Kamis, 23 Juni 2011

Memahami Arti Salaf Secara Arif


Umat Islam jangan cepat tergoda dengan istilah baru. Meski maknanya bagus, tapi justru sering menyesatkan. Seperti istilah salaf yang banyak muncul kini.



Belakangan ini ada kesilap-pahaman dalam memahami makna salaf. Orang biasanya menyamakan dengan tasaluf, berlagak seperti salaf. Misalnya orang-orang yang berlagak mengikuti salaf dengan bersorban, berpakaian serba putih, berjenggot, dan beribadah dengan seketat-ketatnya dan semurni-murninya. Katanya mengikuti umat Islam generasi salaf terdahulu.

Kata salaf secara lughawi semakna dengan kata qobla yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini sering dilawankan dengan khalaf, yang berarti belakangan. Dalam perkembangannya makna Salaf menyempit untuk menyebut suatu babakan histories tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas kurun dan sesudahnya.

Menurut Dr. Muhammad Said Ramadan al-Buthi, otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam, yakni para Sahabat, Tabiin, dan Tabiit Tabiin. Pemahaman Muhammad Said Ramadan tersebut mungkin banyak diilhami oleh sabda Nabi, “Sebaik-baik kurun adalah masa saya, kemudian yang mengikutinya, lalu yang mengikutinya.

Pandangan seperti ini cukup mendasar. Soal perioda tersebut memang sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber otoritas doktrin-doktrin Islam yang kemudian dituangkan dalam AlQuran dan Hadits.

Sudah selayaknya jika generasi sahabat pendamping setia Nabi, lebih banyak mendengar langsung ajaran Islam dari beliau. Bahkan menyaksikan langsung segenap derap langkah dan grak-gerik Nabi, sehingga otoritas mereka tidak diragukan lagi. Hal serupa dapat pula kita temukan pada generasi tabiin, dan generasi Tabiit Tabiin.

Namun demikian, dalam perjalanan sejarahnya, umat Iskam terbelah dalam partai-partai politik atau firoq Al Islamiah. Ini mengarah pada munculnya sekte-sekte dalam teologi. Tragedi ini membawa dampak yang serius bagi karakteristik SALAf. Mau tidak mau fanatisme kelompok dan aliran menjadi pegangan masing-masing individu umat Islam.

Jelas, hal ini mematahkan kadar obyektivitas dan keutuhan mereka dalam menyikapi otoritas salaf. Dalam pandangan kelompok jumhur Ulama, yakni kalangan Sunni generasi Tabiit Tabiin dan para pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar