai kehidupan menurut suatu pola kepribadian yang tidak dibuat-buat, apa itu dalam pergaulan antarpribadi pekerjaan dan dalam kegiatan politik.

Orang integriter adalah orang yang jujur, lugu, meskipun tidak naif atau polos, asli berdasarkan kekuatan kepribadian yang tidak memaksanya untuk terus menerus menyembunyikan wujud yang sebenarnya. Apa yang digambarkan pada diri orang yang mempuyai integritas tersebut di atas menggambarkan jiwa moralitas seseorang.



A. Pentingnya Moralitas

Hal lain yang menjadi landasan kenapa moralitas penting untuk diwujudkan oleh propagandis, karena ia berurusan dengan banyak orang. Sedangkan masing-masing orang-orang mempunyai aspirasi yang berbeda, tuntutan dan kebutuhan yang berbeda. Propagandis dalam hal ini harus mendasarkan perilakunya pada aspek-aspek yang lebih luas dan bukan pada dirinya sendiri. Sebab, selama ini yang dikenal adalah propagandis melakukan kegiatan propaganda untuk mewujudkan ambisi pribadi.

Moralitas juga menumbuhkan orang bersikap sportif. Artinya, mau mengakui kesalahan dirinya sendiri dan di sisi lain “angkat topi” untuk keunggulan pihak lain. Selanjutnya, kejujuran tertanam dalam diri propagandis. Sportif juga membutuhkan kejujuran. Dengan demikian, moralitas menjadi sesuatu yang tak bisa dihilangkan dan harus tertancap kuat dalam diri propagandis.

B. Kelemahan Moral

Kelemahan moral yang paling terasa adalah karena tanggung jawab ada pada diri masing-masing. Hal demikian juga pernah dikhawatirkan oleh Kuntowijiyo dalam melihat perilaku politik keagamaan.

Kekhawatiran itu juga bisa ditimpakan pada masalah moral propagandis. Dalam dunia politik kadang sering dipersepsikan hanya ada lawan atau kawan. Maka nyaris dalam politik ada usaha menghalalkan segala cara. Padahal sebenarnya dalam politik juga bisa dikembangkan politik yang bermoral. Meskipun hal demikian tidak mudah dilaksanakan. Maka alangkah lebih baiknya seandainya moral itu juga didukung oleh jaminan kepastian hukum sebagai rule of the game yang jelas.



C. Memupuk Kesadaran

Dalam hal ini usaha memupuk agar pengaruh propaganda tidak berimplikasi negatif tidak hanya terletak pada propagandis, tetapi juga sasaran propaganda. Bagi propagandis, ia juga harus bisa belajar dari orang lain.

Jika pada akhirnya berimplikasi negatif, maka ia harus sadar dengan mengurungkan niat untuk mempropagandakan. Itu artinya pula, akan lebih baik jika dipropagandakan memang objektif atau kalau perlu melalui suatu penelitian ilmiah. Sedang bagi sasaran, jangan hanya menerima begitu saja yang datang dari propagandis. Sasaran harus selektif apakah memang yang disampaikan benar atau tidak. Jika pada akhirnya bukan hal yang tabu untuk menanyakan pada orang yang dianggap lebih tahu. Dalam hal ini sharing ide dengan berbagai pihak, belajar dari banyak hal, bergaul dengan berbagai kelompok masyarakat, sedikit banyak akan menolong.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

ARTI PROPAGANDA PILKADA 2011

“ARTI PENTING PROPAGANDA DALAM PIKADA 2011”
Propaganda merupakan sebuah upaya yang di sengaja dan sistematis untuk membentuk memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhilangsungperilaku agar dapat tujuan yang di ingin kan oleh propagandis.
Menurut encyclopedia Internasional, propaganda adalah “ suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai kebenaran atau tidaknya pesan yang disampaikan “.
Harold D. Laswell (propaganda (1937)) mengatakan “propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya ”

