Jumat, 27 Mei 2011

Langkah-Langkah Membuat Film


Akhir-akhir ini, banyak yang memprotes para produsen sinetron Indonesia yang dianggap telah kehilangan daya kreatif sehingga akhirnya menyadur film yang diproduksi orang luar. Tapi, sebenarnya, bagaimana sih cara membuat film itu? Posting ini bukan sebuah pembelaan, dan bukan pula sebuah hujatan baru. Hanya ingin menunjukkan… Begini lho, caranya membuat film.

Pada dasarnya, membuat film itu dapat dibagi ke dalam 14 tahapan. Apa saja?

1. IDE

Idealnya, IDE ini harus unik dan original. Tapi, memutuskan untuk menyadur sebuah karya orang lain itu juga termasuk sebuah IDE lho… Untuk mencari IDE, banyak cara yang bisa dilakukan. Melakukan pengamatan terus-menerus, jalan-jalan ke tempat yang aneh dan belum pernah didatangi manusia, nangkring di pohon asem di pinggir jalan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang, atau bahkan duduk santai di sebuah food court di suatu plaza atau mall. Melamun sendirian di dalam kamar juga bisa mendatangkan ide, kok…

2. Sasaran

Setelah mendapatkan IDE, tentukan sasaran dari film yang akan dibuat. Koleksi pribadi? Murid SMU? Komunitas S&M? Para Otaku? Para Blogger? Siapa yang akan menonton film itu nantinya? Itu juga harus ditentukan dengan jelas di awal. Jangan sampai terjadi, film tersebut ditujukan untuk anak SMU tapi karena tidak disosialisasikan dengan jelas, akhirnya dipenuhi adegan berantem penuh darah ala 300

3. Tujuan

IDE dan Sasaran sudah ditetapkan. Yang harus dipastikan selanjutnya adalah tujuan pembuatan film. Ingin menggugah nasionalisme seperti Naga Bonar? Ingin menyampaikan pesan terakhir sebelum nge-bom? Ingin mendapatkan kepuasan pribadi seperti pembuatan film Passion of the Christ? Apa?

4. Pokok Materi

Berikutnya adalah menyusun pokok materi. Apa sih pesan yang ingin disampaikan? Ungkapan cinta? Sekedar pesan mengingatkan bahaya merokok?

5. Sinopsis

Sinopsis adalah ringkasan yang menggambarkan cerita secara garis besar. Semacam ide awal gitu loh. Dari sinopsis ini, nantinya bisa dikembangkan menjadi cerita yang lebih detil.

6. Treatment

Tahapan ini adalah penggambaran adegan-adegan yang nantinya akan muncul dalam cerita. Tidak mendetil. Contoh treatment itu seperti ini…

Ada seorang perokok yang sedang merokok dengan santainya. Kemudian tiba-tiba dia batuk-batuk dengan hebat dan agak lama. Sebelum beranjak pergi, orang itu membuang rokoknya sembarangan. Tiba-tiba muncul api…

7. Naskah

Naskah adalah bentuk mendetil dari cerita. Dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang mendukung cerita (seting environment, background music, ekspresi, semuanya…). Contoh naskah itu, seperti ini…

FS. Ali mengayuh becak. Ais duduk merenung, tidak mempedulikan Ali yang bolak-balik menatapnya.

Ali : Dak usah dipikir lah, Mbak…

Ais : (kaget) Heh? Apa, Bang?

8. Pengkajian

Pengkajian disini, adalah yang dilakukan oleh seorang ahli isi (content) atau ahli media. Yang dikaji, adalah apakah naskahnya sudah sesuai dengan tujuan semula? Dan hal-hal yang mirip seperti itu…

9. Produksi Prototipe

Proses ini dibagi jadi 3 sub-tahap, yaitu pra-produksi (penjabaran naskah, casting pemain, pengumpulan perlengkapan, penentuan dan pembuatan set, penentuan shot yang baik, pembuatan story board, pembuatan rancangan anggaran, serta penyusunan kerabat kerja), produksi (pengambilan gambar sesuai dengan naskah dan improvisasi sutradara), purna-produksi (intinya adalah editing).

10. Uji coba

Uji coba ini dilakukan dengan memutar prototipe di hadapan sekelompok kecil orang. Kalau produsen film besar, biasanya melakukan ini di hadapan para kritikus. Tujuannya adalah untuk mengetahui respon dari calon audiens.

11. Revisi

Setelah ada respon, maka dilakukan perubahan jika diperlukan. Karena itu lah, banyak film yang memiliki deleted scenes. Itu diakibatkan proses uji coba dan revisi ini.

12. Preview

Preview itu adalah pemutaran perdana, di hadapan para ahli isi, ahli media, sutradara, produser, penulis naskah, editor, dan semua kru yang terlibat dalam produksi. Tujuan dari preview ini adalah untuk memastikan apakah semuanya berjalan lancar sesuai rencana atau ada penyimpangan. Bisa dikatakan, bahwa preview ini adalah proses pemeriksaan terakhir sebelum sebuah film diluncurkan secara resmi.

13. Pembuatan Bahan Penyerta

Bahan Penyerta itu adalah poster iklan, trailer, teaser, buku manual (jika film yang dibuat adalah sebuah film tutorial), dan lain sebagainya yang mungkin dibutuhkan untuk mensukseskan film ini.

14. Penggandaan

Tahap terakhir adalah penggandaan untuk arsip dan untuk didistribusikan oleh para Joni (ini terjadi pada jaman dulu kala, waktu format film digital masih ada di angan-angan).

Nah, demikian lah proses produksi sebuah film. Dari awal sampai akhir, siap untuk didistribusikan. Jadi, apa lagi yang ditunggu? Mari kita produksi film-film berkualitas agar tidak dikatakan bahwa sineas Indonesia telah kehilangan kreatifitas dan tidak bisa memproduksi karya orisinil lagi. SEMANGAT!!!

Heru Cahyono, Mahasiswa KPI Fakultas Dakwah UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Tips Membuat Film Pendek



Berikut ini adalah beberapa hal penting yang harus kita perhatikan dalam membuat film pendek. Dengan mengikuti langkah-langkah yang akan diuraikan ini, maka kita dapat mengurangi beberapa hal yang tidak seharusnya kita lakukan. Meskipun begitu, ini merupakan saran-saran saja, dan dapat dikembangkan berdasarkan keahlian dan pengalaman. Take a look..
1. Apakah film Anda layak ditonton
Sebelum semuanya dimulai, maka selayaknya kita bertanya: apakah semua orang pasti menonton film yang akan kita buat ?. Jawabnya, No!. Artinya tidak semua orang �pasti� akan menonton film kita. Sebelum menulis skenarionya, mari tanyakan kepada diri sendiri terlebih dahulu; mengapa orang harus menonton film yang akan kita buat.
2. Jangan mulai produksi tanpa adanya budget
Film, meskipun sederhana sangat membutuhkan biaya!. Besar biaya memang tidak terbatas, bisa besar bisa kecil. Dengan membuat prakiraan biaya (budget), maka kita akan lebih tahu apa yang harus kita lakukan dengan uang yang dimiliki. Produksi tanpa budget menyebabkan rencana-rencana tidak bisa diprediksi. Apalagi jika uang yang tersedia tidak mencukupi, bisa-bisa film yang sedang dikerjakan tidak selesai-selesai.
3. Minta persetujuan pihak-pihak yang terlibat
Sebelum shooting dilakukan, ada baiknya meminta persetujuan tertulis dari pihak-pihak yang terlibat didalam film, seperti aktor/aktris, music director, artwork, sponsor, atau siapa saja yang ingin berkontribusi. Bereskan dulu semua ini!. Karena kalau memintanya saat shooting dimulai, maka �kemangkiran-kemangkiran� dari pihak-pihak tersebut akan terasa sulit dimintakan pertanggung jawabannya. Maka, do it Now!.
4. Buatlah film pendek memang pendek!
Penulis naskah dan/atau sutradara harus bisa memenuhi standar yang menyatakan bahwa sebuah film adalah film pendek. Bertele-tele dalam penyajiannya akan membuat penonton bosan. Jika itu film pendek..maka harus pendek. Meskipun sulit, tapi memang harus begitu. Standar film pendek adalah maksimal berdurasi 30 menit!.
5. Jika memakai aktor yang tidak professional, maka lakukan casting
Tidak lepas kemungkinan film pendek dibintangi oleh aktor/aktris yang tidak professional (amatir). Ini sih wajar-wajar saja. Apalagi mereka (mungkin) tidak dibayar. Tapi untuk memilih karakter-karakter pemain yang sesuai, wajib melakukan pemilihan peran (casting). Jangan memilih orang sembarangan apalagi casting baru akan lakukan beberapa saat menjelang shooting. Berbahaya!.
6. Tata suara sebaik-baiknya
Tata suara yang buruk pada kebanyakan film pendek (meskipun memiliki konsep cerita menarik) menyebabkan tidak nyaman ditonton. Gunakan perangkat pendukung tata suara seperti boom mike untuk mendapatkan hasil yang baik. Kalau gak punya, beli atau pinjam aja�
7. Yakin OK saat shooting, jangan mengandalkan post-production
Saat ini semua film kebanyakan dikerjakan dengan kamera digital. Maka tidak sulit untuk memeriksa apakah semua hasil shooting sudah memenuhi sarat atau belum dengan melakukan playback. Periksa semua! frame dialog, tata suara, pencahayaan atau apa saja. Apakah sudah sesuai dengan kualitas yang diinginkan ?. Sangat penting; periksa setelah shooting, bukan pada saat paska produksi.
8. Hindari pemakaian zoom saat shooting
Kameraman yang baik adalah yang bisa mengurangi zooming. Kecuali bisa dilakukan dengan sebaik mungkin. Mendapatkan gambar lebih dekat ke objek sangat baik menggunakan dolly, camera glider, atau lakukan cut and shoot!.

9. Hindari pemakaian efek yang tidak perlu
Sebuah film pendek banyak mengandalkan efek-efek seperti; memulai film dengan alarm hitungan mundur (ringing alarm clock), transisi yang berlebihan seperti dissolves/wipe, dan credit titles yang panjang. Pikirkan dengan baik, apakah hal-hal ini perlu ditampilkan atau tidak. Pilihan yang sangat bijak jika semua itu tidak terlalu berlebihan.
10. Hindari shooting malam di luar ruang
Suasana gelap adalah musuh utama kamera (camcorder). Pengambilan gambar diluar ruang pada malam hari sangat membutuhkan cahaya. Apabila tidak menggunakan lighting yang cukup maka hasilnya akan jelek sekali. Meskipun dapat melakukan color correction pada saat editing, tapi sudah pasti dapat menyebabkan noise dan kualitas gambar menjadi drop. Paling baik adalah merubah skenario menjadi suasana siang hari. Tidak akan mengganggu cerita toh?.

Heru Cahyono, Mahasiswa Prodi KPI Fakultas Dakwah UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Semangat Sang Juara



klinting/// bunyi ada sms masuk di HPQ
"ru kamu dapet juara satu photo, Q yg wakilin, ada amplopnya juga....from..+6281226922..."

saya tahu sms ini dari Eka temen kampus saya, karena dia panitia Acara Gebyar KPI 2010. Tadi sebelum pulang dari kampus saya berpesan dengan Eka, kalau saya tidak bisa mengikuti acara puncak Gebyar KPI 2011, maka saya minta tolong ke Eka kalo nanti saya dikabarin hasil pengumuman lomba yang saya ikuti.

Habis sholat maghrib hp saya bunyi lagi dan langsung segera ku buka..ternyata pesan itu dari Bu Evi (Kajur KPI)"Jurusan KPI mengucapkan SELAMAT kepada HERU CAHYONO atas prestasinya sebgai Juara I Lomba Fotografi dalam Gebyar KPI 2011. Semoga menjadi fotografer handal dan Profesional..from: Bu Evi"

Puji Syukur langsung saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan saya kekuatan dan hasil karya sehingga mendapatkan juara I dalam Gebyar KPI 2011. Temen-temen saya semua dari komunitas Akeroluh, temen-temen semua KPI angkatan 2010. Saya ucapkan banyak terimakasih atas dukungannya selama ini.

Ini menumbuhkan semangat saya untuk berkarya lagi dan lagi...dari sinilah semangat saya berkobar-kobar dan ingin sekali membuat karya lagi yang banyak dan dapat dinikmati banyak orang serta berbagai kalangan.

Ya Allah bimbinglah hambamu ini ke jalanmu dan bimbinglah saya untuk menggapai segala cita-cita dan angan-angan saya selama ini. Amien...

Heru Cahyono, Mahasiswa Prodi KPI Fakultas Dakwah UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

SUKSES BESAR GEBYAR KPI 2010


Yogyakarta, 27 Mei 2010. Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta telah SUKSES menggelar Gebyar KPI 2010, dengan perjuangan dan tekad Panitia pelaksana telah dibuktikan di hari puncak Gebyar ini telah hadir dan muncul bibit-bibit unggul dari berbagai karya mahasiswa KPI dari karya Jurnalistik, Fotografi, Audio Visual, dan Modeling.

