Kamis, 18 Agustus 2011

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH


Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)

Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.

READMORE -

Jumat, 12 Agustus 2011

Rangkuman Buku Sistem Sosial Indonesia (DR NASIKUN)


BAB 1
PENDAHULUAN
            Suatu pemahaman akan bahayanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten yang akan muncul lagi dan faktor-faktor apakah yang sebaliknya mengintregasikan masyarakat Indonesia yang memiliki kondisi-kondisi konflik? Hal inilah yang bisa menimbulkan minat penulis untuk menulis buku ini. Pada tingkat pertama minat tersebut berkeinginan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik sosial namun pada akhirnya penulis bermaksud mencari pengertian faktor-faktor yang mengintregasikan masyarakat dan kemungkinan yang terjadi nanti dikemudian hari, dimana pemahamannya yang tidak mudah. Kendati masalah konflik dan intregasi telah menjadi pertanyaan yang sudah lama sejak awal teori sosiologi.
Usaha para tokoh sosiologi untuk menjawab hal tersebut telah menciptakan banyak sekali aliran pemikiran dengan berbagai pandangan yang berbeda. Adanya beraneka-ragam aliran-aliran pemikiran mengenai bagaimana masyarakat terintregasi itulah maka suatu sudut pendekatan harus ditentukan dahulu sebelum pembicaraan jauh berkembang. Namun buku ini hanya ingin memperkenalkan dua diantara sekian banyak sudut pendekatan sosiologi yang paling kontrovesional di dalam menganalisis masalah konflik dan intregasi, sambil mengintip kemungkinan untuk menyusun suatu sintesis di antara keduanya sedemikian rupa, sehingga akan lebih realistis dalam menganalisis sistem sosial Indonesia.


BAB 2
PENDEKATAN TEORITIS
            Masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk ekuilibrium. Karena sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut Integration approach, equilibrium approach, atau dengan lebih terkenal disebut sebagai structural-functional approach. Teori yang mendasarkan diri pada sudut pendekatan tersebut  disebut intregation theories, order theories, equilibrium theoris atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional struktural.
            Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangakan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka yang secara singkat, dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang diatas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma itulah yang sesungguhnya membentuk struktursosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting, yakni mekanisme sosial dan pengawasan sosial (sosial control).
            Pemikiran-pemikiran Parson dapat diketahui betapa pendekatan fungsionalisme struktural terlalu menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial. Sebaliknya apa yang oleh Davit Lockwood disebut sebagai substratum, yakni disposisi-disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life chances dan kepentingan-kepentingan yang tidak bersifat normatif, tidak memperoleh tempat yang wajar di dalam pemikiran-pemikiran para penganut pendekatan fungsionalisme struktural. Oleh karena itu, stabilitas atau instabilitas dari suatu sistem sosial sesungguhnya tidaklah lebih daripada menyatakan derajat keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normatif di dalam mengatur kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
            Pendekatan fungsional struktural dipandang oleh banyak ahli sosiologi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, dan oleh karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap tidak saja mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan kontradiksi-kontradiksi intern dapat merupakan sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan masyarakat, akan tetapi juga kurang memberikan tempat yang wajar pada kenyataan bahwa suatu sistem sosial tidak selalu mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar. Apabila faktor-faktor luar tersebut cukup kuat mempengaruhi bagian-bagian tersebut tanpa diikuti oleh penyesuaian-penyesuaian dari bagian-bagian yang lain, maka disfungsi dan ketegangan-ketegangan akan berkembang secara kumulatif serta mengundang terjadinya perubahan-perubahan sosial yang bersifat revolusioner.
            Conflik approach masih dapat kita bedakan atas dua macam pendekatan yang lebih kecil, yakni structuralist-Marxist dan Structuralist-Non Marxist. Perubahan sosial, oleh penganut para pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu dianggap “bersumber” di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, suatu hal yang kurang diperhatikan oleh para penganut pendekatan fungsional struktural. Munculnya kelompok kepentingan menurut tumbuhnya mekanisme rekruitmen yang lunak. Ketiga kondisi tersebut yakni, kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi politis, dan kondisi-kondisi sosial secara bersama-sama menjadi intervening variables bagi munculnya kelompok kepentingan yang sebagaimana telah disebutkan di muka selalu berada di dalam situasi konflik.
            Sementara itu, sebagaimana kita ketahui konflik timbul sebagai akibat dari adanya kenyataan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat distribusi otoritas yang terbatas adanya. Konsekuensi yang timbul sebagai akibat ialah bahwa bertambahnya otoritas pada suatu pihak, dengan serta merta berarti pula berakhirnya otoritas pada pihak yang lain. Dari situlah asal mulanya mengapa para penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin dilenyapkan.
            Bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi (conciliation). Lembaga semacam itu terbentuk melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Pengendalian konflik yang kedua yaitu apa yang disebut dengan mediasi (mediation), adalah suatu cara pengendalian yang dibutuhkan apabila kedua belah pihak yang bertentangan tidak menghendaki timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana sebaiknya mereka menyelesaikan pertentangan mereka.
            Pengendalian yang ketiga yakni perwasitan (arbitration), di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial diantara berbagai kelompok kepentingan justru akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang tidak akan mengenal akhir.