Quarter mengatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh
beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi, atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh si propagandis.
Pilkada (pemilihan kepala daerah) merupakan suatu proses yang dilalui oleh masyarakat di daerah demi membangun daerahnya menjadi lebih baik dari sebelumnya, yaitu melalui pemilihan pemimpin yang dinilai berkapasitas untuk mewujudkan harapan mereka. Dalam Pilkada, metode, syarat serta cara yang dilakukan tentunya tak jauh berbeda dengan Pemilu yang diselenggarakan setiap 4 (empat) tahun sekali. Dimana, rakyat lah yang nantinya akan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan nasib masyarakat/rakyat itu sendiri. Yang membedakan hanyalah bentuk pemilihannya. Kalau Pemilu digunakan untuk memilih kepala negara yang baru, sedangkan Pilkada adalah memilih kepala daerah yang baru. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah rakyat akan menggunakan hak pilihnya, apabila "sang Politikus" tidak memberikan "iming-iming" atau yang lainnya?
Jawabannya, tentu saja tidak. Pastinya, dan tidak diragukan lagi, langkah awal yang digunakan oleh politikus adalah harus mampu mengambil hati masyarakat demi memuluskan jalanny, agar dia mampu menduduki kursi yang diinginkanya di pemerintahan, dalam hal ini adalah untuk menjadi Gubernur, Walikota, Bupati dan lainnya
Dalamberbagaikesempatan, propaganda sangatdiperlukan.Tidakhanyadalampemilu, dalamkehidupansehari-hari pun propaganda takkalahpentingnya.Untukmendapatkanapa yang kitainginkansalahsatucarauntukmewujudkannyadenganmenggunakanpraktek propaganda agar yang kitainginkandapatterpenuhi.
Sebagaikomunikasisatukebanyak orang (one-to-many), propaganda memisahkankomunikatordarikomunikannya.NamunmenurutEllul, komunikatordalam propaganda sebenarnyamerupakanwakildariorganisasi yang berusahamelakukanpengontrolanterhadapmasyarakatkomunikannya.Sehinggadapatdisimpulkan, komunikatordalam propaganda adalahseorang yang ahlidalamteknikpenguasaanataukontrolsosial.Denganberbagaimacamteknis, setiappenguasanegaraatau yang bercita-citamenjadipenguasanegaraharusmempergunakan propaganda sebagaisuatumekanismealatkontrol social.
Sikap PA terhadap fenomena tersebut, setidaknya telah merubah paradigm, baik secara internal maupun masyarakat secara luas. Proses pemecatan karena adanya perbedaan pendapat juga mencerminkan suatu dekandensi demokrasi dalam partai tersebut. Demikian juga, harapan masyarakat yang begitu besar terhadap partai ini sebagai agent of change menuju Aceh yang lebih makmur dan sejahtera dalam masa perdamaian ini perlahan pupus oleh kebijakan yang kurang bijak.
Sebenarnya sikap yang resisten tersebut secara tidak langsung telah melemahkan posisi tawar partai dalam pemilu ke depan. Karena kadar politik (political laverage) tidak saja diukur dari keberhasilannya dalam mewujudkan kemenangan mayoritas di parlemen, melainkan kadar keterorganisasian (organizational leverage) dari partai politik dalam menampung dan mewujudkan berbagai aspirasi masyarakat, tidak terbatas pada aspirasi politik. Ada hak-hak warga/rakyat yang mestinya diperjuangkan secara parallel, bukan hanya aspirasi dewan dan sektoral semata MenjelangPilkada Aceh 2011, parapengincarkekuasaanmemangharusmampumenariksimpatipublikdenganproduk-produkpolitik yang merekatawarkandancitra yang merekabangun. Yang harusmerekatunjukkanadalahcara-cara yang baik yang bisa di contoholehpublik, bukandengancarapaksaan yang justrumembuat public tertekan. Tapidengancarabujukrayu yang manis (persuasif) untukmempengaruhiopini public danmencaritempat di hatimasyarakat. Tentunyabukandenganbujukrayuberselimutkebohongan.
MenjelangpilkadaAceh 2011, kemampuanberkomunikasiharus di milikisetiap orang yang inginikutterlibatbaiksebagaipesertamaupunkonstituen.Upaya-upayakomunikasi yang bersifatpaksaantampaknyaharusdibuangjauh-jauhdalammelakukanpendekatan.Jikacarakoersifsudahtidakdipakai, makacarapersuasif yang bersifatlembutuntukmempengaruhi target denganbujukanharusdipertimbangkan. Cara sepertiiniadalahcara yang tidakmembuat target tertekansehinggaiaakanmudahluluh. Namun, di era sepertiini, dimanaintelektualitasmasyarakatsudahberkembangpesat, mungkinkahcarapersuasifefektifmengingatkepercayaanpublikakanpolitikuspenebarpesonakianmemudarkarenaseringdiberijanji-janjipalsu.
Propaganda yang dilakukanmenjelangpemilumendatangdiharapkanbentuk propaganda-propaganda yang sehat, tanpa harus menggunakan teknik propaganda yang akan merugikan orang lain, ataulawandaribakalcalonpemimpindaerah (Gubernur / WakilGubernur, Bupati / WakilBupatidanWali Kota / WakilWali Kota ). Calon yang nantinya akan terpilih, akan kuat legitimasinya karena dipilih langsung oleh rakyat, sehingga diharapkan dapat tercipta stabilitas politik dalam pemerintahan daerah.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

Kamis, 11 Agustus 2011

ETIKA KOMUNIKASI

PROSES KOMUNIKASI
Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari Bahasa Latin “communicatus” yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”.Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.Menurut Webster New Collogiate Dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. Berikut ini adalah bebarapa definsi tentang ilmu komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :Hovland, Janis & Kelley Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak.Berelson & Steiner Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain.
Harold Lasswell Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa” “mengatakan “apa” “dengan saluran apa”, “kepada siapa” , dan “dengan akibat apa” atau “hasil apa”.(who says what in which channel to whom and with what effect).
Barnlund Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego.
Weaver Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya.
Gode Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.
Dari berbagai definisi tentang ilmu komunikasi tersebut di atas, terlihat bahwa para ahli memberikan definisinya sesuai dengan sudut pandangnya dalamelihat komunikasi. Masing-masing memberikan penekanan arti, ruang lingkup, dan konteks yang berbeda.Hal ini menunjukkan bahwa, ilmu komunikasi sebagai bagian dari ilmu sosial adalah suatu ilmu yang bersifat multi-disipliner. Definisi Hovland Cs, memberikan penekanan bahwa tujuan komunikasi adalah mengubah atau membentuk perilaku.Definisi Berelson dan Steiner, menekankan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian, yaitu penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain.Definisi Lasswell, secara eksplisit dan kronologis menjelaskan tentang
lima komponen yang terlibat dalam komunikasi, yaitu :- siapa (pelaku komunikasi pertama yang mempunyai inisiatif atau sumber.- mengatakan apa ( isi informasi yang disampaikan)
- kepada siapa (pelaku komunikasi lainnya yang dijadikan sasaran penerima)
- melalui saluran apa (alat/saluran penyampaian informasi)
- dengan akibat/hasil apa (hasil yang terjadi –pada diri penerima)
Definisi Lasswell ini juga menunjukkan bahwa komunikasi itu adalah suatu upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan. Definisi Gode, memberi penekanan pada proses penularanpemilikan, yaitu dari yang semula (sebelum komunikasi) hanya dimiliki oleh satu orang kemudian setelah komunikasi menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.Definisi Barnlund, menekankan pada tujuan komunikasi, yaitu untuk mengurangi ketidakpastian, sebagai dasar bertindak efektif, dan untuk mempertahankan atau memperkuat ego.
Berdasarkan definisi-definisi tentang komunikasi tersebut di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa komunikasi mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut
Komunikasi adalah suatu proses Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.
Komunikasi adalah suatu upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan. Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja, serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.
Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat kegiatan komunikasi akan berlangsung baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang samaterhadap topik pesan yang disampaikan.
Komunikasi bersifat simbolis Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang paling umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah bahasaverbal dalam bentuk kata-kata, kalimat, angka-angka atau tanda-tanda lainnya.
Komunikasi bersifat transaksional Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan, yaitu memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau porsional.
Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu Maksudnya adalah bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, internet, faximili, dan lain-lain, faktor ruang dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam berkomunikasi.
Tingkatan Proses Komunikasi
Menurut Denis McQuail, secara umum kegiatan/proses komunikasi dalam masyarakat berlangsung dalam 6 tingkatan sebagai berikut :
Komunikasi intra-pribadi (intrapersonal communication Yakni proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang, berupa pengolahan informasi melalui pancaindra dan sistem syaraf.Contoh : berpikir, merenung, menggambar, menulis sesuatu, dll.
Komunikasi antar-pribadi Yakni kegiatan komunikasi yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan orang lainnya.Misalnya percakapan tatap muka, korespondensi, percakapan melalui telepon, dsbnya.
Komunikasi dalam kelompok Yakni kegiatan komunikasi yang berlangsung di antara suatu kelompok. Pada tingkatan ini, setiap individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam kelompok. Pesan atau informasi yang disampaikan juga menyangkut kepentingan seluruh anggota kelompok, bukan bersifat pribadi.Misalnya, ngobrol-ngobrol antara ayah, ibu, dan anak dalam keluarga, diskusi guru dan murid di kelas tentang topik bahasan, dsbnya.
Komunikasi antar-kelompok/asosiasi Yakni kegiatan komunikasi yang berlangsung antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Jumlah pelaku yang terlibat boleh jadi hanya dua atau beberapa orang, tetapi masing-masing membawa peran dan kedudukannya sebagai wakil dari kelompok/asosiasinya masing-masing.
Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi mencakup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi antar organisasi.Bedanya dengan komunikasi kelompok adalah bahwa sifat organisasi organisasi lebih formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam melakukan kegiatan komunikasinya.
Komunikasi dengan masyarakat secara luas Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat luas. Bentuk kegiatan komunikasinya dapat dilakukan melalui dua cara :Komunikasi massa Yaitu komunikasi melalui media massa seperti radio, surat kabar, TV, dsbnya.Langsung atau tanpa melalui media massa Misalnya ceramah, atau pidato di lapangan terbuka.