Acara ini sangat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prosedur yang direncanakan. Dari pembukaan dengan diadakannya Diskusi Panel yang diikuti semua mahasiswa KPI khususnya angkatan 2010. Lomba Presenter yang diikuti dari angkatan 2008-2010 kurang lebih 25 peserta lomba. Lomba Fotografi yang diikuti kurang lebih 80 karya foto dari mahasiswa KPI dari berbagai angkatan. Pameran Video Audio Visual dari mahasiswa yang diikuti oleh 20 mahasiswa dan 15 karya. Pameran Karya Jurnalistik berupa opini, puisi, cerpen, dll yang diikuti oleh 110 mahasiswa. Serta Lomba modeling baju muslim yang diikuti lebih dari 15 Mahasiswa.

Selamat buat para Juara Lomba Gebyar KPI 2010. Sukses buat kalian semua. Amien...

Heru Cahyono, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

KPI 2010 Goes To Museum Affandi


Yogyakarta, 14 Mei 2010. Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan kunjungan di Museum Affandi dalam rangka study ilmiah pada mata Kuliah Filsafat Ilmu yang di Bimbing Oleh Bpk. Andi Darmawan, mari kita saksikan rekaman dokumenter di Museum Affandi.

Disk 1



Disk 2

READMORE -

Senin, 23 Mei 2011

MENYUSUN MATERI PRESENTASI ATAU PIDATO


Sebagai staf Humas, Anda mungkin sekali waktu akan ditugaskan melakukan presentasi di depan audiens tertentu, sehingga Anda harus menyiapkan presentasi tersebut, baik dari segi konten maupun format penyampaiannya. Presentasi atau pidato tentu mengharuskan Anda bicara dan mengekspresikan diri di depan audiens.
Setiap orang sebetulnya memiliki gaya berbicara dan berekspresi yang berbeda-beda, terutama dalam percakapan secara spontan. Meski demikian, baik dalam berbicara langsung kepada audiens ataupun dalam menyusun naskah pidato untuk dipresentasikan, kita harus menyesuaikan diri pada audiens.
Adaptasi ke Audiens Anda
Ada sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab:
1. Apa yang diharapkan audiens dari presentasi Anda?
2. Apakah Anda akan menyajikan presentasi formal, dengan setting yang mengesankan, serta dilengkapi dukungan visual yang diproduksi secara profesional?
3. Atau, apakah Anda hanya akan bicara dalam lingkup rapat kantoran atau situasi kerja biasa?

Apapun jawabannya, Anda harus menyesuaikan cara pendekatan, agar cocok dengan situasi dan audiens.

Yang mempengaruhi cara presentasi Anda adalah: jumlah audiens, materi yang mau disampaikan, tujuan presentasi, jumlah anggaran yang tersedia untuk presentasi, dan waktu yang tersedia untuk persiapan presentasi.

Jika Anda bicara di depan kelompok kecil, khususnya orang-orang yang sudah Anda kenal, Anda boleh menggunakan gaya presentasi yang biasa saja (casual), yang mendorong partisipasi audiens.
Jika Anda bicara di depan audiens yang jumlahnya besar dan acara presentasi itu sangat penting, Anda tampaknya membutuhkan suasana dan pendekatan yang lebih formal. Gaya resmi ini cocok untuk acara yang mengumumkan tentang merger atau akuisisi, produk-produk baru, pencapaian finansial, dan masalah bisnis penting lainnya.

Menyusun Materi Presentasi

Materi presentasi terdiri dari tiga bagian utama: introduksi (pengenalan), tubuh (body), dan penutup.
Introduksi yang baik membangkitkan minat audiens pada topik yang Anda sampaikan, membangun kredibilitas Anda, dan mempersiapkan audiens pada materi berikutnya, yang akan Anda sampaikan.

I. Introduksi
Membangkitkan Minat Audiens
Beberapa topik secara alamiah lebih menarik ketimbang yang lain. Jika Anda akan mempresentasikan topik yang menyangkut kepentingan setiap audiens dan akan berdampak pada mereka, besar kemungkinan mereka akan memperhatikan presentasi Anda, apapun cara Anda memulainya. Yang perlu Anda lakukan hanyalah mengumumkan topik yang akan disampaikan.

Untuk topik-topik lain, membutuhkan semacam imajinasi untuk menarik minat audiens. Misalnya, bagaimana cara menarik perhatian para karyawan baru, untuk mendengarkan presentasi tentang program pensiun, yang masih lama akan mereka nikmati. Apalagi para karyawan baru itu masih dalam masa percobaan, dan belum pasti diangkat jadi karyawan tetap. Bahkan, dalam satu-dua tahun mendatang, bisa jadi mereka akan pindah ke perusahaan lain.

Cara lain untuk menarik minat audiens adalah dengan meminta pendapat dan komentar dari mereka, di sepanjang berlangsungnya presentasi. Tentu saja, teknik seperti ini lebih efektif pada audiens yang berjumlah sedikit, dan kurang efektif untuk audiens berjumlah besar. Apalagi jika massa yang berjumlah besar itu bersikap tidak ramah pada Anda, atau tidak Anda kenal.

Membangun Kredibilitas Anda

Selain untuk menarik minat audiens, introduksi juga harus membangun kredibilitas Anda. Jika Anda adalah seorang pakar, dan penguasaan Anda terhadap materi yang mau disampaikan juga sudah diketahui audiens, Anda tidak perlu repot lagi membangun kredibilitas. Tetapi jika Anda bicara pada audien yang tidak mengenal Anda, atau Anda harus bicara tentang topik yang di luar bidang kepakaran Anda, Anda perlu membangun kredibilitas.

Membangun kredibilitas itu perlu dilakukan secara cepat, karena dalam beberapa menit audiens cenderung sudah memutuskan, apakah presentasi Anda layak didengarkan atau tidak.

Teknik membangun kredibilitas bisa bervariasi, tergantung pada apakah Anda mau memperkenalkan diri sendiri, atau membiarkan pembawa acara (MC) atau pihak lain, yang memperkenalkan Anda pada audiens.

Sebenarnya lebih menguntungkan, jika orang lain yang menyebutkan kelayakan Anda sebagai pembicara, agar Anda tidak terkesan membual. Bagaimanapun, pastikan agar orang yang memperkenalkan Anda itu tidak melebih-lebihkan kualifikasi Anda, karena akan kontradiktif dan menimbulkan reaksi negatif dari audiens.
Mempreview Pesan Anda

Sebagai tambahan dari membangkitkan minat audiens dan membangun kredibilitas Anda, introduksi yang baik juga dapat mempersiapkan audiens, terhadap materi utama yang akan disampaikan dalam presentasi. Introduksi ini membantu audiens untuk mendapat gambaran tentang struktur dan konten dari pesan Anda.

Untuk laporan tertulis, gambaran tentang struktur dan konten itu diperoleh lewat daftar isi. Sedangkan dalam presentasi lisan, gambaran itu diperoleh lewat preview. Preview itu harus merangkum gagasan utama dari pesan Anda, menunjukkan butir-butir pendukung utama, dan menandai urutan di mana Anda akan mengembangkan butir-butir gagasan tersebut.

II. Tubuh Pesan (Body)
Bagian terbesar dari pidato atau presentasi Anda diarahkan untuk mendiskusikan butir-butir utama dari materi yang mau disampaikan. Ada dua hal yang perlu Anda pastikan, yaitu: (1) pengorganisasian presentasi sudah jelas; dan (2) presentasi itu dapat mengikat perhatian audiens.

Menghubungkan Gagasan-gagasan Anda

Dalam dokumen tertulis, Anda dapat menunjukkan bagaimana gagasan–gagasan itu berhubungan lewat berbagai tanda: heading, indensi paragraf, ruang putih, dan daftar. Sedangkan dalam presentasi lisan, khususnya ketika tidak didukung oleh bantuan peralatan visual, Anda sepenuhnya tergantung pada kata-kata untuk menghubungkan berbagai bagian dan gagasan.

Setiap Anda menggeser ke topik berikutnya, pastikan untuk menggarisbawahi koneksi atau hubungan antara gagasan-gagasan yang disajikan. Rangkumlah apa yang sudah disampaikan, dan berikan bayangan tentang apa yang mau Anda sampaikan.

Misalnya, dengan ucapan seperti: ”Tadi kita sudah melihat betapa pentingnya arti komputer dalam kehidupan modern. Berikutnya, saya akan menjelaskan bahwa keberadaan teknologi informasi seperti komputer juga memberi risiko tersendiri pada kehidupan manusia modern.”

Semakin panjang presentasi Anda, transisi-transisi semacam ini pun semakin penting. Jika Anda menyajikan terlalu banyak gagasan, audiens mungkin bingung dalam menyerap gagasan itu, atau dalam melihat hubungan antara satu gagasan dengan gagasan yang lain.



Menguasai Perhatian Audiens

Sebagai bagian penting dari menghubungkan audiens dengan gagasan-gagasan Anda, adalah dengan menguasai perhatian mereka dari awal sampai akhir presentasi.
Sebagai tambahan dari tantangan tersebut, ada fakta lain yang tak bisa Anda hindari, yaitu bahwa audiens dapat berpikir dan membaca lebih cepat daripada kecepatan Anda bicara.

Jika Anda tidak cukup kuat mengikat pikiran mereka, audiens akan mulai memikirkan hal-hal lain, membaca lebih jauh lembaran tertulis atau makalah yang sudah mereka pegang, memeriksa e-mail atau SMS di handphone, atau apapun kegiatan yang lain kecuali presentasi Anda.

Ada beberapa tip agar audiens tetap memperhatikan pesan Anda:
Hubungkan materi yang Anda sampaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai audiens. Orang umumnya akan tertarik pada hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka secara pribadi.

Antisipasi pertanyaan-pertanyaan audiens. Cobalah perkirakan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan muncul di benak audiens, dan tanggapi pertanyaan-pertanyaan itu dalam tubuh presentasi Anda. Anda mungkin juga perlu menyiapkan atau mencadangkan bahan, untuk digunakan dalam sesi tanya-jawab, seandainya audiens meminta penjelasan lebih rinci.

Gunakan bahasa yang jelas dan gamblang. Audiens cenderung cepat bosan jika mereka tidak mengerti apa yang Anda bicarakan. Jika presentasi Anda melibatkan ide-ide yang abstrak, tunjukkan bagaimana abstraksi itu memiliki kaitan dengan kehidupan sehari-hari. Gunakan kaya-kata yang akrab, kalimat-kalimat pendek, dan contoh-contoh konkret.

Perjelas hubungan antara materi Anda dengan gagasan-gagasan lain, yang sudah diakrabi oleh audiens. Tunjukkan bagaimana topik Anda berkaitan dengan ide-ide yang sudah dimengerti audiens, dan berikan cara pada audiens untuk mengkategorikan, memilah, dan mengingat butir-butir gagasan Anda.

Mintailah pendapat audiens, atau cobalah sesekali memberi jeda pada presentasi, untuk menanggapi pertanyaan dan komentar. Umpan balik dari audiens dapat membantu Anda untuk menentukan, apakah audiens sudah betul-betul mengerti gagasan utama Anda, sebelum Anda masuk ke penyampaian topik berikutnya. Umpan balik juga memberi peluang pada audiens untuk bergeser, dari sekadar mendengarkan menjadi ikut berpartisipasi, yang membantu mereka terlibat pada pesan yang Anda sampaikan dan mengembangkan rasa kebersamaan.

Ilustrasikan gagasan-gagasan Anda dengan bantuan visual. Aspek visual bisa membantu menghidupkan pesan Anda, dan membantu Anda berhubungan dengan audiens, serta membantu audiens dalam mengingat pesan Anda.

III. Penutup

Penutup pidato atau presentasi bersifat kritis karena dua hal:
Pertama, perhatian audiens cenderung memuncak pada titik ini, karena mereka sudah mengantisipasi untuk pindah ke aktivitas lain pada hari sibuk mereka.
Kedua, audiens akan meninggalkan sesi ceramah Anda dengan kata-kata akhir Anda membekas di telinga mereka.

Sebelum menutup presentasi, beritahulah audiens bahwa Anda akan mengakhiri presentasi itu, sehingga mereka akan mengupayakan usaha terakhir untuk tetap memperhatikan.

Gunakan kata-kata seperti ”sebagai kesimpulan,” atau ”sebagai rangkuman dari semua hal yang sudah saya paparkan.” Anda ingin audiens tahu bahwa ini adalah segmen terakhir dari presentasi Anda.
Pastikan agar kata-kata akhir Anda membesarkan hati, memberi semangat, dan dapat diingat audiens.

Sumber:
Disadur secara bebas dari Bovee, Courtland L., dan John V. Thill. 2005. Business Communication Today. Eight Edition. Pearson Education International.

*Jurnalis Serabutan_________________Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Minggu, 22 Mei 2011

Perencanaan Peliputan Untuk Media Cetak


Pengantar

Aktivitas utama bidang keredaksian (editorial) di suatu media pemberitaan adalah melakukan peliputan. Peliputan ini melibatkan anggaran operasional yang cukup besar, apalagi jika harus melakukan peliputan ke luar kota atau ke luar negeri.