BAB 3
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA
            Van den Berghe ketika ia menyatakan bahwa suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Kebutuhan untuk mensintesiskan kedua pendekatan tersebut menurut hemat penulis, justru harus didasarkan terutama pada kenyaatan bahwa keduanya ternyata melengkapi satu sama lain. Struktur masyarakat Indonesiai bersifat horizontal dan vertikal. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dengan lapisan bawah yang cukup tajam.
            Menurut Furnivall masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Di dalam kehidupan politik pertanda paling jelas itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada suatu keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidaklah utuh.
            Secara keseluruhan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama. Hasilnya, sebagaimana telah disebutkan, ialah berupa masyarakat Indonesia yang tidak memiliki kehendak bersama (common will). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik, dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui suatu periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri. Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub system terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primodial.
            Pierre L. van den Berghe menganggap masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu di antara dua jenis masyarakat menurut model analisis Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai-bagai kelompok yang biasanya merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifaat homogeneus. Yang disebut kedua, sebaliknya, merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi yang tinggi dengan banyak lembaga yang berdifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain.
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi.  Pertama yaitu keadaan/geografis yang membagi wilayah Indonesia menjadi kurang lebih 3000 pulau. Faktor yang kedua, kenyataan bahwa Indonesia terletak diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik. Iklim yang berbeda-beda serta struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan nusantara ini.


    BAB 4
SRTUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
            Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial tersebut secara analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut telah menghasilkan tejadinya berbagai “kelompok semu”, yang di dalam konteks pengertian popular dapat kita sebut sebagai “golongan” yang akan menjadi sumber di mana anggota-anggota “kelompok kepentingan”  terutama direkrut. Pengelompokan masyarakat Indonesia  itu membawa akibat yang  luas dan mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat Indonesia. dimana adanya kelompok semu setelah kemerdekaan telah berhasil diubah menjadi kelompok kepentingan yang mempunyai tujuan bersama yang ingin dicapai.
            Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus adalah apa yang kita kenal sebagai partai politik. Pada awal pertumbuhannya Indonesia, kelompok-kelompok semacam itu mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosialkultural daripada yang bersifat politis. Baru dikemudian hari kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam bentuknya sebagai partai politik. Di dalam hal ini hanya beberapa partai politik saja yang disebutkan untuk sekedar menggambarkan sistem kepartaian di Indonesia memiliki dasarnya di dalam watak yang  dipunyai oleh struktur masyarakat Indonesia.
            Partai yang pertama kali adalah Partai Masyumi (NU dan Muhammadiyah bergabung dengan Masyumi), kemudian PNI, Partai Nahdatul Ulama, PNI, PKI, PSI, Parkindo dan lain sebagainya. Konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam, untuk sebagian pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial-kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. Herbert Feith, melihat konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional (Tradisi Hindu-jawa dan Islam) disatu pihak, dengan pandangan dunia modern (khusussnya pandangan dunia barat) di lain pihak.
            Donald hindley, melihat keragaman pola kepartaian di Indonesia bersumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang, yakni antara penggolongan yang bersifat keagamaan dengan penggolongan yang berpandangan dunia tradisional dan yang berpandangan dunia modern. Berhasil tidaknya fusi partai-partai politik itu sendiri, yang sebagaimana kita ketahui terutama terjadi atas prakarsa pemerintah, justru akan sangat tergantung pada seberapa jauh perubahan-perubahan sosial cultural yang mendasari pola kepartaian di Indonesia itu akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.