Proses komunikasi Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut.
1. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.
2. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.
Media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan.
1. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri.
2. Komunikan (receiver) memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.
Bagaimana Komunikasi Mendapat Efek
Dalam keseharian tak jarang kita melihat seoran pembicara yang tidak mendapatkan perhatian dari pendengarnya selaku lawan bicaranya. Di lingkungan sekolah misalnya seorang tenaga pengajar (guru) yang tidak diperhatikan oleh siswanya, dalam sebuah seminar seorang pemateri yang tengah bersilat lidah namun peserta seminar asyik dengan perbincangan masing-masing, ataupun seorang penceramah di masjid. Pada kondisi demikian, kesalahan bukan pada komunikan melainkan terletak pada komunikator meskipun tidak sepenuhnya.
Hal terpenting yang harus diketahui oleh seorang komunikator sebelum memulai berkomunikasi adalah “Know your audience”. Mengetahui objek sasaran merupakan sau kunci sukses seorang komunikator dalam berkomunikasi karena berangkat dari pengeahuan itu seorang komunikator dapat menentukan pilihan bahasa yang tepat agar mudan dimengerti dan bagaimana seorang komunikator harus bersikap.
Berikut penggambaran secara sederhana “the condition of success in communication” (kondisi suksesnya komunikasi), yakni kondisi-kondisi yang harus dipenuhi jika menginginkan suatu pesan mendapat tanggapan yang diinginkan. Kondisi-kondisi yag dimaksud adalah :
- Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud. Dalam hal ini, komunikator harus memperhatikan waktu, tempat, intonasi suara dan bahasa tubuh yang mendukung.
- Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga sama-sama dapat dimengerti.
- Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhannya itu. Terkait dengan sebuah promosi misalnya tentang jasa penerbangan apa yang harus digunakan dan dimana informasi serta tiketnya dapat diperoleh.
- Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok dimana sasaran berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. Bagian ke empat ini erat kaitannya dengan pola-pola pengertian, sikap, nilai-nilai social dan budaya yang kita anut.
Kunci keberhasilan yang utama suatu komunikasi terletak pada komunikatornya. Menurut Aristoteels, seorang komunikator harus memiliki tiga aspek: pertama, kepercayaan (credibility), Kredibilitas diartikan sebagai kepercayaan yang dibangun oleh seperangkat persepsi tentang kelebihan yang dimiliki komunikator. Credibilitas diperoleh melalui karakter komunikator (ethos), kekuatan mengendalikan emosi (pathos), dan kekuatan logika dalam berargumentasi (logos). Kedua, daya tarik (attractiveness) yang muncul dari fisik, karena disukai (Liking) dan karna dikenal baik Sementara daya tarik.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