Berbagai bentuk peliputan khusus juga membutuhkan komitmen sumberdaya manusia, waktu, dan anggaran yang berkesinambungan. Liputan investigatif, liputan perang, atau liputan di daerah bencana (tsunami, gempa bumi, kecelakaan nuklir, dan sebagainya) adalah jenis liputan khusus semacam itu.

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, diperlukan suatu perencanaan peliputan. Tujuan utama adanya perencanaan peliputan adalah memperoleh hasil peliputan yang berkualitas, layak diberitakan, dan syukur-syukur memperoleh perhatian besar dari khalayak media bersangkutan, yang ujungnya tentu berimplikasi pada iklan dan pemasukan keuangan.

Tujuan kedua yang juga penting adalah media dapat melakukan perencanaan anggaran, sebagai bagian dari langkah efisiensi operasional. Ini menjadi penting karena perusahaan media bukan cuma menjalankan fungsi sosial, tetapi --sebagai sebuah industri-- ia juga memerlukan profit untuk bertahan hidup dan berkembang. Di tengah iklim persaingan antarmedia yang semakin ketat, efisiensi anggaran merupakan langkah krusial.

Liputan yang Dijadwalkan dan Tidak Dijadwalkan

Ada dua macam jenis liputan. Pertama, liputan peristiwa yang bisa dijadwalkan dan bisa direncanakan. Kedua, liputan peristiwa yang tak bisa dijadwalkan dan tak bisa direncanakan.

Liputan peristiwa yang bisa dijadwalkan ada banyak jenis. Jika media Anda memperoleh undangan konferensi pers, peluncuran produk baru dari sebuah perusahaan, peliputan festival musik tertentu, atau undangan mengikuti lawatan Presiden ke daerah, itu adalah jenis liputan yang bisa dijadwalkan.

Sedangkan liputan peristiwa yang tak bisa dijadwalkan, misalnya: bencana alam (gempa bumi, tsunami, tanah longsor), kecelakaan (pesawat terbang jatuh, kereta api terguling, kapal tenggelam), kriminalitas (perampokan, pencurian, pemerkosaan), aksi terorisme, dan sebagainya.

Karena semua peristiwa ini tak bisa direncanakan (kecuali Anda seorang peramal jitu atau justru seorang penjahat yang merencanakan aksi kejahatan), yang bisa dilakukan media hanyalah menyiapkan jurnalis atau desk khusus, yang selalu bersiaga untuk mengantisipasi kejadian-kejadian dadakan.

Selama tidak ada kejadian yang luar biasa, jurnalis atau desk khusus ini bukan lantas menganggur, tetapi mereka disuruh membantu melakukan liputan rutin biasa. Atau, bisa juga mereka didedikasikan untuk melakukan liputan investigatif, yang memang butuh waktu lama.

Perencanaan Peliputan Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Dari segi waktu, perencanaan peliputan mengenal perencanaan jangka pendek dan jangka panjang. Perencanaan liputan untuk seminggu atau sebulan ke depan, termasuk perencanaan jangka pendek. Sedangkan perencanaan peliputan untuk setahun ke depan, merupakan perencanaan jangka panjang. Rentang setahun ini sudah maksimal.

Mengapa tidak direncanakan untuk dua tahun, atau bahkan lima tahun ke depan? Berbeda dengan rancangan APBN (Anggaran Pembelian dan Belanja Negara), yang menyangkut prediksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi beberapa tahun ke depan, yang bisa dihitung dalam angka persen, liputan berita terlalu dinamis dan terlalu tak terduga, untuk bisa direncanakan sampai lebih dari setahun ke depan. Perencanaan liputan semacam itu juga tidak praktis dan tidak efektif, karena pasti akan mengalami banyak revisi, perubahan, dan pergeseran.

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Momen Hari Besar

Perencanaan peliputan dapat dilakukan dengan mengacu pada momen-momen tertentu, yang sudah diketahui sebelumnya. Misalnya, liputan yang terkait dengan hari-hari besar dan hari libur nasional. Perencanaan liputan untuk bulan puasa dan Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, Imlek, dan sebagainya sudah bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, karena hari-hari besar itu sudah tertera di kalender.

Ada juga momen-momen lain yang lebih khusus, seperti: Hari Wanita Internasional (8 Maret), Hari Pendidikan Nasional (2 Mei), Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), HUT Kota Jakarta (22 Juni), Hari Bhayangkara (1 Juli), HUT TNI (5 Oktober), Hari Guru (25 November), dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember).

Bahkan media bisa menyiapkan liputan khusus untuk mengenang atau melakukan refleksi atas momen-momen istimewa, seperti bencana tsunami Aceh, revolusi Mei (jatuhnya rezim Soeharto), hari kelahiran Bung Karno, kasus bom Bali, dan sebagainya.
Di bawah ini adalah daftar (sebagian) tanggal, yang terkait dengan momen, peringatan, atau peristiwa tertentu, meski mungkin tidak harus dianggap sebagai hari besar nasional:

1 Januari Hari Perdamaian Dunia
5 Januari HUT Korps Wanita Angkatan Laut
25 Januari Hari Gizi
25 Januari Hari Kusta Internasional
9 Februari Hari Pers Nasional
1 Maret Hari Kehakiman Indonesia
6 Maret Hari Kostrad
8 Maret Hari Wanita Internasional
10 Maret Hut PARFI
23 Maret Hari Metereologi Sedunia
30 Maret Hari Film Indonesia
1 April HUT Bank Dunia
6 April Hari Nelayan Indonesia
7 April Hari Kesehatan Indonesia
9 April Hari Penerbangan Nasional
19 April Hari HANSIP
21 April Hari Kartini
24 April Hari Angkutan Nasional
27 April Hari Lembaga Pemasyarakatan Indonesia
1 Mei Hari Buruh Internasional
2 Mei Hari Pendidikan Nasional
5 Mei Hari Lembaga Sosial Desa
8 Mei Hari Palang Merah Internasional
11 Mei Hari POM TNI
17 Mei Hari Buku Nasional
20 Mei Hari Kebangkitan Nasional
1 Juni Hari Lahirnya Pancasila
3 Juni Hari Pasar & Modal Indonesia
5 Juni Hari Lingkungan Hidup Sedunia
21 Juni Hari Krida Pertanian
22 Juni HUT Kota Jakarta
24 Juni Hari Bidan Indonesia
29 Juni Hari keluarga Nasional
1 Juli Hari Bhayangkara
5 Juli Hari Bank Indonesia
9 Juli Hari Peluncuran Satelit Palapa
12 Juli Hari Koperasi Indonesia
22 Juli Hari Kejaksaan
23 Juli Hari Anak Nasional
8 Agustus Hari ASEAN
10 Agustus Hari Veteran Nasional
14 Agustus Hari Pramuka
17 Agustus Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
18 Agustus Hari Konstitusi Indonesia
19 Agustus Hari Departemen Luar Negeri
21 Agustus Hari Maritim Nasional
24 Agustus HUT TVRI
1 September Hari POLWAN
4 September Hari Pelanggan Nasional (mulai 2003)
8 September Hari Aksara
8 September Hari Pamong Praja
9 September Hari Olahraga Nasional
11 September Hari Radio Republik Indonesia
17 September Hari Perhubungan Nasional
24 September Hari Agraria Nasional / Hari Tani
28 September Hari Kereta Api
29 September Hari Sarjana
30 September Hari Pemberontakan PKI
1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila
5 Oktober HUT Tentara Nasional Indonesia
9 Oktober Hari Surat Menyurat Internasional
14 Oktober Hari Pangan Sedunia
16 Oktober Hari Parlemen RI
24 Oktober HUT PBB
28 Oktober Hari Sumpah Pemuda
30 Oktober Hari Keuangan
10 November Hari Pahlawan
12 November Hari Kesehatan Nasional
14 November Hari BRIMOB
21 November Hari Pohon
25 November Hari Guru / HUT PGRI
1 Desember Hari AIDS sedunia
4 Desember Hari Artileri
9 Desember Hari Armada RI
10 Desember Hari HAM
12 Desember Hari Transmigrasi
15 Desember Hari Infantri
22 Desember Hari Ibu
22 Desember Hari Sosial
22 Desember Hari Korps Wanita Angkatan Darat

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Isu yang Berkembang

Staf redaksi harus peka dan kritis mengamati isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Jika ada isu atau tren yang penting dan mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak, maka staf redaksi harus sigap dalam mengarahkan peliputan. Bahkan, jika perlu harus siap mengubah prioritas pemberitaan, karena ada isu-isu yang dipandang lebih mendesak.

Kasus penculikan anak yang tiba-tiba marak, banyaknya kasus tenaga kerja Indonesia yang disiksa atau terancam hukuman mati di luar negeri, kasus terorisme yang memakan korban besar, terungkapnya korupsi besar di lingkungan pejabat istana, kasus penggelapan dana nasabah di sebuah bank asing besar, dan lain-lain, semua itu bisa mengubah arah pemberitaan.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa perencanaan peliputan tidak selalu mengikuti garis linear, seperti rencana peliputan berdasarkan momen hari besar nasional. Justru “ketidakteraturan” dan adanya “unsure kejutan” inilah yang membuat dunia jurnalistik sangat dinamis, menantang, dan menarik diterjuni.


Perencanaan Peliputan Berdasarkan Pertimbangan Sirkulasi

Bagi media cetak seperti Koran Jakarta, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Koran Tempo, dan sebagainya, tak bisa tidak jika ingin memperbesar sirkulasinya maka mereka harus memperbesar cakupan wilayah, yang menjadi sasaran utama distribusi medianya.

Wilayah yang menjadi sasaran itu tentunya adalah wilayah yang memiliki potensi pembaca cukup besar, baik dilihat berdasarkan populasi ataupun daya belinya. Agar media cetak itu diapresiasi dan dikonsumsi di wilayah bersangkutan, media perlu mengangkat isu-isu atau pemberitaan yang terkait dengan kepentingan atau minat pembaca di wilayah bersangkutan.

Jika sebuah media cetak nasional ingin memperluas sirkulasi di wilayah Jawa Timur, misalnya, media itu tentu harus memperbanyak porsi berita yang terkait dengan Jawa Timur. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya.

Harian Kompas pernah bersaing ketat dengan Jawa Pos, yang sebagai koran lokal memiliki basis sangat kuat di Jawa Timur. Untuk mengatasi dominasi Jawa Pos di Jawa Timur, Kompas menyediakan halaman khusus berisi berita-berita yang terkait dengan Jawa Timur. Pembaca Kompas di wilayah Jawa Timur akan menemukan sisipan halaman khusus tersebut. Kelompok Kompas-Gramedia kemudian juga mendirikan koran lokal Surya, yang berbasis di Surabaya, sebagai pesaing Jawa Pos.

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Pertimbangan Iklan (Marketing)

Tren yang menguat dalam bisnis media, yang diwujudkan dalam mekanisme kerja newsroom (keredaksian) pada beberapa tahun terakhir ini, adalah semakin tipisnya sekat atau batas antara bidang keredaksian dan bidang usaha/bisnis (mencakup pemasaran dan iklan). Terdapat koordinasi atau sinergi yang semakin erat antara kedua bidang tersebut, yang sebelumnya seolah-olah jalan sendiri-sendiri dan enggan bersinggungan.

Sebagai contoh, sejumlah suratkabar memiliki rubrik yang tampil berkala, katakanlah, setiap dua atau tiga minggu sekali. Tak jarang untuk rubrik itu disediakan beberapa halaman khusus. Halaman khusus itu, misalnya, berisi mengenai otomotif, teknologi informasi, pendidikan, wisata, dan sebagainya.

Jadi, sudah dimasukkan dalam perencanaan peliputan bahwa pada hari Kamis, minggu ketiga bulan depan, akan ada rubrik dan halaman khusus otomotif. Sejumlah staf redaksi pun ditugaskan untuk menyiapkan liputan yang terkait dengan isu-isu otomotif.

Misalnya: liputan dampak tsunami dan rusaknya fasilitas produksi otomotif di Jepang terhadap pertumbuhan industri otomotif (mobil-mobil Jepang) di Indonesia. Untuk kepentingan para pengguna mobil Jepang di Indonesia, yang prihatin pada ketersediaan suku cadang bagi mobilnya, juga disiapkan artikel tersendiri soal suku cadang. Ada juga artikel tentang peluang industri lokal, dalam membuat suku cadang pengganti untuk mobil-mobil merek Jepang.

Pada saat yang sama, bagian pemasaran dan iklan di media bersangkutan giat mencari iklan, yang terkait dengan industri otomotif, untuk dimuat di halaman khusus otomotif tersebut. Mulai dari iklan mobil, ban, pelumas mesin, asesoris mobil, dan sebagainya.