 
BAB 5
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL
            Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang telah diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertical, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Van Den Berghe, yakni: (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering memiliki kebudayaan; (2) struktur sosial yang tebagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar; (4) secara relatif sering terjadi konflik  diantara kelompok; (5) secara relatif  intregasi sosial tumbuh atas paksaan, dan adanya ketergantungan ekonomi; (6) adanya dominasi politik.
Tingkatan konflik yang mungkin akan terjadi, yakni konflik di dalam tingkatannya yang bersifat ideologis dan konflik di dalam tingkatannya yang bersifat politis. Di dalam setiap situasi konflik, maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama. Faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia menurut Auguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott Parson, adalah berupa kesepakatan para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu. Tetapi, lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi.
            R. Willia Liddle, konsesus nasional pada hakikatnya merupakan konsensus nasional pada tingkat pertama di antara dua macam konsensus nasional yang menjadi prasarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Integrasi nasional yang tangguh hanya akan berkembang di atas konsesus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan system politiik yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan untuk sebagian harus kita temukan di dalam proses pertumbuhan pancasila sebagai falsafah atau ideologi Negara.
            Bersama-sama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancsila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, kendati ia harus mengarungi samudra penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.
 
Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

Sistem Sosial Indonesia 3

Dalam sosiologi, ada berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah sistem sosial. Banyak para ahli yang mendefinisikan sistem sosial, namun ada satu inti yang harus dipegang dalam setiap sistem sosial. Bahwa dalam setiap sistem sosial selalu ada hubungan timbal balik yang konstan. Konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan perulangn dari sebelumnya, dan besok akan diulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya yang konstan itulah, maka pola hubungan interaksi itu memiliki sistem tertentu.
Ada tiga pendekatan dalam sosiologi mengenai apa itu masyarakat:
  1. Masyarakat sebagai sistem sosial
  2. Masyarakat sebagai sistem interaksi
  3. Masyarakat sebagai pertukaran sosial
Dari ketiga pendekatan diatas hanya ada satu inti yang ditemukan dalam ketiga paradigma tersebut yaitu saling ketergantungan.
Elemen-elemen yang peru diketahui mengenai konsep saling ketergantungan:
  • Minimal ada dua bagian yang saling berhubungan
  • Saling ketergantungan tidak selamanya seimbang
  • Adanya saling membutuhkan antar bagian dalam sistem itu
Menurut Comte, inti organisme sosial adalah keteraturan dan keseimbangan sosial seperti yang ditemukan dalam makhluk biologis. Organisme sosial yang dikemukakan Spencer sedikit berlainan dengan Comte. Analogi yang diambil Spencer dari organisme biologis diterapkan seluruhnya pada organisme sosial. Proses evolusi yang dialami makhluk biologis juga berlaku untuk masyarakat. Oleh karena itu konsep-konsep seperti pertumbuhan, perkembangan kompleksitas, diferensiasi, evolusi, juga dipergunakan untuk menjelaskan masyarakat.
Durkheim memiliki pokok pikiran tentang masyarakat. Pokok pikiran tersebut sangat dipengaruhi oleh paham-paham organisme biologis seperti halnya Comte dan Spencer. Pokok pikiran Durkheim tentang masyarakat antara lain:
  • Masyarakat merupakan keseluruhan yang lebih dari hanya sekedar kumpulan atau tumpukan indivodu belaka
  • Masyarakat adalah fakta sosial. Karena itu fakta sosial sebagai keseluruhan terdiri dari fakta sosial-fakta sosial yang tergantung satu sama lain
  • Saling ketergantungan harus dilihat dalam konteks fakta sosial atau keseluruhan
  • Dalam pandangan Durkheim keseluruhan mempengaruhi individu, namun dalam pandangan Spencer, individu mempengaruhi keseluruhan
  • Dasar kehidupan masyarakat adalah keteraturan sosial
  • Saling percaya jauh lebih penting daripada rasio
Durkheim Tentang Komunitas
  1. Kesadaran Kolektif