TV SEBAGAI ASOSIASI DALAM RANAH MASYARAKAT

TV SEBAGAI ASOSIASI DALAM RANAH MASYARAKAT DALAM MENGUSAI PASAR
Televisi bukanlah teknologi ciptaan bangsa Indonesia. Teknologi ini ditemukan di peradaban bangsa Eropa. Teknologi ini berkembang di awal abad 19 di Prancis melalui kamera. Setelah teknologi kamera ditemukan maka berkembanglah teknologi baru yaitu pembuatan film dan sinema lalu kemudian berkembang menjadi televisi.
Industri televisi sendiri saat ini juga lebih dikenal dengan istilah broadcasting atau penyiaran. Perlu disadari juga bahwa industri ini telambat masuk ke Indonesia. Sekitar tahun 1930-an Belanda sebenarnya sudah menjual televisi mereka yang pertama. Namun sekitar tahun tersebut Indonesia masih belum bebas dari jerat penjajahan. Kondisi tersebut mungkin yang menyebabkan Indonesia terlambat untuk menerima kehadiran teknologi baru, yaitu televisi.
Era teknologi media bangsa ini diawali dengan era media cetak dan radio. Pers dan radio berkembang pesat di Indonesia pada masa itu dan memang menjadi salah satu alat perjuangan bangsa ini dalam mencapai kemerdekaan. Era media cetak di Indonesia diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke 17 lewat tulisan berita singkat mengenai keadaan Eropa. Sedangkan radio sendiri menjadi saksi atas dibacakannya teks Proklamasi pada tahun 1945. Teknologi radio diperkenalkan kepada bangsa ini pada saat penjajahan Jepang dan digunakan sebagai alat propaganda oleh Jepang untuk kepentingan Perang Dunia II.
Perkembangan tv di di indonesia.
Masa Orde Lama
Pada tahun 1962 menjadi tonggak pertelevisian Nasional Indonesia dengan berdiri dan beroperasinya TVRI. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat strategis pemerintah dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiatan sosial hingga kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa decade TVRI memegang monopoli penyiaran di Indonesia, dan menjadi “ corong “ pemerintah. Sejak awal keberadaan TVRI, siaran berita menjadi salah satu andalan. Bahkan Dunia dalam Berita dan Berita Nasional ditayangkan pada jam utama.
Siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962 bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII. Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 waktu Indonesia bagian barat untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara. Televisi Republik Indonesia (TVRI) baru melaksanakan siaran secara kontinyu 24 Agustus 1962. Liputan perdananya adalah upacara pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Saat ini siaran televisi di Indonesia telah dapat menjangkau di duapuluh tujuh propinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa (yang mampu pula
menjangkau wilayah Asean).
Pada awalnya, persetujuan untuk mendirikan televisi hanya dari telegram pendek Presiden Soekarno ketika sedang melawat ke Wina, 23 Oktober 1961. Saat itu tentunya bangsa ini belum melek teknologi. Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, bahkan acara yang di tayangkan pun tidaklah variatif. Terlebih bangsa ini belum familiar terhadap barang ini dan kepemilikan televisi saat itu berbeda dengan saat ini. tidak semua orang bisa memiliki televisi. Di era ini regulasi penyiaran dikeluarkan melalui Menteri Penerangan dengan SK Menpen No. 20/SKM/1961 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) dan Kepres No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan PU Presiden RI.
Masa Orde Baru
Tahun 1974 posisi TVRI diubah menjadi salah satu bagian organisasi dari Departemen Penerangan. Status TVRI menjadi Direktorat dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jendral Radio, TV dan Film Departemen Penerangan RI. Televisi bertugas menginformasikan dan mendukung penuh usaha pembangunan era itu. Tahun 1975 dikeluarkan SK Menpen No. 55 Bahan Siaran/KEP/Menpen/1975. dengan demikian status TVRI menjadi ganda yaitu sebagai yayasan dan direktorat dan dalam manajemen diterapkan manajemen birokrasi.
Tahun 1987, monopoli TVRI akhirnya roboh dengan dikeluarkannya SK Menpen No. 190A/KEP/MENPEN/1987. SK ini menunjukkan bahwa TVRI diberi hak untuk menyelenggarakan SSU (Siaran Saluran Umum) dan SST (Siaran Saluran Terbatas). SSU adalah siaran yang bisa ditangkap oleh televisi biasa, sedangkan SST memerlukan alat khusus dan hanya dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Pihak swasta yang boleh mengisi SST pada waktu itu adalah RCTI. RCTI dan TVRI bekerjasama dan menandatangani perjanjian 12,5% pendapatan iklan dari siaran RCTI adalah milik TVRI. Akhirnya 1 Maret 1989 RCTI mengudara dan menyediakan 70.000 dekorder sebagai alat untuk menyaksikan SST milik RCTI.

Tahun 1990 RCTI menjadi SPTSU (Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum), yang boleh siaran tanpa batas. Menyusul 1 Agustus 1990 SCTV menyusul menjadi SPSTU tanpa perlu dekorder seperti RCTI. Menyusul TPI sebagai stasiun televisi milik keluarga Cendana diresmikan tanggal 23 Januari 1991 sebagai televisi pendidikan. Lalu pada 30 Januari 1993 berdiri ANTV serta tanggal 18 Juni 1994 berdiri INDOSIAR. Kesemua stasiun tersebut berdiri sebagai SPSTU.
masa Reformasi
Era ini dikejutkan dengan ditutupnya Departemen Penerangan oleh presiden Abdurachman Wahid, yang mengakibatkan status TVRI menjadi tidak jelas. Kemudian pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 2000 tentang status TVRI menjadi Perjan yang berada dan bertanggung jawab pada Departemen Keuangan RI. Tak lama kemudian muncul lagi PP No. 9 Tahun 2002 yang mengubah status TVRI menjadi PT. Ini menempatkan posisi TVRI menjadi dibawah pengawasan Departemen Keuangan RI dan Kantor Menteri Negara BUMN. Desember 2002 keluar UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dalam salah satu poinnya menjelaskan TVRI sebagai TV Publik.