Tak jarang, pemilihan tanggal untuk kemunculan halaman khusus ini juga dikaitkan dengan event besar tertentu, seperti akan diselenggarakannya Pameran Otomotif Nasional 2011, atau Pameran Komputer dan Teknologi Informasi 2011, dan hal-hal lain semacam itu. Bedanya dengan event hari besar nasional yang sudah diuraikan sebelumnya, event yang dimaksud di sini adalah event yang bersifat komersial.

Di sini terlihat bahwa pilihan topik dan isi liputan memang sengaja dilakukan berkoordinasi dengan bagian pemasaran/iklan, meski liputan itu tetap menggunakan kaidah jurnalistik yang biasa (bukan iklan terselubung). Tetapi, tidak terhindarkan, bisa terjadi konflik kepentingan internal, di mana staf bagian pemasaran/iklan akan sangat berkeberatan jika pihak redaksi ingin memuat artikel, yang kritis terhadap industri otomotif tertentu.

Artikel kritis dikhawatirkan akan merusak peluang iklan otomotif di media bersangkutan. Padahal, keberhasilan staf pemasaran/iklan diukur dari seberapa banyak iklan dan pemasukan keuangan yang bisa ia dapatkan. Sedangkan, staf redaksi dan para reporter beranggapan, integritas mereka sebagai jurnalis harus ditunjukkan dengan sikap kritis dan independen dalam pemberitaan. Mereka tak mau semata-mata menjadi corong pemasang iklan.

Kita bisa bicara dan berdebat panjang lebar tentang pengaruh iklan pada pemberitaan media, dan tarik-menarik antara aspek idealisme jurnalistik dan aspek komersial industri media. Tetapi hal itu membutuhkan pembahasan tersendiri dan sudah di luar kapasitas tulisan ini.

Simulasi dan Latihan:
Diskusi Kelompok dan Presentasi

1. Sebagai simulasi membuat perencanaan peliputan, cobalah dari seluruh peserta pelatihan dibentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok memilih ketuanya sendiri.
2. Salah satu atau dua anggota kelompok berperan sebagai staf pemasaran/iklan, yang berkepentingan untuk mencari peluang iklan.
3. Masing-masing kelompok diminta membuat perencanaan peliputan untuk periode katakanlah dua bulan ke depan, berdasarkan kriteria yang telah diuraikan sebelumnya (aspek momen hari besar nasional, isu-isu yang sedang hangat dan berkembang di masyarakat, pengembangan sirkulasi untuk wilayah tertentu, dan pertimbangan potensi iklan yang bisa diraih untuk halaman khusus).
4. Sesudah tiap kelompok berdiskusi selama sekitar 15 menit dan merumuskan hasilnya, ketua kelompok mempresentasikan hasil pemikiran kelompoknya di depan kelompok-kelompok lain untuk dikritisi, dikomentari, atau diberi masukan.
5. Kelompok terbaik adalah yang dapat menghasilkan perencanaan peliputan, yang bukan saja kuat, berkualitas, dan layak dari sisi jurnalistik, tetapi juga berpotensi memberi pemasukan iklan yang signifikan. Selamat bekerja!

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Tekhnik Wawancara


Apakah yang dinamakan wawancara itu? Wawancara adalah tanya-jawab dengan seseorang untuk mendapatkan keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah. Wawancara sering dihubungkan dengan pekerjaan jurnalistik untuk keperluan penulisan berita yang disiarkan dalam media massa. Namun wawancara juga dapat dilakukan oleh pihak lain untuk keperluan, misalnya, penelitian atau penerimaan pegawai.

Orang yang mewawancarai dinamakan pewawancara (interviewer) dan orang yang diwawancarai dinamakan pemberi wawancara (interviewee) atau disebut juga responden. Seperti percakapan biasa, wawancara adalah pertukaran informasi, opini, atau pengalaman dari satu orang ke orang lain.

Dalam sebuah percakapan, pengendalian terhadap alur diskusi itu bolak-balik beralih dari satu orang ke orang yang lain. Meskipun demikian, jelas bahwa dalam suatu wawancara si pewawancara adalah yang menyebabkan terjadinya diskusi tersebut dan menentukan arah dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.


Tujuan Wawancara

Tujuan seorang reporter melakukan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang lengkap, akurat, dan adil (fair). Seorang pewawancara yang baik mencari sebuah pengungkapan atau wawasan (insight), pikiran atau sudut pandang yang menarik, yang cukup bernilai untuk diketahui. Jadi bukan sesuatu yang sudah secara umum didengar atau diketahui.

Perbedaan penting antara wawancara dengan percakapan biasa adalah wawancara bertujuan pasti: menggali permasalahan yang ingin diketahui untuk disampaikan kepada khalayak pembaca (media cetak), pendengar (radio), atau pemirsa (televisi). Namun berbeda dengan penyidik perkara atau interogator, wartawan tidak memaksa tetapi membujuk orang agar bersedia memberikan keterangan yang diperlukan.

Dalam proses wawancara, si pewawancara atau wartawan bersangkutan benar-benar harus meredam egonya, dan pada saat yang sama harus melakukan pengendalian tersembunyi. Ini adalah sesuatu yang sulit. Pernahkah Anda melihat dalam suatu acara talkshow di televisi, di mana si pewawancara malah bicara lebih banyak dan seolah-olah ingin kelihatan lebih pintar daripada orang yang diwawancarai? Ini adalah contoh yang menunjukkan, si pewawancara gagal meredam egonya dan dengan demikian memperkecil peluang bagi orang yang diwawancarai untuk mengungkapkan lebih banyak.

Dalam proses wawancara, si pewawancara memantau semua yang diucapkan oleh dan bahasa tubuh dari orang yang diwawancarai, sambil berusaha menciptakan suasana santai dan tidak-mengancam, yakni suasana yang kondusif bagi berlangsungnya wawancara.

Dalam prakteknya, berbagai pikiran muncul di benak si pewawancara ketika wawancara sedang berlangsung. Seperti: Apa yang harus saya tanyakan lagi? Bagaimana nada bicara orang yang diwawancarai ini? Dari gerak tubuh dan nada suaranya, apakah terlihat ia bicara jujur atau mencoba menyembunyikan sesuatu?


Sifat Wawancara

Seorang pewawancara secara sekaligus melakukan berbagai hal: mendengarkan, mengamati, menyelidiki, menanggapi, dan mencatat. Kadang-kadang ia seperti seorang penginterogasi, kadang-kadang secara tajam ia menyerang dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan orang yang diwawancarai, kadang-kadang ia mengklarifikasi, kadang-kadang pula ia seperti pasif atau menjadi pendengar yang baik. Seberapa sukses suatu wawancara tergantung pada kemampuan melakukan kombinasi berbagai keterampilan yang ini secara pas, sesuai dengan tuntutan situasi dan orang yang diwawancarai.

Sifat wawancara bermacam-macam, tergantung dari informasi apa yang diinginkan si pewawancara dan bagaimana situasi serta kondisi yang dihadapi orang yang diwawancarai. Sifat wawancara bisa sangat bervariasi, dari yang biasa-biasa saja sampai yang antagonistik. Dari yang mempertunjukkan luapan perasaan sampai yang bersifat defensif dan menutup diri.

Jika seorang wartawan mewawancarai seorang pejabat pemerintah tentang keberhasilan salah satu programnya, tentu si wartawan akan mendapat tanggapan yang baik dan panjang-lebar. Namun jika si wartawan mencoba mengungkap praktek korupsi yang diduga dilakukan oleh pejabat bersangkutan, tentu si pejabat akan bersikat defensif bahkan tertutup.

Wartawan yang baik harus mengerti bagaimana cara “memegang” orang yang diwawancarai dan menangani situasi. Wartawan harus bisa merasakan, apa yang harus dilakukan pada momen tertentu ketika berlangsung wawancara –kapan ia harus bersikap lembut, kapan harus ngotot atau bersikap keras, kapan harus mendengarkan tanpa komentar, dan kapan harus memancing dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.


Persiapan Wawancara

Banyak orang sering meremehkan tahapan awal ini, padahal tanpa persiapan yang baik wawancara tidak akan menghasilkan sesuai harapan. Persiapan teknis, seperti tape recorder untuk merekam wawancara, notes, kamera, dan sebagainya. Wartawan umumnya menggunakan catatan tertulis (notes) dan tidak boleh terlalu tergantung pada alat elektronik. Tapi alat elektronik seperti tape recorder cukup penting untuk mengecek ulang, apabila ada yang terlupa atau ada informasi yang meragukan, sehingga dikhawatirkan bisa salah kutip.

Di Indonesia, banyak kasus di mana pejabat pemerintah mengingkari lagi pernyataan yang diberikan kepada wartawan, sesudah pernyataan yang dimuat media massa itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat. Wartawan disalahkan dan dituding “salah kutip,” bahkan diancam akan diperkarakan di pengadilan.

Untuk menghindari risiko ini, banyak gunanya jika wawancara itu direkam dan setiap saat dibutuhkan bisa diputar kembali. Rekaman elektronik memang belum bisa menjadi alat bukti di pengadilan, namun bisa menjadi indikator tentang siapa yang benar dalam kontroversi tuduhan “wartawan salah kutip” tadi.

Selain persiapan teknis, yang harus diingat pertama kali dalam liputan investigasi adalah kita tidak memulai wawancara tentang suatu masalah dari nol. Sebelum mengatur waktu dan tempat pertemuan dengan narasumber untuk wawancara, wartawan sendiri harus jelas tentang beberapa hal:

Persoalan apa yang mau ditanyakan? Apakah persoalan itu menyangkut korupsi yang diduga dilakukan seorang pejabat pemerintah, atau tentang pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan sebuah perusahaan pertambangan, si wartawan harus memiliki pemahaman dasar tentang permasalahan tersebut. Bila pemberi wawancara melihat wartawan itu tidak menguasai permasalahan, ia mungkin enggan memberi informasi lebih lanjut.


Menentukan Nara Sumber

Setelah wartawan yakin telah menguasai permasalahan, langkah berikutnya adalah menentukan siapa sumber yang akan diwawancarai. Orang dapat bermanfaat sebagai pemberi wawancara karena sejumlah alasan. Pemberi wawancara yang ideal adalah yang memenuhi semua faktor ini. Untuk proyek peliputan yang panjang, faktor-faktor ini menjadi penting:

Kemudahan diakses (accessibility). Apakah wartawan dengan mudah dapat mewawancarai orang ini? Jika tidak mudah dihubungi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menghubungi? Apakah wawancara harus dilakukan lewat telepon atau tertulis, ketimbang bertemu muka langsung? Jika narasumber ini bersifat vital bagi peliputan, wartawan harus realistis tentang prospek wawancara ini.

Reliabilitas (reliability). Apakah orang ini bisa dipercaya sebelumnya? Apakah informasi yang diberikan bisa dibuktikan benar oleh sumber-sumber independen lain? Apakah narasumber ini pakar yang betul-betul mengetahui permasalahan? Apa latar belakang kepentingannya sehingga ia bersedia diwawancarai? Wartawan harus hati-hati, karena ia akan terlihat bodoh jika melaporkan isu atau desas-desus yang belum jelas kebenarannya.

Akuntabilitas (accountability). Apakah orang ini secara langsung bertanggungjawab atas informasi yang diinginkan wartawan atau atas tindakan-tindakan yang sedang diinvestigasi? Apakah ada sumber lain yang lebih punya otoritas tanggungjawab langsung ketimbang orang ini? Berapa orang sebenarnya yang diwakili oleh seseorang yang menyebut diri sebagai juru bicara?

Dapat-tidaknya dikutip (quotability). Mewawancarai seorang pakar yang fasih dan punya informasi lengkap mungkin dapat mengembangkan tulisan, seperti seorang pejabat publik yang blak-blakan dan suka membuat pernyataan-pernyataan kontroversial. Para tokoh masyarakat atau selebritis biasanya sudah tahu, ucapan macam apa yang suka dikutip wartawan. Sedangkan orang awam biasanya tidak ahli dalam “merekayasa” komentar yang bagus buat dikutip wartawan.


Mengatur Waktu dan Tempat Wawancara

Sesudah jelas materi yang mau ditanyakan dan orang yang akan diwawancarai, ditentukanlah waktu dan tempat untuk wawancara. Wawancara bisa dilakukan di rumah atau kantor nara sumber. Jika di rumah, suasananya akan lebih santai dan informal. Jika di kantor, suasananya akan lebih formal.

Namun seringkali, rumah atau pun kantor bukanlah empat yang pas untuk wawancara investigatif. Jika narasumber akan memberikan informasi yang sifatnya rahasia, maka kemungkinan besar ia tidak ingin diketahui oleh publik atau atasannya telah menyampaikan informasi tersebut kepada pers. Hal itu karena bisa berisiko pada keselamatan dirinya, keluarganya, jabatannya, atau karir politiknya. Maka harus diatur pertemuan di tempat dan waktu tertentu secara khusus.

Pengaturan waktu dan tempat di atas berlangsung dalam kondisi “normal”, artinya nara sumber memang sudah bersedia diwawancarai. Namun ada kalanya narasumber sengaja menghindar, mungkin karena merasa terancam keselamatannya atau ia sendiri mungkin terlibat dalam permasalahan. Dalam kondisi demikian, wartawanlah yang harus aktif melacak lokasi keberadaan narasumber, mengejar, mencegat narasumber tersebut untuk diwawancarai.

Wartawan jangan mudah patah semangat dan jangan mundur menghadapi penolakan, perlakuan tidak ramah, atau sikap dingin dari sumber berita. Perlakuan semacam ini kadang-kadang diberikan oleh seorang pejabat pemerintah kepada wartawan baru.

SM. Ali, mantan Redaktur Pelaksana Bangkok Post yang berasal dari Banglades menyatakan, berdasarkan pengalamannya mewawancarai sejumlah pejabat dan pemimpin nasional di Asia, selalu ada kesempatan pertemuan lain. Banyak pejabat yang pada pertemuan pertama sama sekali tidak komunikatif, tetapi mereka kemudian luar biasa ramahnya pada pertemuan-pertemuan berikutnya.


Narasumber yang Enggan Diwawancarai

Namun ada juga narasumber yang memang betul-betul tidak ingin diwawancarai, walaupun mereka tidak terang-terangan mengatakan “tidak.” Yang mereka lakukan adalah menghindar dengan cara tidak menjawab telepon, atau meminta sekretarisnya untuk mengatakan “Bapak sedang ke luar kantor,” jika ada permintaan wawancara dari wartawan. Sehingga wartawan merasa dipermainkan atau diremehkan.

Jika wartawan menghadapi narasumber yang enggan diwawancarai, padahal sumber itu sangat vital bagi peliputan yang sedang dilakukan, wartawan tersebut punya tiga pilihan: Pertama, menuliskan hasil liputan tanpa wawancara itu. Kedua, menuliskan hasil liputan dengan tambahan keterangan bahwa setelah berusaha dihubungi berulang kali, narasumber tetap tidak menjawab panggilan telepon, pesan fax, atau surat permintaan wawancara. Ketiga, meyakinkan narasumber untuk bersedia diwawancarai.

Orang yang tak mau diwawancarai mungkin menolak wawancara karena beberapa alasan, seperti:

1. Waktu. Calon pemberi wawancara, yang mengatakan “Saya tak punya waktu untuk wawancara,” sebenarnya ingin memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang lain ketimbang diwawancarai oleh wartawan. Mereka memperkirakan lama waktu yang dihabiskan untuk wawancara, dan menghitung manfaat wawancara itu dibandingkan dengan jika waktunya dipakai untuk kepentingan lain.

2. Rasa bersalah. Orang mungkin tak mau diwawancarai karena takut kelepasan bicara, mengakui telah melakukan suatu kesalahan, atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin mereka ungkapkan.

3. Kecemasan. Seorang pemalu mungkin takut pada pengalaman diwawancarai. Ketakutan pada sesuatu yang belum dikenal membuat mereka cenderung menolak risiko pengalaman baru diwawancarai.

4. Perlindungan. Orang mungkin menolak diwawancarai karena ingin melindungi keluarga, teman, atau orang lain yang dicintai, atau orang lain yang diketahui melakukan perbuatan salah. Calon pemberi wawancara mungkin juga takut dikaitkan dengan pernyataan atau komentar yang bisa mempermalukan atau mengecam pihak lain.

5. Ketidaktahuan. Calon pemberi wawancara bisa jadi menolak wawancara, karena tak mau mengakui bahwa dia tidak tahu apa-apa atau hanya tahu sedikit sekali tentang masalah yang dijadikan fokus wawancara.

6. Mempermalukan. Orang mungkin menolak wawancara karena masalah yang mau dipertanyakan itu membuat dirinya merasa malu, risih, atau dianggap terlalu intim dan pribadi sifatnya.

7. Tragedi. Orang yang baru mengalami musibah berat mungkin tidak ingin mengungkapkan masalahnya itu kepada umum. Padahal wartawan dengan tulisannya akan mengubah masalah yang bersifat pribadi itu menjadi konsumsi publik.


Pelaksanaan Wawancara

Pertama yang harus dilakukan oleh wartawan adalah memberi rasa aman kepada narasumber, agar ia merasa santai, tenang, dan mau terbuka memberi informasi. Wartawan harus memberi keyakinan kepada narasumber bahwa wartawan tersebut dan medianya itu bisa dipercaya, dan mampu menyimpan rahasia (terutama jika narasumber tak ingin identitasnya dimuat di media massa).

Kepercayaan dari pemberi wawancara ini sangat penting. Kalau pewawancara tidak memperoleh kepercayaan dari sumber berita, maka informasi yang ia peroleh tidak akan lebih dari keterangan rutin, ulangan beberapa fakta yang sudah sering dimuat, pernyataan normatif yang sudah tidak perlu diperdebatkan, atau jawaban yang sifatnya mengelak belaka.

Sesudah penciptaan suasana kondusif itu, dimulailah wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka. Pertanyaan pembuka ini sifatnya masih memberi rasa aman dan kepercayaan pada narasumber. Pertanyaan inti dan tajam, yang berisiko merusak suasana wawancara, harus disimpan dan baru dilontarkan pada momen yang tepat. Dari tanya-jawab awal, wartawan sudah bisa meraba bagaimana kondisi mental dan emosional narasumber, sehingga wartawan bisa memilih momen yang tepat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut.

Pewawancara mengikuti arah pertanyaannya sampai yakin tidak ada yang dapat digali lagi. Selama wawancara, pertanyaan sebaiknya disusun dalam kalimat-kalimat yang pendek dan cermat. Hindarkan pertanyaan yang tidak langsung berhubungan dengan masalah yang ingin diinvestigasi, dan jangan bertele-tele.

Untuk meluaskan komentar dan pernyataan dari orang yang diwawancarai, wartawan dapat mengajukan pertanyaan terbuka (open-ended). Sedangkan untuk memperoleh informasi yang spesifik dan rinci tentang sesuatu hal, harus diajukan pertanyaan tertutup (closed-ended).
Pertanyaan terbuka –biasanya pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”—memungkinkan pemberi wawancara berspekulasi, untuk menawarkan opini, pengamatan, atau deskripsi.

Pewawancara yang mengajukan pertanyaan terbuka berarti menawarkan peluang bagi komentar dan arah dari pemberi wawancara. Pertanyaan terbuka itu, misalnya, “Bagaimana pandangan Anda tentang tuduhan bahwa pabrik Anda mencemarkan lingkungan?” atau “Mengapa Anda begitu yakin bahwa pabrik Anda tidak mencemarkan lingkungan?”

Pertanyaan terbuka mengundang tanggapan yang lebih lengkap dari pemberi wawancara, yang bisa memilih seberapa panjang dan bagaimana isi jawabannya. Pertanyaan terbuka ini mengundang kerjasama dan partisipasi dari pemberi wawancara. Pemberi wawancara yang menjawab pertanyaan-pertanyaan terbuka mungkin juga bersedia memberi informasi lebih jauh dengan sukarela. Jawaban pertanyaan terbuka, selain lebih spekulatif, juga akan mencerminkan kepribadian pemberi wawancara.

Sedangkan pertanyaan tertutup berusaha mengarahkan pemberi wawancara ke jawaban yang spesifik. Misalnya, “Apakah Anda merasa gembira atau sedih dengan terungkapnya kasus kebocoran limbah pabrik ini?” atau “Berapa kali kebocoran tangki penyimpan limbah ini pernah terjadi sebelumnya?” Dengan pertanyaan semacam ini, pewawancara mengisyaratkan sebuah pilihan atau harapan bagi kesimpulan yang bisa dikuantifikasikan (diukur secara numerik).

Pertanyaan tertutup dapat menghemat waktu karena lebih spesifik. Pertanyaan semacam ini biasanya menghasilkan jawaban-jawaban pendek, lebih berjarak dari pemberi wawancara, dan kurang memberi peluang partisipasi. Pertanyaan tertutup berguna untuk memperoleh informasi faktual. Informasi presisi itu merupakan hasil dari pertanyaan yang bisa dikuantifikasikan, yang dapat memberikan angka spesifik atau statistik yang otoritatif dan dapat digunakan dalam penulisan.

Pewawancara, yang membutuhkan anekdot untuk tulisan tentang profil seseorang, akan lebih berhasil jika menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Wawancara memang akan berlangsung lebih lama, namun pemberi wawancara akan merasa lebih percaya dan lebih bersedia memberikan anekdot khas dan pengamatannya.

Sedangkan wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup lebih cocok untuk penulisan berita yang cepat atau untuk situasi di mana wartawan membutuhkan jawaban spesifik pada periode waktu yang singkat. Pewawancara yang baik dapat mengkombinasikan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan tertutup, untuk membuat tulisan dengan rincian spesifik, tetapi juga diwarnai oleh anekdot pemberi wawancara.


Sifat Wawancara

Di dalam lingkungan pers internasional dikenal wawancara yang sifatnya berbeda-beda. Antara lain:
On the Record. Nama dan jabatan pemberi wawancara dapat digunakan sebagai sumber, dan keterangannya boleh dikutip langsung serta dimuat di media massa. Ini adalah bentuk wawancara yang terbaik dan paling umum dilakukan di media massa.

Off the Record. Pemberi wawancara tidak dapat digunakan sebagai sumber dan keterangannya sama sekali tidak boleh dimuat di media massa. Jurnalis harus berusaha keras menghindari situasi seperti ini.

Background. Boleh menggunakan kutipan langsung atau menyiarkan keterangan apapun yang diberikan, tetapi tanpa menyebutkan nama dan jabatan pemberi wawancara sebagai sumbernya. Misalnya, digunakan istilah “menurut sumber di departemen/badan...” menurut persyaratan yang disepakati dengan pemberi wawancara. Kadang-kadang disebut juga “not for attribution”.

Deep Background. Informasi bisa dimuat, tetapi tidak boleh menggunakan kutipan langsung atau menyebut nama, jabatan, dan instansi pemberi wawancara.

Reporter harus memberitahu redaktur tentang sifat wawancara yang dilakukannya. Apapun bentuk kesepakatan yang telah dicapai dengan pemberi wawancara, itu harus dihormati dan terwujud dalam pemberitaan. Kalau pemberi wawancara tidak ingin disebut namna dan jabatannya, misalnya, nama dan jabatannya itu tegas tidak boleh dimuat. Redaktur perlu diberitahu karena begitu berita hasil wawancara itu dimuat, tanggung jawab atas isi berita tidak lagi terletak di pundak reporter, tetapi menjadi tanggungjawab institusi media bersangkutan.

Meskipun pemberi wawancara berhak menyembunyikan identitasnya, wartawan sedapat mungkin harus meyakinkan pemberi wawancara agar bersedia disebutkan identitasnya. Sebab, apabila terlalu banyak sumber berita yang tidak jelas identitasnya, kredibilitas wartawan dipertaruhkan. Tingkat kepercayaan pembaca terhadap isi tulisannya juga semakin besar, seolah-olah isi tulisan itu hanya berdasarkan gosip, isu, kabar angin atau bahkan “karangan” wartawan belaka.

Keraguan ini muncul bisa jadi karena adanya praktek pelanggaran kode etik yang dilakukan sejumlah wartawan Indonesia. Misalnya, sejumlah artis mengeluh karena ditulis begini dan begitu, padahal artis ini tidak merasa pernah diwawancarai wartawan bersangkutan. Namun karena posisi artis yang sangat membutuhkan publisitas dan dukungan media massa, para artis ini tidak mau ribut-ribut ke Dewan Pers atau pengadilan mengadukan masalahnya.


Referensi:

Biagi, Shirley (1986). Interviews That Works: A Practical Guide for Journalists. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Gil, Generoso J. (1993). Wartawan Asia: Penuntun Mengenai Teknik Membuat Berita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Pakpahan, Roy (ed.) (1998). Penuntun Program Jurnalistik Terpadu Bagi Kalangan LSM. Jakarta: INPI-Pact-SMPI.

Reddick, Randy, dan Elliot King (1996). Internet untuk Wartawan. Internet untuk Semua Orang. (Penerjemah: Masri Maris). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Perencanaan dan Strategi Peliputan PILKADA


Pendahuluan
Peliputan terhadap topik tertentu membutuhkan perencanaan liputan yang baik, bahkan juga strategi peliputan. Hal ini terutama dibutuhkan untuk meliput event yang membutuhkan waktu lama, mencakup wilayah liputan yang cukup luas, dan memiliki berbagai aspek yang terkait.

Peliputan pilkada termasuk salah satu contoh yang pas. Hal ini karena proses pilkada tidak cuma berlangsung satu hari (pada hari pemungutan suara), tetapi beberapa minggu, bahkan beberapa bulan. Terutama, jika kita memperhitungkan proses peliputan, mulai dari kasak-kusuk persaingan di masing-masing partai politik (sebelum penetapan calon kepala daerah), penetapan calon di masa pra-kampanye, masa kampanye, pemungutan suara, perhitungan suara, sampai terpilih kepala daerah yang disahkan secara resmi.

Pilkada juga tidak cuma berlangsung di satu lokasi, tetapi di beberapa lokasi, dengan karakteristik demografis yang berbeda pula. Selain itu, karena pilkada itu tidak berlangsung dalam ruang vakum, penyelengaraan pilkada tidak mungkin dipisahkan dari berbagai aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, bahkan kondisi keamanan di daerah bersangkutan.

Sedangkan, yang dimaksudkan dengan strategi peliputan di sini adalah bagaimana media bisa menghasilkan liputan yang baik, berkualitas, mencerahkan, bahkan memberdayakan pembaca.[1] Sementara, hasil liputan yang baik itu dicapai dengan mengatasi keterbatasan media dalam hal sarana peliputan, biaya, sumberdaya manusia, dan sebagainya.

Semua ini juga harus memperhitungkan bahwa tidak semua peliputan jurnalistik bisa direncanakan. Dalam praktik jurnalistik, tiap jurnalis harus siap meliput hal-hal tak terduga, yang tak bisa direncanakan, seperti: bencana alam, tsunami, gempa bumi, kecelakaan pesawat terbang, aksi terorisme, dan sebagainya.

Sedangkan dalam dunia politik, hal-hal yang tak terduga ini bisa dikurangi dengan pemahaman dan analisis yang baik terhadap situasi dan kondisi politik setempat. Sebagai jurnalis, kita tentu harus paham peta politik setempat, siapa saja aktor yang bermain (tokoh, lembaga, parpol, organisasi, dan lain-lain), dan apa kepentingan mereka masing-masing. Jika kita sudah memahami hal ini, kita tak akan terkaget-kaget melihat perkembangan yang terjadi di lapangan.
Perencanaan Peliputan

Dalam perencanaan peliputan, saya akan mulai dengan pendekatan yang sederhana. Yaitu, pendekatan lewat rumus 5 W + 1 H (apa, siapa, mengapa, di mana, kapan + bagaimana). Saya akan mengajukan sejumlah pertanyaan lewat rumus 5 W + 1 H ini, sebagai berikut:

APA:
· Apa yang menjadi isu utama dalam pilkada kali ini? Misalnya: Apakah rakyat memang mendukung pilkada? (ini akan terlihat dari tingkat partisipasi mereka dalam proses pilkada).
· Apakah daerah ini siap melaksanakan pilkada, secara jujur, adil, bebas, rahasia, aman, tertib, legal-konstitusional, dan betul-betul mewujudkan aspirasi demokratis rakyat? (Di sini mencakup kesiapan KPU secara teknis-operasional, dukungan dana, dan sebagainya).
· Apakah keberadaan pilkada ini akan mendukung atau memberi sarana bagi penyelesaian masalah-masalah utama yang dihadapi rakyat/daerah? Atau sebaliknya, justru berpotensi menghasilkan masalah-masalah baru? (Misalnya: potensi konflik antar-elemen masyarakat, yang justru bisa meruncing dan meledak menjadi kerusuhan sosial).

SIAPA:
· Siapa saja calon yang maju dalam pilkada? Mereka ini “orang baru” atau “orang lama”? Apakah mereka “berpengalaman” dalam pemerintahan? (Catatan: “berpengalaman” tidak jadi jaminan mampu jadi pemimpin pemerintahan yang baik).
· Siapa partai politik atau komponen masyarakat yang menjadi basis utama pendukung mereka? (Dukungan bisa berbasiskan etnis, kekerabatan, lokasi geografis, agama, latar belakang organisasi, dan sebagainya).
· Apakah calon-calon yang maju memang figur-figur yang layak menjadi kepala daerah, dilihat dari segi kapabilitas, integritas pribadi, intelektualitas, pemihakan kepada kepentingan rakyat/daerah, dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang dihadapi rakyat /daerah?
· Apakah mereka figur-figur “bermasalah” (pernah tersangkut kasus KKN atau pidana, pelanggaran HAM, punya perilaku pribadi atau skandal yang memalukan, dan sebagainya)?

MENGAPA:
· Mengapa calon-calon yang maju “itu-itu” saja? Apakah mekanisme/sistem pengajuan calon yang diberlakukan pada pilkada ini justru menghambat munculnya calon-calon yang lebih berkualitas?
· Mengapa calon independen bisa/tidak bisa maju dalam pilkada kali ini? Bagaimana jika mereka yang ditolak maju, memilih mengajukan perkara ke pengadilan?
· Mengapa rakyat antusias/kurang antusias menyambut pilkada? Apakah mereka merasa aspirasinya terhambat? Atau mereka apatis?

DI MANA:
· Di daerah mana saja kandidat A berpotensi unggul, dan di daerah mana saja ia berpotensi kalah? Bagaimana komposisi perbandingan kekuatan/basis dukungan antara berbagai kandidat yang ada tersebut?
· Di daerah mana saja terdapat potensi masalah dalam penyelenggaraan pilkada (gangguan keamanan, ancaman kekerasan, kecurangan, keterbatasan infrastruktur, dan sebagainya)?

KAPAN:
· Kapan batas penentuan calon, masa kampanye, minggu tenang, pemungutan suara, penetapan hasil perhitungan suara, dan sebagainya? Apakah cukup waktu bagi persiapan dan pelaksanaan pilkada yang baik?

BAGAIMANA:
· Bagaimana pelaksanaan pilkada ini, dilihat dari aspek jujur, adil, bebas, rahasia, keamanan, ketertiban, dan sebagainya? Apakah pilkada ini cukup “sukses”, dilihat dari sejumlah kriteria tersebut?
· Bagaimana pemenang pilkada akan mampu menjalankan roda pemerintahan, tanpa terlalu banyak memihak pada kepentingan basis pendukung utamanya dulu (utang dana kampanye yang harus dibayar kembali, dan sebagainya)?
· Bagaimana rakyat, media, LSM, dan elemen-elemen masyarakat lain dapat mengontrol pelaksanaan pilkada?
· Bagaimana rakyat dan elemen-elemen masyarakat lain dapat mengawal agenda calon yang menjadi pemenang pilkada, sehingga janji kampanye yang pernah diucapkan dapat betul-betul diwujudkan dalam program pemerintah? (bukan sekadar “angin surga” atau janji palsu!)

Dari sekian pertanyaan dari rumus 5 W + 1 H tersebut, redaksi dapat menyusun rencana peliputan, dengan memfokuskan diri pada isu-isu krusial. Isu krusial ini tentu berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada situasi dan kondisi setempat.
Pertimbangan lain, pihak redaksi harus fokus karena keterbatasan jumlah sumberdaya (biaya, sarana) dan SDM.

Khalayak pembaca di sisi lain juga harus diberi sajian berita yang berkualitas dan terarah. Mereka tidak sepatutnya diberi berita-berita yang dibuat asal jadi, tanpa wawasan yang mencerdaskan, mencerahkan dan memberdayakan.
Suka atau tidak, berita-berita seputar pilkada sepatutnya memang memberi pembelajaran politik pada rakyat, membuat mereka lebih tercerahkan, dan lebih berdaya menentukan nasibnya sendiri. Inilah hal terbaik yang bisa diberikan oleh media pada rakyat.

Depok, 13 September 2007

* Penulis adalah News Producer di Trans TV (2002-sekarang), mantan Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 1995-1997. Pernah bekerja di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), dan Harian Media Indonesia (2000-2001).

[1] Menkominfo pernah mencanangkan rumus 3 E + 1 N untuk kriteria tayangan yang baik di media TV. Yaitu: education (tayangan yang bersifat mendidik), empowering (bersifat memberdayakan masyarakat), enlightening (memberi pencerahan pada masyarakat, agar masyarakat tidak terpuruk di masalah yang itu-itu saja), dan nasionalisme (liputan harus menanamkan kecintaan pada bangsa dan mendorong kemajuan bangsa).

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Berkomunikasi Dengan Efektif


Untuk berkomunikasi dengan efektif pada saat presentasi, membawakan acara, menjadi presenter atau host sebuah acara, diperlukan skill khusus. Di bawah ini diberikan jurus jitu agar membuat komunikasi Anda menjadi jauh lebih efektif.

1. Strategy
Strategi ini mencakup bagaimana cara mengatasi kegugupan, menerima umpan balik, memperjelas citra diri serta menepis bias ketika menyampaikan informasi. Kata kunci di sini adalah pahami bahwa proses komunikasi adalah proses dua arah, memahami dan menguasai pesan yang akan disampaikan, serta pahami bagaimana berbicara, bukan apa yang akan dibicarakan.

2. High Energy
Walaupun style setiap orang berbeda dalam presentasi, tetapi presentasi dengan high energy dan high focus adalah syarat yang tidak bisa ditawar.

3. Intensity of Eye Contact
Lebih dari separuh, atau 58 persen keberhasilan proses komunikasi, ditentukan oleh komunikasi visual. Selalu pandang mata audience Anda dengan intensitas mata yang cukup.

4. Transfer Of Feeling
Berkomunikasi dengan baik membutuhkan kasih tanpa syarat. Anda tidak mungkin berkomunikasi dengan baik jika Anda tidak jujur. Jika ada hal yang tidak mengenakkan untuk disampaikan, ingat speak always the truth but do it in love…be patient, be humble and be kind.

5. Body Language
Komunikasikan pesan Anda dengan bahasa tubuh yang sesuai dengan kondisi pesan yang disampaikan, serta tidak berlebihan.

(Dikutip dan disunting dari materi promosi IBSC TV Presenter. Info lebih lengkap dapat menghubungi info@ibsctvpresenter.com atau mengklik www.ibsctvpresenter.com)

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas DAkwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Mengatasi Kegugupan (Nervousness)


Ketika harus berbicara di depan umum, seringkali kita dihinggapi oleh rasa takut yang berlebihan. Hal ini dicirikan dengan timbulnya rasa grogi, takut berbuat salah, malu-malu, kecemasan yang berlebihan, suara dan gerakan yang tidak wajar. Di bawah ini ada beberapa tips praktis untuk mengatasi rasa gugup yang berlebihan.

Tips 1 Percaya diri dan berpikir positif
Tidak ada manusia yang sempurna, sehingga jangan pernah harapkan kesempurnaan itu datang. Berpikirlah bahwa kita akan mendapat pengalaman baru dan yakinlah bahwa semua orang juga akan mengalami kepanikan yang sama seperti Anda. Jadi, berpikirlah positif.

Tips 2 Persiapan yang cukup
Kuasai materi dan latihlah berbicara (bukan membaca). Jika perlu, lakukan di depan cermin sehingga Anda langsung mendapat umpan balik. Jangan lupa siapkan peralatan yang menunjang seperti Infocus, layar, atau apapun, yang bisa membuat presentasi Anda menjadi lebih efektif.

Tips 3 Buat diri Anda nyaman
Perhatikan benar penampilan Anda. Pastikan bahwa Anda merasa nyaman dengan penampilan Anda.

Tips 4 Senyum
Senyum akan mencairkan ketegangan dan juga membuat keakraban. Sapalah audiens dengan salam yang hangat dan tulus.

(Dikutip dan disunting dari materi promosi IBSC TV Presenter. Info lebih lengkap dapat menghubungi info@ibsctvpresenter.com atau mengklik http://www.ibsctvpresenter.com/)

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Temukan Image Unity Anda


Untuk mendapatkan dan mempertahankan jumlah pemirsa, seorang presenter harus tampil berbeda dari presenter lainnya. Hal ini sangat penting. Selain wajib memiliki sebuah ciri khas tersendiri, seorang presenter profesional juga perlu memiliki kepribadian, yang mudah diingat dan dikenali orang lain.

Yang dimaksud di sini adalah sebuah kepribadian yang hanya identik dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, biasanya seorang TV Presenter ternama selalu berusaha membangun image unity. Image unity artinya gambaran sebuah kepribadian secara utuh.
Kepribadian yang utuh adalah kepribadian dengan lima aspek yang selaras secara keseluruhan. Kelima aspek itu adalah :
1. Customing (cara berpakaian)
2. Scripting (pemilihan kata-kata)
3. Voice (suara)
4. Motion (gerakan tubuh)
5. Content (isi)

Hal pertama yang perlu kita lakukan untuk mendapatkan sebuah image unity adalah, memilih karakter yang sesuai dengan keinginan kita, dan paling disukai oleh orang lain di sekitar kita. Pintar, humoris, ramah, kalem, luwes, rame, cuek atau feminine, yang paling sesuai dengan diri Anda?

Salah satu cara untuk dapat mempertahankan image unity yang sudah kita bangun adalah dengan memilih karakter yang betul-betul sesuai dengan kepribadian asli kita, tidak hanya dengan kepribadian yang kita inginkan. Sebab, pemirsa tidak dapat dibohongi. Bila sebenarnya Anda mempunyai kepribadian yang kalem, tetapi Anda ingin terlihat ramah di depan kamera, sebaiknya Anda tidak berpura-pura tampak lincah dengan berlebihan.

Sebaik apapun Anda memerankan sebuah karakter, sebagian dari kepribadian Anda yang asli akan muncul, dan pemirsa dapat melihatrnya dengan jelas.