Kata kesadaran merupakan terjemahan dari istilah inggris conciousness yang maksudnya kita sadar akan adanya kelompok dimana kita termasuk. Kolektif sendiri bisa menunjuk pada kelompok dan bisa juga menunjuk pada umat manusia seluruhnya. Kesadaran kolektif berhubungan dengan dua elemen yang saling berkaitan yakni perasaan termasuk dalam suatu komunitas tertentu dan munculnya kewajiban moral. Oleh karena itu konsep kesadaran disini lebih berhubungan dengan perasaan dari pada dengan rasio.
Dalam penjelasan durkheim tentang homo duplex, kelihatan bahwa individu atau semua hal yang berhubungan dengan diri egoistik tunduk pada fakta sosial. Kesadaran kolektif adalah fakta sosial. Fakta sosial kurang lebih sama dengan social current. Social current selalu berhubungan dengan ritus dan ritual yang banyak terjadi dalam agama, upacara kenegaraan dan lain-lain
  1. Durkheim tentang Solidaritas Sosial
Menurut Durkheim, elemen-elemen yang penting dalam solidaritas sosial adalah persahabatan, persatuan, tanggung jawab moril dan kebersamaan. Dalam sosiologi Durkheim, konsep solidaritas sosial itu merupakan tolok ukur untuk membedakan masyarakat tradisional dan modern dengan semua sifat-sifatnya. Berikut ini perbedaaan-peerbedaan masyarakat berdasarkan solidaritasnya:
Pembeda Solidaritas Organik Solidaritas Mekanik
Masyarakat Modern Tradisional
Pembagian kerja Tinggi Rendah
Hukum Sipil administratif Kriminal
Sifat hukum Restitutif Represif
Kesadaran kolektif Rendah Tinggi
tekanan Perbedaan/individu Persamaan/kolektif
Kedua tipe solidaritas sosial diatas ditemukan pada setiap masyarakat. Yang berbeda hanyalah tekanannya saja. Durkheim juga membicarakan adanya penyimpangan. Dengan adanya penyimpangan, maka kesadaran kolektif menjadi lebih tegas. Karena penyimpangan berfungsi mempersatukan dan memperkuat kesadaran kolektif.
Weber tentang Masyarakat Majemuk
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari banyak elemen/asosiasi yang bebas dan berdiri sendiri, yang menjamin kebebasan individu untuk memilih asosiasi mana yang diinginkannya, dan untuk kebebasan itu baik asosiasi maupun individu memperoleh jaminan hukum dari pemerintah/negara. Secara eksplisit pokok-pokok pikiran dalam pluralisme berhubungan dengan disiplin sosiologi dan disiplin politik. Namun, dalam sosiologi weber, kedua disiplin ini saling bertemu. Sangat jelas hubungannya dengan perebutan  kekuasaan yang diperoleh dari suara individu secara perorangan. Weber memperlihatkan dengan jelas pentingnya individu itu.
Ada tiga macam keteraturan menurut Weber yang mengikat orang dengan sesamanya yaitu tatanan ekonomi, tatanan politik, dan tatanan kebudayaan. Masing-masing tatanan ini mempengaruhi perilaku manusia dengan hasil yang tidak sama untuk semua orang. Bila masuk dalam bidang ekonomi, individu diminta untuk menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku yang sudah ditentukan menurut prinsip-prinsip ekonomi seperti harus rasional, rajin, ulet, pandai menggunakan waktu luang dan sebagainya. Berdasarkan prinsip-prinsip itulah orang berkumpul dan membuat perseroan terbatas. Hal yang sama juga berlaku untuk politik dan kebudayaan. Inilah kenyataan yang menjadi gagasan Weber tentang masyarakat majemuk.
Tatanan ekonomi adalah tatanan yang paling impersonal. Artinya dia tidak pandang bulu, dia tidak mempermasalahkan apakah orang yang terihat dalam pertukaran itu berstatus tinggi atau rendah. Tatann ekonomi yang impersonal ini sekaligus bersifat rasional. Hubungan antara tatanan ekonomi dengan individu dinyatakan Weber dalam konsep probabilita. Berdasarkan hubungan probabilita ini lalu Weber sampai pada pembagian tipologi tindakan sosial yaitu rasional intrumental, rasional berorientasi nilai, tradisional dan afektif. Keempatnya adalah tipe ideal. Tindakan manusia biasanya merupakan tipe campuran dari keempat atsu tiga atau keduanya.
Tatanan ekonomi, politik dan kebudayaan tidak sama dengan dimensi privilese, politik dan kebudayaan dalam stratifikasi sosial. Keduanya berhubungan erat yang hanya dapat ditemukan dalam individu. Individu dalam pandangan Weber sanngat ditekankan. Dan karena individu inilah maka ketiga tatanan diatas hubungannya dengan stratifikasi sosial, membentuk satu keseluruhan jaringan pola hubungan sosial yang kurang lebih bersifat konstan, dan yang mempunyai arti subjektif bagi individu yang termasuk dalam tatanan itu. Inilah yang disebut dengan istilah tatanan sosial atau struktur sosial atau sistem sosial dalam pandangan Weber. Dalam masyarakat indonesia yang majemuk, kerangka analisis Weber sangat relevan. Dia menekan konflik yang terjadi antara institusi sosial, antara tatanan yang satu melawan yang lain hanya karena iandividu yang ingin dipengaruhi. Dan individu itu bebas, sehingga tatanan-tatanan ini harus benar-benar bersaingan untuk merebut individu ini.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