Hingga tahun 2002 muncul banyak stasisun televise seperti MetroTV, Lativi, TV7 dan Global TV. Kemudian muncul juga TV Lokal seperti Bali TV, Jogja TV, TATV, Jawa Pos TV, Riau TV, dan lain-lain. Hingga kini muncul 11 stasiun televisi yaitu RCTI, MNC TV (TPI), Global TV, TV One, ANTV, Trans TV, Trans 7, Indosiar, SCTV, Metro TV, dan TVRI.
Saat ini UU Penyiaran yang dipakai adalah UU No. 32 Tahun 2002. UU ini mengatur perihal penyelenggaraan penyiaran seperti KPI, jasa penyiaran, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran berlangganan, lembaga penyiaran asing, stasiun dan wilayah jangkauan, teknis penyiaran, perizinan, dan lain-lain. Selain lembaga yang berwenang mengawasi jalannya UU tersebut adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan LSF (Lembaga Sensor Film).
Sedangkan regulasi diluar regulasi negara diatur oleh asosiasi-asosiasi televisi. Mereka membuat kode etik berkenaan content product dan regulasi mengenai persaingan. Tujuannya agar tercipta persaingan sehat diantara perusahaan media, terutama TV.
Hadirnya arus globalisasi ditengah-tengah masyarakat kita telah membawa dampak besar terhadap keberadaan kebudayaan setempat. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya, disebabkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang konon katanya lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat. Sebuah istilah ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop”, di mana dalam pengaktualisasiannya telah mendapat dukungan dari penggunaan perangkat berteknologi tinggi ini, sehingga dalam penyebarannya begitu cepat dan mengena serta mendapat respon sebagian besar kalangan masyarakat. Dalam memperbincangkan dan mewacanakan ”Budaya Populer”, selalu dihadapkan pada intepretasi multi persepsi hingga menimbulkan penafsiran yang beragam. Suatu penafsiran yang terbanyak diungkap di berbagai wacana mengenai definisi budaya populer tersebut adalah sebuah budaya ataupun produk budaya yang disukai dan disenangi oleh masyarakat. Budaya populer sering dianggap sebagai suatu kebudayaan instan yang cenderung melawan “suatu proses”, sehingga golongan masyarakat yang bersebrangan dengannya, mengagap sebagai budaya dengan peradaban dangkal pemikiran, tanpa nilai, makna kabur, cari sensasi, berperilaku rusak dan masyarakatnya berjiwa konsumtif dan hedonis.
Dalam perspektif industri budaya, “bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media” (Sunarti 2003). Hal ini dianggap bahwa Media telah memproduksi segala macam jenis produk budaya populer yang dipengaruhi oleh budaya impor dan hasilnya telah disebarluaskan melalui jaringan global media hingga masyarakat tanpa sadar telah menyerapnya. Dampak dari hal itu, menyebabkan lahirlah perilaku yang cenderung mengundang sejuta tanya, karena hadirnya budaya populer di tengah masyarakat kita, tak lepas dari induknya yaitu media yang telah melahirkan dan membesarkannya. Media dalam menjalankan fungsinya, selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai institusi pencipta dan pengendali pasar produk komoditas dalam suatu lingkungan masyarakat. Dalam operasionalisasinya, media selalu menanamkan ideologinya pada setiap produk hingga obyek sasaran terprovokasi dengan propaganda yang tersembunyi di balik tayangannya itu. Akibatnya, jenis produk dan dalam situasi apapun yang diproduksi dan disebarluaskan oleh suatu media, akan diserap oleh publik sebagai suatu produk kebudayaan, dan hal ini berimplikasi pada proses terjadinya interaksi antara media dan masyarakat. Kejadian ini berlangsung secara terus menerus hingga melahirkan suatu kebudayaan berikutnya. Kebudayaan populer akan terus melahirkan dan menampilkan sesuatu bentuk budaya baru, selama peradaban manusia terus bertransformasi dengan lingkungannya mengikuti putaran jaman
Dampak siaran televisi yang dilansir secara gencar dengan model Budaya Populer lewat keragaman tayangannya, akan membentuk pradigma dan gaya hidup masyarakat dengan perilaku yang mengusung kecenderungan berjiwa materialis dan hedonis dalam lingkunganmasyarakat kapitalis.
Asosiasi Industri Media Televisi
Media bagaimanapun juga adalah sebuah institusi ekonomi. Sebuah institusi ekonomi dalam era globalisasi tidaklah mungkin berdiri sendiri atau memiliki single market, kecuali apabila memang lembaga tersebut milik Negara. Layaknya sebuah institusi ekonomi, media juga memiliki jaringan serta asosiasi untuk mengawasi persaingan juga turut membangun jaringan agar menjadi wadah komunikasi bersama berkaitan dengan kepentingan media tersebut.
Televisi yang merupakan salah satu media massa juga memiliki asosiasi serta jaringan bersama masyarakat dan pemerintah. Asosiasi menjadi penting bagi industri media seperti televisi karena dengan adanya asosiasi maka hak-hak usaha akan dilindungi. Selain itu jaringan serta pengawasan dari masyarakat dan pemerintah akan mewujudkan suatu keadaan yang harmonis dimana mereka dapat juga melindungi kepentingan masyarakat dan Negara.
Di Indonesia sendiri sudah ada asosiasi untuk televisi nasional swasta. Sedangkan jaringan masyarakat yang peduli media sendiri juga sudah ada namun jumlahnya masih sangat sedikit. Sedangkan lembaga independen yang mengawasi media televisi juga sudah ada dan dibentuk oleh pemerintah.
Ada beberapa asosiasi industri televisi jaringan masyakat yaitu:
A.ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia)
ATVSI berusaha menumbuhkembangkan industri televisi swasta juga sekaligus ikut menumbuhkembangkan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Sebagai wadah kepentingan bersama anggota, ATVSI antara lain berperan aktif dalam berbagai isu regulasi maupun peraturan perundang-undangan penyiaran. Peran aktif ini dilakukan untuk memastikan regulasi maupun peraturan perundang-undangan penyiaran kondusif bagi pertumbuhkembangan industri penyiaran Indonesia. Sebagai penghubung dengan stakeholders penyiaran, ATVSI antara lain aktif dalam berbagai forum masyarakat yang membahas, mendiskusikan bahkan mengkritisi isi siaran televisi. Dan komunikasi yang aktif juga dilakukan dengan regulator penyiaran dan yang terkait dengan penyiaran. Hal ini sebagai bagian dari upaya agar isi siaran anggota ATVSI lebih berkualitas dan melahirkan nilai nilai positif bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
ATVSI didirikan pada tanggal 4 Agustus 2000 dengan pendirinya adalah RCTI, SCTV, TPI, Indosiar , ANTV. Kini ATVSI memiliki 10 anggota yaitu RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, Trans TV, Antv, Global TV, Metro TV, Trans 7 dan TV One. Kesepuluh anggota ini menyelenggarakan siaran secara nasional. Sebagai asosiasi ATVSI memiliki Visi yaitu memajukan industri televisi siaran Indonesia dan Misi yaitu memajukan, menampung, menyalurkan kepentingan dan keinginan bersama dalam mengembangkan etika perilaku, tanggung jawab profesional dan pelayanan bagi anggotanya demi kepentingan masyarakat.
B.Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia
Mengembangkan lembaga penyiaran televisi yang memiliki ciri keberagaman pemilik (diversity of ownership) dan keberagaman isi siaran (diversity of content) sebagai wujud tercapainya kebijakan otonomi daerah dan regulasi kebebasan pers di Indonesia.