Penting artinya untuk mempercayai audiens Anda. Yakinlah bahwa mereka akan menerima Anda apa adanya. Tunjukkan karakter Anda yang positif, terbukalah kepada mereka. Keterbukaan (vulnurability) ini berperan penting, dalam membangun sebuah hubungan yang baik antara Anda dengan pemirsa di mana saja.

Tetapi, ada beberapa hal tertentu yang sebaiknya Anda simpan untuk diri Anda sendiri. Jangan mengeluh dan menceritakan masalah pribadi Anda, yang tidak ada kaitannya dengan acara (isi) yang sedang Anda bawakan! Teruslah dan jangan bosan berlatih!

(Dikutip dan disunting dari materi promosi IBSC TV Presenter. Info lebih lengkap dapat menghubungi info@ibsctvpresenter.com atau mengklik http://www.ibsctvpresenter.com/)

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Tekhnik Presenter di Depan Kamera


1. Tell a Story
Ketika melakukan presentasi di depan kamera, kita bukan hanya menyampaikan informasi mengenai suatu event. Presentasi di depan kamera seperti seseorang yang sedang bercerita, sehingga memiliki pendahuluan (beginning), isi (content), dan akhir (ending). Teknik ini berlaku umum, baik ketika kita sedang mengumumkan (announcing), melaporkan (reporting), mewawancarai (interviewing), memperagakan atau melakukan simulasi (simulation), atau memberikan narasi pada tayangan (voice over narration).

2. Display Camera Presence
Ketika sedang berbicara dengan audiens, mata harus selalu menatap lensa kamera. Ketika sedang berbicara dengan bintang tamu, mata kita harus menatap bintang tamu dan berbicaralah pada mereka. Jaga postur tubuh ketika berbicara, dan ingatlah selalu hal penting yang ingin disampaikan kepada bintang tamu. Buatlah diri Anda merasa nyaman, dan jauhkan dari gerakan yang menganggu, seperti memainkan rambut, menyentuh muka atau baju, dan lain-lain.

3. Dress for the camera’s eyes
Penampilan visual di depan kamera sama pentingnya dengan presentasi itu sendiri. Selain itu, lensa kamera sama sekali berbeda dengan lensa mata. Oleh karena itu, pilihlah warna dan kostum yang ”appropriate” (pantas dan pas). Pilihlah baju yang polos atau minim pola. Jangan menggunakan pola yang bergaris tebal, karena akan membingungkan. Hindari perhiasan yang besar dan mencolok.

4. Rehearse
Jangan lupa selalu berlatih sebelum tampil di depan kamera. Berlatihlah di depan kaca sebagai media latihan. Perhatikan pendahuluan dan ending dalam bercerita.

(Dikutip dan disunting dari materi promosi IBSC TV Presenter. Info lebih lengkap dapat menghubungi info@ibsctvpresenter.com atau mengklik http://www.ibsctvpresenter.com/)

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Mengoptimalkan Suara (Tips Presenter)


Untuk menjadi seorang presenter handal diperlukan kemampuan suara dan vokal yang mumpuni. Salah satu cara agar dapat mempertahankan kualitas vokal dengan cara senam pernafasan. Senam ini bermanfaat untuk relaksasi dan latihan organ suara. Di bawah ini beberapa cara yang dapat dilakukan :

1.Lion Face bertujuan melemaskan otot-otot muka

Muka diciutkan bersamaan dengan menguncupkan jari – jari kedua tangan. Kemudian dilebarkan dengan menjulurkan lidah
Frekuensi 5 x @ 5 Hitungan

2. Mengatupkan Gigi, bertujuan melemaskan otot-otot rahang

Gigi dikatupkan dengan kuat, sementara bibir terbuka bersamaan dengan itu kedua tangan dikepalkan
Frekuensi 10 x @ 5 hitungan

3. Melipat lidah ke atas, bertujuan melatih dan melipaskan lidah
Lidah dilipat ke atas menyentuh langit langit sambil menekan barisan gigi bagian atas
Frekuensi 5 x @ 5 hitungan

4. Lidah menyapu bibir, bertujuan melatih dan melemaskan bibir.
Lidah dijulurkan, kemudian diputar sambil menyapu bibir bagian atas dan bagian bawah
Frekuensi 10 x.

5. Latihan Leher, bertujuan memperkuat otot-otot leher dan bahu
Berdiri dengan kaki direntangkan terbuka, tangan dipinggang kemudian leher digerakan ke kanan dan ke kiri seperti orang menggelengkan kepala.
Frekuensi 5 x.

6. Pijat Kerongkongan, bertujuan melemaskan kerongkongan dan pita suara
Tarik napas, dikeluarkan perlahan sambil mengucapkan ‘AAA…’ sementara jari memijat leher / kerongkongan dengan gerakan ke atas atau ke bawah.
Frekuensi 10 x.

(Dikutip dan disunting dari materi promosi IBSC TV Presenter. Info lebih lengkap dapat menghubungi info@ibsctvpresenter.com atau mengklik www.ibsctvpresenter.com)

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Live Reporting (Tips Presenter)


Daya tarik televisi sebagai media sebagian sangat tergantung pada kemampuannya untuk menayangkan sebuah event secara langsung. Menariknya siaran live, tidak hanya karena pada unsur partisipasi dan kehadiran stasiun tersebut pada event yang dimaksud, tapi pada asumsi yang dimunculkan, bahwa apa yang kita saksikan tak termediasi, tak terkontaminasi dan akurat.
Oleh karena itu kemampuan Live Report sangat penting. Live Report menggabungkan konsep program berita dan reality show. Dibawah ini beberapa tips untuk menghasilkan Live Report yang baik :

Pre – Reporting Preparation

a) Check and Recheck, kebenaran event/topik yang menjadi subyek laporan (mencakup waktu, tempat dan nara sumber).
b) Lakukan riset bahan melalui telpon, internet ataupun media lainnya.
c) Persiapan personal dan teknis.

On Location

a) Kumpulkan semua informasi dan data awal yang didapat dari lapangan.
b) Dapatkan ambiance dari lokasi/tempat tersebut.
c) Pastikan Anda tidak menghadapi kendala teknis ketika ”on air”.
d) Bekerjalah dengan efektif dan efesien, ” time is everything ” di sini.

30 detik sebelum On air

a) Pastikan Anda merasa nyaman dengan suasana tempat Anda akan melaporkan, dan yang tak kalah penting, Anda merasa nyaman dengan diri Anda sendiri.
b) Anda memiliki semua materi siaran dan menguasainya.
c) Anda percaya diri dengan penampilan anda.
d) Fokuskan pikiran Anda pada materi laporan, bukan pada yang lain.
e) Menghafal atau pointers.
f) Gunakan bahasa non verbal yang pas dan efektif (air muka, gesture, gerakan kepala, dan tentu saja… senyuman)
g) Jangan pernah lupa memberikan atribusi untuk data yang Anda kutip, sehingga jelas bagi penonton, siapa yang memiliki/mengeluarkan data tersebut.

(Dikutip dan disunting dari materi promosi IBSC TV Presenter. Info lebih lengkap dapat menghubungi info@ibsctvpresenter.com atau mengklik http://www.ibsctvpresenter.com/)

Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Sabtu, 21 Mei 2011

Potret Mahasiswa Dulu dengan Sekarang


TAK dipungkiri lagi, pergerakan mahasiswa akhir-akhir ini mulai surut di ranah civitas academica. Bahkan, tak menampakkan batang hidungnya sebagai sosok garda depan dalam mengawal perubahan bangsa.

Hal ini merupakan PR besar bagi kita (baca: mahasiswa) untuk mengurai permasalahan krusial dewasa ini. Dan, faktor tersebut tentunya tak lepas dengan keadaan kampus era sekarang.

Mengapa demikian? Karena kampus saat ini tengah dikepung dengan kerumunan dunia virtual. Hadirnya internet dewasa ini memberikan dampak yang cukup luas bagi mahasiswa. Baik negatif maupun positif. Maka wajar bila zaman dulu dianggap sebagai zaman jadul dikarenakan belum adanya teknologi canggih semacam internet.

Melihat hal di atas, setidaknya kita bisa mengidentifikasi mengapa mahasiswa saat ini sangat minim melakukan pergerakan sosial. Sebab, dengan adanya teknologi cangggih semacam ponsel dan internet, mahasiswa lebih cenderung memilih jalur cepat, dan serba instan. Tinggal klik atau pencet. Langsung tepat sasaran.

Oleh sebab itu, mahasiswa yang awal mula gemar mensosialisasikan pergerakan atau sibuk dengan kegiatan kampus, saat ini mulai gemar berselancar di dunia maya. Hal inilah yang menjadikan mahasiswa mulai ogah melakukan pergerakan atau menghidupkan kampus.

Sehingga, permasalahan ini merupakan tantangan yang cukup berat bagi generasi muda sekarang, terlebih bagi mahasiswa. Di samping itu juga, menjamurnya gaya hidup hedonis di sekeliling kita adalah cobaan bagi segenap generasi bangsa. Bila kita cermati, pergerakan mahasiswa sudah mulai tertimbun dengan gaya hidup (life style) pemuda sekarang. Lihat saja, betapa bangganya mahasiswa jika menenteng Black Berry dari pada memiliki intelegensi tinggi. Sungguh ironis bukan?

Terlepas dari itu, lalu, PR yang harus kita selesaikan adalah, bagaimana mengembalikan kejayaan kampus seperti dulu. Yaitu kampus yang penuh dengan nuansa diskusi di tiap sudut kelas. Dan, pemandangan mahasiswa yang mondar-mandir untuk melakukan orasi turun ke jalan demi menyuarakan hak-hak rakyat yang tertindas atas kebijakan pemerintah.

Setidaknya, atas dasar kesadaran bersama oleh mahasiswa, akan mengingatkan kembali bahwa kita mempunyai tanggung jawab yang besar di masyarakat. Sehingga, gelar agen sosial of change tidak sekadar simbol ansich. Namun, dapat mewujud dengan tindakan nyata. Dengan demikian, mau tidak mau saat ini kita harus menghidupkan atau nguri-nguri (bahasa jawa) kampus agar pergerakan mahasiswa tidak dianggap mati. Hidup Mahasiswa!

Heru Cahyono, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga 2010.
READMORE -

Rabu, 18 Mei 2011

Komunikasi Antar Budaya


Definisi yang pertama dikemukakan didalam buku “Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994, p. 19).
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13). Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.

Hambatan Komunikasi Antar Budaya
Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004, p. 11). Contoh dari hambatan komunikasi antabudaya adalah kasus anggukan kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai arti bahwa orang tersebut mengerti sedangkan di Jepang anggukan kepala tidak berarti seseorang setuju melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut mendengarkan. Dengan memahami mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi (communication barrier) semacam ini dapat kita lalui.

Jenis-Jenis Hambatan Komunikasi Antar Budaya
Hambatan komunikasi (communication barrier) dalam komunikasi antar budaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules),jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group).

Sedangkan terdapat 9 (sembilan) jenis hambatan komunikasi antar budaya yang berada diatas air (above waterline). Hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik.
Hambatan-hambatan tersebut adalah (Chaney & Martin, 2004, p. 11 – 12):
1. Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.
2. Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
3. Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
4. Motivasi (Motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman (Experiantial)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6. Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7. Bahasa (Linguistic)
Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.
8. Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan.
9. Kompetisi (Competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.


Heru Cahyono, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010.
READMORE -

Jenis/Bentuk Komunikasi


Komunikasi mempunyai 3 bentuk :

1. Aggressive Communication
Komunikasi ini dapat mengurangi hak orang lain dan cenderung untuk merendahkan / mengendalikan / menghukum orang lain. Komunikasi ini menenggelamkan hak orang lain. Contoh komunikasi agresif : “Lakukan saja!”.
Ciri-cirinya adalah
• Ingin kemauan dan pendapatnya diikuti
• Memaksa orang untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukan
• Keras dan bermusuhan
• Menyerang secara fisik atau verbal
• Interupsi
• Intimidasi
• Ingin menang dengan segala cara
• Suka memakai kambing hitam
• SUka memakai figur “Big Boss”
Komunikasi agresif memiliki satu buah sub yaitu Komunikasi Aggresif tidak Langsung yang berupaya untuk memaksa orang lain melakukan hal yang kita kehendaki tetapi mereka tidak menghendakinya.
Istilah “pisau dibalik topeng senyuman” mungkin cocok dengan komunikasi agresif tidak langsung karena cara-cara mereka umumnya sopan, tenang, manipulative/menjebak, merendahkan orang lain, dan sabotase.
Orang yang melakukan aggressive communication mungkin pada awalnya merasa puas, menang/superior dan cenderung untuk mengulangi tindakannya. Tetapi untuk jangka panjangnya mereka dapat merasa bersalah (saat memikirkan tindakannya), malu, dan ditinggalkan teman. Pada akhirnya akan terus menyalahkan orang lain atau system. Balas dendam mungkin dapat dilakukan oleh orang lain yang sebelumnya disudutkan.
2. Passive Communication (Submissive)
Komunikasi ini merupakan lawan dari komunikasi aggressive dimana orang tersebut cenderung untuk mengalah dan tidak dapat mempertahankan kepentingannya sendiri. Bahkan hak mereka cenderung dilanggar namum dibiarkan. Mereka cenderung untuk menolak secara pasif (dengan ngomel dibelakang misalnya).
Ciri-ciri komunikasi pasif ini adalah:
• Orang yang jarang mengungkapkan keinginan dan kebutuhan atau perasaan
• Mengikuti tuntutan dan kemauan orang lain, ingin menghindari konflik
• Tidak mampu mempertahankan hak dan pribadinya
• Selalu mengedepankan orang lain
• Minta maaf berlebihan
• Marah kecewa, frustasi dipendam
• Tidak tahu apa yang diinginkan
• Tidak bisa ambil keputusan
• Selalu mencari-cari alasan atas tindakan
Untuk jangka pendek, komunikasi ini bisa mengakibat rasa lega, terhindar dari rasa bersalah, bangga, dan kasihan pada diri sendiri. Namun untuk jangka panjang dapat kehilangan percaya diri dan hormat pada diri sendiri.