Sistem Sosial Indonesia 2

SISTEM SOSIAL INDONESIA

- Penggunaaan sistem dapat dikelompokkan dalam 2 bagian besar yaitu:
1. Yang menunjuk kepada sesuatu entitas (wujud benda baik yang bersifat abstrak, kongkrit maupun yang besifat konseptual). Misalnya: mobil, lembaga, manusia, alam semesta dll.
2. Yang menunjuk sebagai suatu metode kata sistem mempunyai makna metodologik. Misalnya: sistem investasi, sistem kontrol, sistem permainan dll.
- Latar belakang penyajian mata kuliah sistem sosial Indonesia:
Penyajian mata kuliah sistem sosial Indonesia didorong oleh suatu kebutuhan perlunya suatu gambaran yang menyeluruh tentang masyarakat Indonesia. Pada masa-masa yang lalu pengetahuan tentang masyarakat Indonesia hanya dipelajari secara fragmentaris. Untuk itu sudah waktunya disusun suatu konsep tentang masyarakat kita secar utuh dan bulat yaitu suatu masyarakat Indonesia.
- 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam rumusan sistem sosial:
1. Bahwa dalam setiap Sistem Sosial terdapat sejumlah orang dan kegitannya.
2. Orang-orang dan kegiatannya tersebut saling berhubungan secara timbal balik.
3. Hubungan yang bersifat timbal balik tersebut bersifat tetap.
- Orientasi motivasional ialah yang menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan.
- Orientasi nilai ialah yang menunjukkan pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda.
- 4 persyaratan Fungsional yang harus dipenuhi oleh setiap sistem sosial menurut kerangka A-G-I-L:
A = Adaptation (adaptasi) yang menunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungan.
G = Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan Persons bahwa tindakan itu diharapkan diarahkan pada tujuannya.
I = Integration (integrasi) merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial.
L = Latent Pattern Maintenance, konsep Latent menunjuk pada berhentinya interaksi.
- 7 anggapan dasar dari structural fungsional approach:
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cendrung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.
4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi.
5. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara graduil (perlahan-lahan) melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
6. Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan:
a. Penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systemic change).
b. Pertumbuhan melalui proses differensiasi strukturil dan fungsionil.
c. Penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7. Faktor yang paling penting memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus daripada para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
- 4 anggapan dasar dari konflik approach:
1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan sosial merupaka gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan kata lain konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubanah sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang-orang yang lain.
- Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sam lain di dalam suatu kesatuan politik.
- 6 sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk menurut Pierre L.Van dan Berghe:
1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3. Kurang mengembagkan konsensus daripada anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4. Secara relatif sering kali mengalami konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lain.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
- Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab pluralitas masyarakat Indonesia:
• Keadaan Geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang terserak disuatu daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1.000 mil dari Utara ke Selatan.
• Indonesia terletak diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
- Ciri umum yang melekat pada Ethnic Group di Indonesia:
1. Terdapatnya kesatuan bahasa atau paling tidak logat.
2. Terdapatnya kesamaan tata cara, adat istiadat, sikap dan ukuran-ukuran yang diperoleh secara turun temurun.
3. Keadaan atau kesatuan wilayah yang ditempati atau paling tidak mereka merasa mempunyai wilayah asal yang sama.
4. Persamaan kesamaan atau kesatuan keturunan, baik secara sesungguhnya ataupun hanya dugaan-dugaan yang berdasarkan mitos-mitos yang ada pada ethnic tersebut.
- Hakekat hubungan manusia dengan alam, mengandung bahwa:
1. Tunduk kepada kodrat alam, dengan bergantung kepada anugerah alam, tanpa menganggapnya sebagai perbuatan yang bernilai tinggi.
2. Mencari keserasian dengan alam, dengan menyesuaikan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kodrat alam, sebagai perbuatan yang bernilai baik.
3. Menguasai alam, dengan berdaya upaya dengan segala kemampuan untuk memanfaatkan atau menaklukkan potensi alam, bagi keperluan manusia sebagai hal yang bernilai tinggi.
- Menurut R. William. Liddle masalah integrasi nasional mencakup dua dimensi yaitu:
1. Dimensi horisontal, berupa masalah oleh karena adanya perbedaan suku, ras, agama, aliran dsb.
2. Dimensi vertikal, berupa masalah yang ditimbulkan oleh muncul dan berkembangnya semacam jurang pemisah (gap) antara golongan elit nasional yang sangat kecil jumlahnya dengan mayoritas terbesar rakyat biasa (massa).