a.Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia
Pada tanggal 30 Mei 2o07, Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV IKJ) menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Perkembangan TV Komunitas di Indonesia. Forum diskusi yang didukung oleh Depkominfo RI tersebut menelorkan adanya gagasan untuk memberikan advokasi bagi keberadaan televisi komunitas di Indonesia.
Pasca kegiatan seminar tersebut, bertempat di Grabag TV, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah bulan September 2007 diselenggarakan Workshop dan pertemuan televisi komunitas. Kegiatan tersebut didukung oleh Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Forum pertemuan tersebut juga menghasilkan terbentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Televisi Komunitas yang bertugas untuk: 1) menyiapkan kelembagaan asosiasi televisi komunitas se-Indonesia, 2) memberikan penguatan kapasitas bagi pengelola televisi komunitas, 3) memberikan advokasi bagi lembaga penyiaran televisi komunitas dan 4) membangun jaringan bagi televisi komunitas. Anggota Kelompok Kerja ini berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari berbagai unsur dari lembaga penyiaran televisi komunitas, akademik, dan LSM.
Pada bulan Desember 2007, Kelompok Kerja TV komunitas bekerjasama dengan Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, menyelenggarakan seminar dan workshop tentang masa depan televisi komunitas di Indonesia. Kegiatan ini juga didukung oleh Combine Resource Institution Yogyakarta, FFTV Institut Kesenian Jakarta, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Yogyakarta, dan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam kegiatan tersebut didiskusikan tentang bagaimana latar belakang keberadaan televisi komunitas, regulasi bagi televisi komunitas dan sharing pengetahuan tentang televisi komunitas serta upaya membangun jaringan kerjasama bagi pengembangan televisi komunitas di Indonesia.
Sesuai dengan amanat yang diemban oleh kelompok kerja (Pokja) TV komunitas pasca pertemuan di Grabag-Magelang, Pokja TV komunitas menyiapkan konsep kelembagaan bagi asosiasi televisi komunitas se-Indonesia dan menyelenggarakan Temu Nasional Televisi Komunitas Se-Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 17-20 Mei 2008 di Grabag, Magelang. Kegiatan tersebut didukung oleh Yayasan Tifa Jakarta, FFTF IKJ, Combine Resource Institution,
Rumah Pelangi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Temu Nasional TV komunitas diikuti oleh berbagai pengelola televisi komunitas baik yang berbasis geografis/warga, televisi komunitas berbasis kampus dan berbagai pengelola TV Edukasi yang berada di SMK-SMK baik swasta maupun negeri, serta para aktivis penyiaran dan pegiat media komunitas dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dan akademisi.
Pada tanggal 20 Mei 2008, Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI) dideklarasikan dengan struktur kelembagaan berupa Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus ATVKI. Semua peserta dan sejumlah tokoh menandatangai naskah deklarasi asosiasi televisi komunitas Indonesia. Selanjutnya Dewan Pengurus ATVKI akan menentukan Direktur Eksekutif ATVKI yang bertugas menjalankan roda organisasi dalam kesehariannya untuk mencapai visi dan misi organisasi yang telah dirumuskan bersama dalam Temu Nasional Televisi Komunitas se-Indonesia.
b.Asosiasi Televisi Lokal Indonesia
Asosiasi televise local indonesia atau ATVLI didirikan sebagai wadah berkumpulnya stasiun-stasiun televisi lokal di Indonesia guna memperjuangkan kepentingan para anggotanya dan kepentingan masyarakat local.
Pengaturan TV dan Model Kekuasaan Pasar
Kita sejauh ini telah melihat pertanyaan umum dari mode produksi kapitalis sebagai faktor penentu struktural dan cara di mana “tangan tersembunyi” –nya Adam Smith bekerja untuk membangun (menstrukturkan) seluruh distribusi sumber-sumber sosial untuk dan semua sektor komunikasi. Tapi memberikan sistem yang lebih luas ini kita juga perlu menganalisa bagaimana dan mengapa agen ekonomi berbuat sebagaimana yang mereka lakukan dan dengan hasil apa. Untuk memahami bagaimana proses persaingan pasar kapitalis bekerja, dan alasan-alasan yang terdapat baik pada strategi perusahaan maupun intervensi pengaturan publik, kita perlu menggambarkan tidak hanya tentang model marginalis neo-klasik yang masih dominan pada persaingan pasar, tapi juga tentang pengertian terhadap kelembagaan ekonomi dan ekonomi industrial.
Ada dua cara di mana Anda dapat melihat operasi dari sebuah sistem ekonomi: sebagai sebuah pasar atau rangkaian pasar-pasar yang di dalamnya agen-agen yang bersaing saling berinteraksi, atau sebagai rangkaian sistem produksi konkrit. Sementara perspektif ini, tanpa sarana yang diperlukan, adalah tidak cocok – sesunguhnya mereka adalah kombinasi baru dalam kebanyakan analisis pengaturan – mereka menekankan problem-problem yang berbeda dari kekuasaan ekonomi, hambatan struktural yang berbeda dan berbagai jenis yang berbeda dari aktor strategis. Perspektif yang terdahulu berfokus pada persaingan antara modal, pada aliran keuangan, dan maksimalisasi keuntungan, yang kemudian tentang koordinasi bahan mentah, teknologi produktif dan tenaga kerja untuk menghasilkan komoditi dngan spesifikasi properti tertentu untuk mencapai permintaan pasar teretentu dalam rangka efisiensi.