3. Assertive Communication
Assertive Communication adalah komunikasi yang terbuka, menghargai diri sendiri dan orang lain. Komunikasi assertive tidak menaruh perhatian hanya pada hasil akhir tapi juga hubungan perasaan antar manusia. (Saya jadi teringat pesan Pak Once yang sekarang menjabat wakil rektor di Universitas Bunda Mulia : “Hak asasi kita dibatasi oleh hak asasi orang lain”).
Ciri-ciri assertive communication adalah:
• Terbuka dan jujur terhadap pendapat diri dan orang lain
• Mendengarkan pendapat orang lain dan memahami
• Menyatakan pendapat pribadi tanpa mengorbankan perasaan orang lain
• Mencari solusi bersama dan keputusan
• Menghargai diri sendiri dan orang lain, mengatasi konflik
• Menyatakan perasaan pribadi, jujur tetapi hati-hati
• Mempertahankan hak diri.
• he differences between Assertive, Aggressive and Passive body language.

Bahasa tubuh untuk tiga jenis komunikasi :


1. Assertive ;
Posture : Tegak lurus
Head : Santai dan tidak kaku
Eyes : Langsung, tidak melototi, pandangan bagus,
biasa/santai
Face : Ekspresi sesuai kata-kata yang keluar
Voice : Sesuai dengan kontak
Arms/hands : Santai, bergerak bebas
Movement/ walking : Terukur, sesuai tindakan
2. Aggressive :
Posture : Condong ke depan
Head : Mendongak ke atas
Eyes : Melototi seolah-olah akan mengamuk
Face : Tegas
Voice : Keras
Arms/hands : Terkontrol, jari menunjuk menancap ke
suatu objek, terkepal keras
Movement/ walking : Lambat dan keras atau cepat, bebas,
Keras


3. Passive :
Posture : Agak mundur
Head : Menunduk
Eyes : Tidak berani menatap
Face : Tersenyum selalu bahkan sewaktu kesal
Voice : Ragu/lembut, cenderung berbicara setelah
lawan selesai berbicara
Arms/hands : Diam… tidak bisa bergerak
Movement/ walking : Lambat dan ragu-ragu atau cepat
tapi terkesan terburu-buru

Perilaku assertive memiliki manfaat:
• Meningkatkan self esteem dan percaya diri dalam mengekspresikan diri sendiri
• Dapat bernegosiasi lebih produktif dengan orang lain
• Dapat merubah situasi kerja yang negatif menjadi positif
• Meningkatkan hubungan antar manusia pada pekerjaan dan mengurangi kesalahpahaman
• Meningkatkan pengembangan diri dan kepuasan diri pada pekerjaan/karir sesuai dengan kebutuhan, gaya dan kemampuan
• Mampu membuat keputusan dan lebih mempunyai peluang mendapatkan apa yang dicari dalam hidup
Hambatan yang didapat saat mencoba untuk assertive:
• Tindakan dan cara berpikir negatif yg membatasi peluang Anda
• Conflict - Takut menghadapi konflik sehingga menghindari tanggapan assertif dalam situasi yang menentukan
• Keterampilan komunikasi - Ketidakmampuan menanggapi berbagai situasi mengakibatkan emosi, pikirkan dan kecemasan yang negatif
• Race, tradition, education sewaktu kita masih anak-anak
Dasar-dasar hak yang harus diperhatikan sewaktu melakukan komunikasi assertive:
1. Hak untuk menentukan sendiri jalan hidup (mengejar tujuan, membuat prioritas)
2. Hak untuk mempunyai nilai, pendapat, dan kepercayaan sendiri
3. Kamu mempunyai hak untuk melakukan apapun selama tidak menyakiti orang lain
4. Kamu mempunyai hak untuk mempertahankan assertive kamu, bahkan bila itu menyakiti orang lain (dengan syarat kamu tidak sengaja menyakitinya)
5. Saat meminta dari orang lain, pastikan mereka mempunyai hak untuk menolak
6. Kamu selalu mempunyai hak untuk berdiskusi dengan orang lain
7. Hak untuk mengekspresikan perasaan mu pada orang lain
8. Hak kamu adalah milikmu
Unsur-unsur dalam komunikasi assertive:
1. Terbuka dan jelas - upayakan kamu mengkomunikasikan secara jelas dan spesifik. Misalnya: “saya kurang suka ini” , “Hm….saya menyukai rencana itu, hanya saja mungkin ada beberapa bagian yang bisa ditingkatkan (bahasa halus dari diperbaiki)”, “saya punya pendapat yang berbeda yaitu….”
2. Langsung – Berbicara langsung dengan orangnya, jangan membawa masalah ke orang lain yang tidak berhubungan.
3. Jujur – agar orang percaya kepada kamu
4. Tepat dalam bersikap, pastikan memperhitungkan nilai social dalam berbicara. Terang-terangan mengajak kencan seorang wanita pada saat dia sedang di pesta pernikahannya tentu saja akan membawamu dalam masalah.
5. Tanyakan umpan balik. “Apakah sudah jelas? Atau ada pertanyaan?”. Menanyakan umpan balik menjadi bukti bahwa kamu lebih mengutarakan pendapat daripada perintah.

Ada 3 langkah untuk menjadi Assertive
1. Jadilah pendengar aktif, dan pastikan kamu menunjukan kepada mereka kalau kamu mendengarkan dan paham (misalnya dengan membuat kontak mata). Jangan memanfaatkan waktu mendengar untuk mempersiapkan serangan balik.
2. Katakanlah apa yang sedang kamu pikirkan dan rasakan. Jangan terlalu memaksa ataupun terlalu meminta maaf. Pada saat berbicara perhatikan body language kamu, pastikan postur tubuh sesuai (seperti berdiri tegak), membuat kontak mata, ekspresi wajah yang sesuai, dan berbicara cukup keras untuk didengar. Nada suara jangan monoton agar orang lain mudah mengikuti-mu dan tidak merasa terganggu atau bosan.
3. Katakanlah apa yang kamu harapkan. Upayakan untuk berani mengatakan ya dan tidak saat kita inginkan, berani membuat sebuah permintaan, dan mengkomunikasi perasaan kita dengan cara terbuka dan langsung. Kita harus belajar untuk mengadaptasikan sifat kita pada beragam situasi kerja, menjaga jaringan pertemanan, dan membangun hubungan yang dekat.
Saat membuat pernyataan (langkah 2 dan langkah 3), pastikan:
1. Menggunakan pernyataan saya (statement) dan bukan Anda atau orang lain
2. Spesifik dan jangan umum
3. Mengekspresikan perasaan dan opini Anda (bertanggung jawab)
4. Tidak menilai orang lain saat tidak diperlukan (menilai bukan untuk tujuan konstruktif)
5. Tidak memperluas / membesar-besarkan masalah

Assertiveness Techniques
Broken record : Teknik ini diambil cari pengamatan sifat pemutar CD music saat bertemu dengan bagian CD music yang cacat. Musik akan dimainkan berulang2 untuk waktu pendek. Teknik ini memanfaatkan pengulangan permintaan secara terus menerus sampai sebuah respon yang diinginkan muncul. Setiap perulangan permintaan umumnya memakai alasan atau tekanan yang berbeda. Upaya lawan untuk mengacaukan atau mengalihkan focus akan ditolak. Biasanya hasil akhirnya adalah sebuah kompromi.
Fogging : Kabut…asumsi saja bila kamu sedang berjalan, tiba2 kabut datang dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan kecuali menunggu kabur terangkat. Teknik komunikasi ini butuh control diri yang kuat, tapi bisa sangat efektif.
Fogging membutuhkan kita agar tenang dalam menghadapi kritik, menyetujui hanya kritik yang adil atau berguna. Mungkin terlihat sebagai upaya mundur tapi sebenarnya tidak. Dengan menerima kritik dan tidak terpancing untuk marah, seseorang dapat menjadi lebih mawas diri dan berupaya memperbaiki kekurangan.
Kata “ya” mungkin salah satu yang paling sering dipakai, misalnya : “kamu tidak boleh begitu saat sedang bertugas”, jawaban “ya, saya dapat lihat kamu menganggap perilaku saya tidak pantas”. Hal ini dapat memadamkan situasi yang sudah akan meledak.
Discrepancy Assertion
Discrepancy assertion digunakan pada situasi dimana kita menerima pesan yang bertolak belakang dengan pesan sebelumnya. Adalah penting untuk cepat mengetahui apa yang sedang terjadi atau yang akan terjadi. Teknik ini biasanya berguna untuk mencegah salah paham sebelum hal itu naik menjadi lebih serius. Teknik ini juga berguna untuk menunjuk seseorang yang tidak konsisten tanpa menyalahkan mereka dan lebih mengarahkan diskusi pada kompromi daripada saling menyalahkan. Pastikan selalu memakai fakta yang jelas saat menunjuk sebuah masalah.
Misalnya: “Kemarin saya menerima email yang memberikan status proses bisnis untuk project A. Setelah saya cek, ternyata ada perubahan dengan yang di sepakati 1 bulan sebelumnya. Saya ingin membicarakan bagaimana perubahan ini mempengaruhi project.”

DESC Scripting
‘DESC’ singkatan dari ‘Describe, Express, Specify, Consequences’. Describe mengutarakan apa keinginan kita, Express mengutarakan apa yang kita rasakan (akibat dari sesuatu), Specify mengutarakan apa yang kita inginkan, Consequences mengutarakan apa akibatnya bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan.
Misal:
• “Dokumentasi project yang kamu buat masih banyak kekurangan” (Describe)
• “Hal ini membuat Saya khawatir bila kita diaudit” (Express)
• “Saya sangat senang bila kamu memperbaikinya” (Specify)
• “Bila tidak saya terpaksa akan menaikkan masalah ini ke level direktur” (Consequences)
Konsekuensi tidak harus selalu negative, kadang2 dapat positif. Seperti “bila masakanmu belum siap, saya akan belikan pizza”.


Teknik Lain untuk Hubungan Antar Manusia
Sembilan Tips untuk Mengembangkan Human Relation Skills :
• Be Optimistic
o Melihat peluang dalam kesulitan
• Be Positive
o Menghargai dan mendorong orang lain
o Tidak menjadi pengeluh, pengkritik, atau penyebar gossip
• Be Genuinely Interested in People
o Menunjukkan perhatian tulus pada orang lain
• Smile & Develop Sense of Humor
o Senyum menunjukkan minat dan perhatian pada orang lain
• Call People by Name
o Membuat orang lain merasa dipentingkan
• Listen to People
o Mendengar secara aktif
• Help Others
o Jika Anda ingin memperoleh bantuan, maka bantu lah orang lain
o Membangun relasi yang jujur dan terbuka
• Think Before You Act
o Gunakan tata krama yang santun
o Tata krama mencerminkan kualitas pribadi Anda
o Pertimbangkan dampak perilaku Anda terhadap orang lain
• Create Win-Win Situations
o Mendapatkan yang Anda butuhkan dengan cara membantu orang lain memenuhi kebutuhan mereka

Tiga Alternatif Yang Umum diambil Untuk Mengatasi Masalah Hubungan Antar Manusia :
• Mengubah Orang lain
o Masalah relasi tidak pernah bersumber dari 1 pihak
o Makin kita berupaya untuk mengubah orang lain, makin sulit untuk menciptakan hubungan yang efektif dengan orang lain
• Mengubah Situasi
o Cara mudah untuk menghindar dari bekerja sama dengan orang lain
o Tidak memberikan manfaat bagi kedua belah pihak dalam mengatasi masalah interpersonal
• Mengubah Diri Sendiri
o Satu-satunya hal yang berada pada rentang kendali kita adalah perilaku kita
o Beradaptasi adalah cara terbaik untuk mengatasi masalah dalam hubungan antar manusia
o Kuncinya: BERSIKAP ASERTIF

Heru Cahyono,Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010.
READMORE -