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -

Sistem Sosial Indonesia

BAB 1
PENDAHULUAN.
Pertempuran yang terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi gambaran pada kita apa itu konflik. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya itu, mereka saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tak mengedepankan hasrat ego mereka masing-masing. Namun setelah itu muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30 S/PKI,dll. Yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI.
Keadan itu memiliki makna bahwa “ Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori semata, belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang masih perlu diwujudkan bagi segenap bangsa kita ini. Akan tetapi, konflik-konflik sosial didalam masyarakat senantiasa memiliki kedudukan dan pola masing-masing. Dikarenakan sumber yang menjadi penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama. Apabila kita disodori pertanyaan : faktor laten apakah yang sebenarnya menjadi penyebab dari munculnya pertentangan yang terjadi diatas, dan apa pula yang menjadi sumber yang bersifat laten bagi konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian hari? Hanya melalui pemahaman yang mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka konflik sosial internal bangsa akan dapat kita hindari. Secara psikologis kita memiliki kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah sadar kita, bukan saja kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kita iidak menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama kita adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang kita muliakan, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan dapat memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita, memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS.
Sudut pendekatan yang perlu mendapatkan perhatian pertama kali adalah sebuah pendekatan yang sangat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi selama beberapa puluh tahun terakhir ini. Pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat , sesungguhnya terintegrasi atas dasar kesepakatan antar anggota mereka. Ia memandang masysarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya, yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai Integration approach, order approach, equilibrium approach, atau dengan lebih populer disebut sebagai structural-functional approach. ( Selanjutnya disebut pendekatan fungsional struktural atau fungsionalisme-struktural ). Teori-teori yang mendasarkan diri pada sudut pendekatan tersebut, biasa dikenal pula sebagai integration theories, order theoris, equilibrium theories, atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional struktural.
Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut :
  1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
  2. Denagan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
  3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.
  4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan sendirinya pada akhirnya, melalui penyesuaian-penyesusaian dan proses institusionalisasi.
  5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner.
  6. Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut, terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar ( extra systemic change ): pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional: serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
  7. Faktor paling penting yang memiliki daya menintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Dengan cara lain dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Equilibrium dari suatu sistem sosial terjaga oleh beberapa proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting untuk mengendalikan hasrat masyarakat pada tingkat dan arah yang menuju terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial ( social control ).
Parson dan para pengikutnya tidak dapat dikatakan telah berhasil membawa pendekatan fungsionalisme struktural ketingkat perkembangan yang lebih berpengaruh pada pertumbuhan teori-teori sosiologi hingga saat ini. David Lockwood mengritik pendapat Parson, kita dapat menyaksikan betapa pendekatan fungsionalisme struktural terlalu menekan berdasarkan pada peranan unsur normatif dan tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses dimana keinginan seseorang diatur secara normatif untuk menjamin kesetabilan sosial. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial. Adanya tata tertib sosial bukan berarti akan hilangnya konflik di masyarakat. Sebaliknya, lahirnya tata tertib sosial justru menggambarkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat.
Anggapan awal bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu, mengakibatkan para penganut pendekatan fungsionalisme struktural kemudian menganggap bahwa disfungsi ketegangan,penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh faktor-faktor yang datng dari luar. Pandapat seperti itu mengesampingkan kenyataan sebagai berikut:
  1. Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konfli-konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, yang pada saatnya akan menjadi sumber terjadinya perubahan sosial.
  2. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar ( extra-systemic change ) tidak selalu bersifat adjustive.
  3. Sistem sosial, dalam jangka panjang juga akan mengalami konflik sosial yang bersifat visious circle.
  4. Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui adaptasi yang lunak, akan tetapi juga dapat terjadi secara revolusioner.
Oleh karena itu ia mengabaikan kenyataan itu, maka pendekatan fungsionalisme struktural dipandang oleh para ahli sosioligi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, dan oleh karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan kontradiksi intern dapat merupakan sumber tejadinya perubahan dalam masyarakat, tetapi sistem sosial terkadang tidak selalu mampu beradaptasi terhadap perubahan yang datang dari luar. Terkadang sistem sosial memang dapat menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tanpa terjadinya disintegrasi sosial. Namun tidak jarang, sistem sosial akan menolak perubahan yang datang dari luar, baik secara status quo ataupun dengan tindakan reaksioner. Keadaan tersebut berimbas akan terjadinya disfungsional pada bagian-bagian tertentu, yang akan menimbulkan ketegangan sosial. Apabila faktor eksternal tersebut berpengaruh kuat terhadap bagian-bagian sistem sosial, maka disfungsi dan ketegangan akan tumbuh secara komulatif serta mengundang terjadinya perubahan sosial yang bersifat revolusioner.
Sementara conflic approach masih dapat kita bedakan, yakni structuralist-Marxist dan structural-Non-Marxist. Berdasarkan dari fungsionalisme struktural, maka pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapn dasar sebagai berikut:
  1. Setiap masyarakat selalu berada pada proses perubahan yang tak pernah berujung, bisa dikatakan bahwa perubahn sosial merupakan gejala yang melekat pada masyarakat.
  2. Konflik merupakan gejala yang identik dengan masyarakat.
  3. Setiap unsur dalam masyarakat, memberikan potensi terjadinya integrasi dan perubahan sosial.
  4. Setiap masyarakat, didominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lain.
Bentuk pengendalian konflik sosial yang pertama dan paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi ( conciliation ). Pengendalian tersebut terwujud dalam lembaga yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi, dan pengambilan keputusan antar pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang dipertentangkan. Dalam hal itu,bermaksud agar lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi setidaknya empat hal, yaitu:
  1. Lembaga tersebut harus bersifat otonom.
  2. Lembaga tersebut harus berifat monopolistis didalam masyarakat.
  3. Peranan lembaga harus mengikat dan memaksa, dapat dikatakan sebagai pengendali sosial.
  4. Lembaga yang bersangkutan harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut,konflik akan menjadi semakin bertambah rumit,dan akan semakin sulit untuk dipecahkan. Namun,hal tersebut dapat diatasi apabila kelompok yang berkonflik memenuhi tiga macam persyaratan:
  1. Masing-masing kelompok harus menyadari, bahwa mereka terlibat dalam suatu konflik, dan menyadari perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua.
  2. Penyelesaian konflik tersebut akan mudah dikendalikan apabila kelompok yang berkonflik terorganisir dengan jelas.
  3. Kelompok yang berkonflik harus mematuhi aturan-aturan tertentu, sehingga memungkinkan hubungan sosial antar mereka kembali membaik.
Tanpa semua itu, lembaga diskusi macam apapun tidak akan berjalan dengan baik, justru akan menimbulkan konflik. Cara pengendalian yang efekti adalah dengan mediasi ( mediation ), dimana kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai penengah, yang akan memberi nasihat tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak. Walaupun nasihat tersebut tidak mengikat kedua belah pihak, namun cara ini terkadang sering menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Apabila tidak berhasil,kita dapat menggunakan cara yang lain. Yaitu dengan perwasitan ( arbitration ), dalam hal ini pihak yang bertikai terpaksa harus menerima keputusan dari pihak ketiga. Tetapi meraka berhak untuk mengajukan usulan, kendati mereka mau-tidak mau harus menerima keputusan pihak ketiga.
BAB III
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA.
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama ( common will ). Dalam kehidupan ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social demand ). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
  1. Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
  3. Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
  4. Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
  6. Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Keadaan geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing.
Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal strutur masyarakat Indonesia. Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi administrasi nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat kontras antara golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.
BAB IV
STRUTUR KEPARTIAN PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA.
Segala macam perbedaan yang terjadi di Indonesia secara analitis dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri, dan dapat menjadi suatu jalinan yang menghasilkan berbagai macam kelompok semu atau lebih dikenal dengan golongan. Golongan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan suku, agama, kelas sosial, tempat tinggal, dan lain-lain. Namun sejak awal abad 20, terutama setelah kemerdekaan kelompok semu tersebut berubah menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik. Tetapi pada awalnya mereka lebih menekankan pada sosial budaya dari pada politik, baru kemudian hari kelompok tersebut mengubah sifatnya kepartai politik.
Sejak merubah sifatnya menjadi partai politik timbullah berbagai macam konflik yang terjadi antar suku, agama, daerah, stratifikasi sosial, dan lain sebagainya. Kompleksitas itulah yang telah membuka timbulnya macam berpikir yang ditunjukkan oleh berbagai macam partai paolitik di Indonesia. Herbert Feith misalnya, melihat konflik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber pada ketegangan yang terjadi antara pandangan tradisonal dan pandangan modern. Pandangan tradisonal yang berpedoman pada tradisi Hindu-Jawa dan Islam, sedang pandangan modern yang berkiblat pada barat.
BAB V
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL.
Strutur masyarakat Indonesia yang majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat multi-dimensional yang menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi nasional yang bersifat vertikal. Van den Berghe membagi sifat dasar masyarakat majemuk menjadi beberapa yaitu:
  1. Memiliki sub-kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga non-komplementer.
  3. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang besifat dasar.
  4. Sering terjadi konflik.
  5. Secara relatif integrasi terjadi karena paksaan, dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok.
Oleh karena sifat yang demikian, maka van den Berghe menyatakan bahwa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat menurut analisis Emile Durkheim. Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmentasi, tetapi juga tidak dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi tinggi. Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para penganut fungsionalisme struktural masih harus dipertimbangkan validitasinya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua hal berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Karena setiap konflik yang terjadi antar kesatuan sosialakan segera dinetralisir dengan adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat. Segmentasi dalam bentuk kesatuan sosial yang terikat dalam primordial edengan su-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok sosial. Dalam hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
  1. Konflik ideologis.
Konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial.
  1. Konflik politis.
Terjadi dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber ekonomi yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik, maka secara sadar atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas antar anggota.
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling menyilang. Cross-cutting affiliations yang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak terjadi terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh bertemunya loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi konflik agama, daerah, atau lapisan sosial. Karena cross-cutting affiliations senantiasa menghasilkan cross-cutting liyalities maka pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi atas dasar tumbuhnya perbedaan. Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan struktur silang-menyilang itulah Indonesia tetap dapat lestari walau harus menghadapi permasalahan akibat dari kemajemukan masyarakatnya.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi KPI UIN SUKA Yogyakarta.
READMORE -