Pasar Media
Apapun pro dan kontra tentang pasar sebagai suatu mekanisme umum untuk koordinasi sosial dan pembangunan ekonomi media menawarkan tantangan terhadap neo-klasik, model marginalis tentang bagaimana pasar diperkirakan bekerja yang berasal dari karakteristik khusus dalam sebuah pasar informasi atau komunikasi. Tantangan ini sekarang adalah sentral pemikiran, tidak hanya tentang bagaimana media diorganisasikan, bagaimana mereka dikembangkan dan bagaimana, jika pada keseluruhannya, mereka harus diatur. Hal ini adalah juga krusial dalam memikirkan tentang masa depan ekonomi secara umum, khususnya karena mereka yang berargumen bahwa kita berada dalam transisi ke arah sebuah ekonomi informasi, dan sebuah masyarakat informasi yang berdasarkan atasnya, membuktikan bahwa apa yang selalu menjadi karakteristik sektor media ekonomi – produksi komoditi immaterial – sekarang mencirikan produksi umum dari barang dan jasa melalui ekonomi sebagai suatu keseluruhan.
Untuk memahami apa yang menjadi pokok masalah, kita perlu melihat pertama pada asumsi dasar yang terdapat pada model pasar neo-klasik. Hal ini berdasarkan atas agen-agen ekonomi yang sepenuhnya rasional yang mengejar maksimalisasi manfaat atas pasar, di mana tidak ada agen-agen yang cukup sangat berkuasa untuk menentukan harga faktor produksi maupun harga-harga pasar yang jelas dari komoditi, di mana konsumen mempunyai sebuah pilihan atas manfaat-manfaat yang dapat disubstitusikan. (digantikan), dan di mana masuk atau keluar pasar adalah bebas biaya, di mana biaya produksi dapat dilewatkan secara proporsional kepada konsumen, yaitu biaya adalah ditangkap di dalam harga, dalam terminologi para ahli ekonomi, tidak ada externalities dan tidak ada penumpang gelap (freeloaders). Ketika pasar-pasar tersebut beroperasi itu akan menjamin alokasi yang paling effisien atas sumber-sumber produksi. Tidak ada sumber-sumber dicurahkan untuk memproduksi sesuatu yang tak diinginkan oleh seorang pun, pada harga yang mereka tidak dapat capai, dan saham output kepada para produser yang akan mencerminkan usaha minimum yang dibutuhkan untuk memproduksi output tersebut dan tidak akan termasuk sebuah sewa yang tak pada tempatnya yang diperas dari para konsumen. Karena perusahaan-perusahaan yang bersaing menghadapi para konsumen yang bersaing, maka tidak ada monopoli (penjual tunggal) dan juda tidak ada monopsony (pembeli/pembayar tunggal), para produser yang paling effisienlah yang akan bertahan hidup dan modal akan dialihkan kepada yang paling menguntungkan, karena yangb paling effisien, perusahaan atau sektor atau ke dalam pasar-pasar baru yang belum jenuh – di mana permintaan dapat diciptakan atau di mana permintaan belum sepenuhnya dipuaskan pada biaya terendah yang mungkin.
Model pasar seperti ini menghasilkan kurva permintaan dan suplai yang terkenal. Ketika produksi sebuah produk baru dimulai, itu membutuhkan biaya tetap yang relatif tinggi – biaya minimum untuk masuk pasar, yaitu bahwa biaya produksi real pada unit pertama produksi adalah tinggi dan secara umum oleh karena itu produk dijual di bawah biaya produksinya. Keuntungan adalah tergantung dari pencapaian jalannya produksi dari ukuran yang diberikan, yang di atasnya disebarkan biaya overhead tetap dan maka di atas suatu tingkatan yang ada pada penetrasi pasar. Di sisi lain dari sebuah koin, diasumsikan bahwa untuk setiap produk yang ada, permintaan akan relatif rendah pada harga (biaya) yang tinggi, tapi bahwa permintaan itu akan bertambah karena harganya menjadi turun sampai pada suatu titik di mana permintaan menjadi jenuh dan tidak ada lagi unit produksi yang akan terjual pada harga berapapun. Kunci neo-klasikal, model marginalis adalah bahwa keputusan produksi krusial dan konsumsi adalah di buat pada margin. Produksi berhenti membesar pada titik di mana biaya produksi dari sebuah unit ekstra melebihi penghasilan/pendapatan yang dapat diturunkan dari sebuah penjualan ekstra. Dengan batas margin inilah tattonment bahwa suplai dan permintaan adalah terjaga dalam keseimbangan yang keras melaui waktu, dan lalu ekonomi berjalan dekat pada effisiensi maksimumnya. Adalah penting dicatat bahwa inilah model untuk menjelaskan perilakuk strategis dari para produser dan para konsumen. Tidak lain ini adalah mengatakan satu cara atau lainnya tentang distribusi atau alokasi surplus, kecuali sejauh karena tenaga kerja adalah termasuk di dalam model sebagai suatu faktor produksi, pekerjaan yang tergantung pada produktifitas marginalnya – harga yang didapat untuk unit terakhir dari produksi yang dibuat oleh pekerja terakhir yang dibayar – dan atas biaya relatif dari investasi modal dalam permesinan versus biaya membayar upah pekerja. Di dalam model ini tingkatan upah/gaji dan lalu distribusi surplus adalah ditentukan oleh harga pasar yang jelas untuk tenaga kerja.
Adalah penting untuk memahami garis besar mendasar dari model marginalis neo-klasik ini, karena ini adalah pondasi yang di atasnya pengertian asumsi yang paling umum didasarkan, tentang bagaimana pasar secara umum dan pasar-pasar media dan informasi pada khususnya bekerja dan maka perdebatan tentang apa yang diinginkan mereka atau sebaliknya dan kebutuhan untuk pengaturan mereka atau sebaliknya.
Model Pasar dan Kritik Terhadapnya
Untuk memahami kritik umum yang dapat dibuat dari model seperti ini dan kemudian kritik yang lebih memahami apakah yang menjadi isue dalam perdebatan tersebut kita perlu pertama-tama spesifik tentang kemampuan penerapannya terhadap pasar informasi dan komunikasi.
Kritik pertama yang paling krusial, dengan kepentingan yang khusus, sebagaimana yang akan kita lihat, bagi komunikasi, adalah bahwa asumsi rasional, agen-agen ekonomi yang sepenuhnya terinformasi adalah tidak diketemukan. Di dalam dunia nyata, informasi adalah bukan barang yang gratis (bebas biaya), dan untuk alasan inilah biaya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan ekonomi dan problem akses yang berbeda kepada informasi tersebut perlu menjadi unsur (faktor) dalam model tersebut. Dari perspektif tersebut pemilikan barang langka dengan pembatasan informasi yang berbiaya dapat menyediakan keuntungan/keunggulan kompetitif yang tidak mudah dikuasai. Sebagai contoh, British Telecom mempunyai informasi tentang pelanggan dan penggunaan telepon mereka dan BskyB tentang langganan layanan satelit yang tidak tersedia bagi pesaing potesialnya. Setiap pemegang jabatan di dalam sebuah pasar akan cenderung untuk memiliki informasi tentang biaya operasi atau mungkin punya hubungan kontraktual istimewa dengan suplier (pemasok) potensial, ketidaktahuan yang memunculkan resiko pada jalan masuk ke pasar yang kompetitif. Untuk alasan ini pulalah bahwa mungkin lebih rasional bagi sebuah perusahaan untuk melindungi dan mempertinggi bagian sahamnya pada suatu pasar yang ia sudah siap dan dikenalnya, tinimbang berusaha untuk memasuki suatu pasar yang ia tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentangnya. Faktor ini membuat struktur industri lebih menancap ketimbang yang teori neo-klasik telah asumsikan. Dari sisi permintaan konsumen tidak dapat menghasilkan membuat jejaring pilihan-pilihan yang tersedia. Keputusan pembelian aktual mereka adalah lebih seperti ditentukan – dan biaya informasi yang ada sangat rasional sehingga – dengan kebiasaan – melekat dengan setan yang anda ketahui – maka dengan kesetiaan terhadap merek, atau oleh iklan, di mana biaya pencarian adalah dipikul oleh para penjual bukan oleh para pembeli. Dalam teori murni para konsumen disarankan dihadapkan dengan rentang produk atau jasa yang dapat disubstitusi dan yang memungkinkan untuk membuat mudah menjualkan antara kualitas dan harga. Tapi dalam kenyataannya, sementara hal ini mungkin relatif mudah ketika membeli buah dalam sebuah pasar jalanan, pada kebanyakan transaksi hal ini tidak mudah. Sangat sulit untuk menilai ‘kualitas’ nyata dari suatu produk dibandingkan dengan yang lainnya, jika hanya bersifat marginal, karena mereka tidak dapat digantikan, dan dengan mengobok-obok air harga yang dapat dibanding-bandingkan dengan berbagai strategi penetapan harga.
Kedua, model mengasumsikan bahwa faktor produksi dan produk adalah homogen, sehingga peralihan investasi itu atau daya beli dari yang satu ke yang lainnya adalah relatif tanpa biaya atau tanpa gesekan. Namun lagi-lagi dunia nyata tidaklah begitu. Dari sisi produksi problem ini dialamatkan khususnya pada perspektif biaya tetap. Investasi modal kenyataannya berada dalam bentuk teknologi produksi yang spesifik atau tenaga kerja ahli yang tidak dapat dengan mudah dialihkan ke dalam bentuk lain dari produksi karena dan ketika tanda-tanda biaya marginal diketahui. Pabrik mungkin akan harus dihapuskan dan para pekerja ahli, yang dibangun sepanjang waktu, dapat hilang bersama-sama atau hilang bagi pesaing. Maka ada kelembaman jalan-ketergantungan di dalam sistem. Hal ini akan menjadi kepentingan strategis dari manajemen untuk menjalankan sebuah operasi paling tidak keuntungan maksimum ketimbang apa yang keluar bersama-sama, khususnya karena prosesnya mengambil tempat dalam waktu dan dalam kondisi rasionalitas yang terbelenggu. Mungkin dapat sangat rasional untuk menangguhkan hari yang jahat: pasar yang dapat membuat sebuah kemajuan; pesaing anda dapat keluar dari pasar sebelum anda melakukannya, dan seterusnya.
Ketiga, model mengasumsikan bahwa antara keputusan investasi dan keputusan pembelian adalah mempunyai ciri-ciri tersendiri – dalam terminologi ekonomi: divisble (dapat dibagi) – masing-masing keputusan dapat diambil secara terisolasi dalam cahaya informasi pasar yang kemudian tersedia. Hal ini mungkin benar mengenai bentuk-bentuk yang sangat sederhana dari produksi: ketika permintaan meningkatkan suatu pekerja ekstra yang keahliannya siap pakai; ketika di sana ada kecenderungan menurun, pekerja diberhentikan. Jika saya memutuskan untuk memuaskan kebutuhan makan saya hari ini dengan membeli sekerat roti, saya dapat dengan mudah memuaskan hal sama esok harinya, untuk alasan apapun, dengan membeli satu pack spaghetti. Tapi kebanyakan keputusan dalam sebuah ekonomi yang berkembang adalah bukan type itu. Dari point produksi dalam pandangan investasi adalah kental – apakah anda menanam modal dalam sebuah fasilitas produksi, katakanlah sebuah jaringan broadcasting (radio/TV), dan mengupah atau melatih para pekerja dengan keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankannya, atau anda tidak melakukannya, dan bahwa investasi hanya akan membayar pada tingkatan yang ada/diberikan oleh hasil bahkan jika permintaan pasar berfluktuasi di sekitarnya.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -